Dalam hidup, selalu ada kesempatan mengeluh bahkan sesaat setelah kau bersyukur. Semenjak resmi menyandang gelar gembel beberapa tahun yang lalu, untungnya kaki kurusku sudah terlatih berlari riang menghindar dari petugas. Namun, langkah kecil Anak Asem membuat pelarian kami hampir ditangkap. Dan di tengah keluhan dan syukuran, ada Setan Asma yang mengajak kami bersembunyi.
"Aman?" tanyaku pada si Anak Asem.
Anak Asem kusuruh memeriksa sekitar. Ulah para petugas, kami sampai kabur-kaburan hampir ke tengah kota. Rumahku menjadi semakin jauh lagi. Bangke. Seingatku ini hari libur, mengapa orang-orang berbaju hijau itu keliaran tak jelas. Kurang kerjaan banget.
"Aman, Om."
Aku dan Setan Asma keluar dari tempat sampah. Mata sipitnya semakin tenggelam saat diterpa cahaya siang begini. Gitar kecil yang entah-punya-siapa-aslinya, bertengger santai di bahu kanan, tali rafia yang jadi gantungan. Nama aslinya aku lupa, yang jelas julukan Setan Asma aku berikan karena saat mengamen, suaranya seperti orang bengek menahun. Bikin darah melambung dan emosi mencelat.
Saat mengamen, yang dialaminya hanya dua kondisi: dibayar karena kasihan, diusir karena meresahkan.
"Betewe on de mande, anak sapa tuh?" tunjuk Setan Asma.
Aku mengangkat bahu dan mencuekinya.
"Kenalin, aku Faili. Om belum mandi, ya?" Si Anak Asem menuding temanku. Buru-buru kugaplok telunjuknya yang mengacung.
"Yang sopan sama orang tua."
"Kalian dari mana, sih? Eh, Zakir, jangan bilang kamu orang jadi pedo sekarang!" tuding Setan Asma tak berperasaan.
"Ngawur aja itu bacot. Gak tau dia dari mana, tiba-tiba muncul aja."
"Pedo apaan, Om?"
"Dodol," jawabku sekenanya.
Kami keluar dari kawasan itu dan berpisah dengan Setan Asma. Setelah pandangan meluasa, barulah aku sadar kalau kami sudah dekat dengan alun-alun. Puter balik lagi. Aku menghela napas, kenapa saat ingin mengakhiri hidup menjadi susah sekali. Di berita gampang saja. Gantung diri, mati; terjun bebas, mati.
Aku? Rumahku tak punya tiang yang kuat, bisa roboh. Mati enggak, sakit iya. Sementara pohon mangga dekat kompleks gembel, itu sudah cukup berhantu. Aku tak ingin meresahkan kekawananku. Jadilah aku pergi ke jembatan besar di pinggir kota.
"Om, ini masih jauh?"
"Dek, kau mau kutinggal di sini kah? Gara-gara anjingmu, nah, kita dikejar-kejar."
"Kok anjing aku?"
Aku berbalik. Beruntung jalanan sedang sepi sekarang. Matahari semakin meninggi, kalau tak cepat berteduh, badan bakal lebih legam dari biasanya. Khusus untuk si Anak Asem, badan bakal lebih merah dari biasanya.
"Gara-gara kau cari anjingmu, kau ketemu aku. Gara-gara kau ketemu aku, kau ganggu aku. Gara-gara kau ganggu aku, aku gak jadi bundir. Gara-gara aku gak jadi bundir, aku harus pulang. Gara-gara aku pulang, aku mesti mampir ke tukang loak. Gara-gara itu, kita dikejar satgas dan akhirnya sampe sini. Paham?" jelasku.
"Hah?"
Anak Asem! Aku mengeringkan tenggorokan yang selalu merindukan air, dia hanya ber-"hah" menanggapi kata-kataku. Aku berbalik dan berjalan lebih cepat. Pembawa bencana ini musti ditinggalkan.
"Om, bentar."
Anak Asem pergi ke seberang jalan. Oh, aku tak terpikirkan gagasan satu itu. Buru-buru aku ikut ke seberang. Tak kupedulikan motor-mobil yang ingin lewat, tak mau. Biarlah aku sekalian mati ditabrak. Ha ha ha.
Asem, tak ada kendaraan lewat.
"Nih, Om."
Kulirik tangan kecilnya, ada minuman bening lima ratusan. Di tangan satunya lagi ada banyak minuman lima ratusan, tertumpuk dalam plastik. Aku menerima penyegar dahaga itu. Nah, bagus, harusnya kau mengupahku begini. Sungguh baik hati.
"Bawain ini, Om. Biar Om ada gunanya sedikit."
Sungguh baik hati, tapi kurang akhlak. Kalau tak sedang kehausan, sudah kusiram anak ini dengan air di tangan, lalu bekasnya kuhempaskan ke wajahnya, kemudian kudorong dia ke jalan raya.
"Yuk, lanjut jalan," ujar si Anak Asem.
Enak banget itu bacot.
***
Rumahku ada di pinggir kota.
Pinggir yang mana? tanya kalian.
Begini, kampret. Kota tempatku menggembel punya "pembatas" yang bentuknya persegi. Kita pakai arah mata angin sebagai petunjuk. Di utara, ada jalan besar penghubung kota lain. Di barat, ada sungai melintang, sungai besar, sungai tempat yang mau kupakai bunuh diri. Di timurnya, ada hutan peliharaan pemerintah daerah. Bego, hutan dipelihara, tapi digusur lagi dan dibangun bangunan tinggi, lagi.
Nah, rumahku ada di bagian selatan. Berhubung kami memutar-mutar tak jelas, jalan yang seharusnya ditempuh dalam kurun waktu tiga puluh menit, bertambah menjadi berkali lipat. Aku melirik Anak Asem, karena alasan yang tak kuketahui, matanya berbinar-binar menatap sekeliling.
Perjalanan menuju kompleks kami cukup sulit. Kalau tak beling, pagar kawat, pohon tumbang, semak iseng, ada anjing liar yang cukup ganas sebagai aral. Waktu itu ada usulan penambahan fitur keamanan berupa tiruan lumpur lapindo, tapi banyak yang menolak karena terlalu bahaya.
Aku dan Anak Asem menghindar ranjau, hingga akhirnya kompleks para gembel pun mulai terlihat. Ada gapura yang dibuat dari gabungan material bekas, niat pekerja bangunan yang setengah, dan orang kurang kerjaan yang mengecatnya dengan warna hitam. Lebih mirip gerbang neraka sudah, dengan ornamen antah-berantah di sisi-sisinya.
Ke dalam sedikit, akan disambut tumpukan sampah yang dibuat rumah. Kondisi miskin membuat otak semakin kaya ide. Ada yang rumahnya dari kardus yang dipaksa berdiri, ada pula yang dari botol bekas yang diisi entah-apa sebagai dinding. Nah, yang dari botol bekas itu, banyak banget waktu luangnya buat bikin. Aku pernah berpikir ingin menjual rumahnya. Lumayan, tiga ribu per kilo di penadah sampah.
"Itu rumahku." Aku menunjuk rumah kayu mengenaskan di pojok sana.
Anak Asem mematung. Semua gembel tiba-tiba keluar dari sarang mereka. Beberapa pasang mata menatap plastik putih di tanganku, beberapa lagi lebih penasaran dengan anak kecil di belakangku. Aku tiba-tiba dilanda kebingungan.
"Kenalin, aku Faili. Mau minum?"
***
Tutorial agar penulis update setiap hari:
-Baca karyanya
-Komen karyanya
-Vote dengan menekan tanda bintang
-Share ke teman2 kalianSekian, terima kasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Anjing![END]
HumorNamaku Zakir, belum makan dari kemarin. Biasanya kalau lapar begini, aku akan melantur gaduk soal ketidakadilan hidup. Waktu itu, kehidupan melaratku berubah jadi lebih susah lagi. Aku kesal, ingin mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan. Namun...