Pagi yang harusnya terang menjadi kelabu. Langit ditutupi "awan" yang membumbung, saling memilin dan menyatu satu sama lainnya. Kutiup awan itu, ajaibnya, dia mencar-mencar. Aku mencabut salah satu bulu ketiak, kemudian menyimpannya di asbak. Mungkin kalian berpikir ini adalah mimpi absurd si Zakir. Mimpi yang terkontaminasi ketakutan akan si Deon-Deon itu.
Meh, kalian salah, Sobat.
Aku tak takut dengan si Deon, aku cuma takut dengan penjaga pagar rumahnya. Laki, botak, berbadan tegap, otot-otot menyembul sangar dari balik kaus hitamnya yang tipis. Cuma satu orang sih, tapi kuyakin kalau kena itu tinjunya, kerasa macam ditonjok sepuluh orang.
Aku mematikan rokok Hanan, sementara si bagong takut-takut melongok. Kami sudah sampai di dekat kediaman si Deon. Peh, tak ada cocok-cocoknya pula. Mari kita panggil saja si culun.
Aku ulangi. Kami sudah sampai di kediaman si Culun. Empunya tak tahu ke mana, tak terlihat karena terhalang oleh pagar setinggi dua meter. Kurang dikit, tak sampai dua meter, yang ada kelebihanㅡaw!
"Jangan tegang, Zak." Pundakku digebuk.
Aku melirik Hanan yang memegang setir. Kutolehkan kepala menuju Anak Asem yang duduk di belakang. Harusnya itu anak tinggal saja, tak perlu masuk ke sarang tawon yang dijaga babon kekar macam ini. Aku menghela napas panjang.
"Dek, kau di sini aja, ya. Hanan, tolong kalau aku kasih tanda, kau bawa ini anak langsung kabur."
Hanan mengangguk sementara Anak Asem merengek.
"Nggak mau, Om. Nanti anjing aku nggak mau ikut Om, Om 'kan bau!"
Sabar, Zakir. Bentar lagi kau lepas dari ini makhluk. Lagipula aku sudah mandi tadi pagi! Pakai baju Hanan pula, ya pasti ada parfumnya walau bau terasi sedikit. Daripada situ yang tak ganti baju sama sekali. Dasar bocil jorok!
"Pokoknya kau tinggal aja, ini bisa jadi bahaya." Aku terus membujuknya.
"Nggak. Kalau bahaya nanti anjing aku kenapa-kenapa!"
Terserah. Anak kecil memang kemauannya musti dituruti. Kampret. Beruntung sekali aku tak punya anak. Kalau punya, bakal kuselotip bibir anakku kalau sampai cerewet macam Anak Asem.
Dengan kesepakatan yang ketat, akhirnya aku memperbolehkan Anak Asem ikut. Dia keluar lebih dulu dari mobil. Astaga, bangke. Mengundang mara bahaya, menyulut mala petaka. Dari sini, Anak Asem terlihat memelas pada si penjaga.
Kemudian, mata mereka melirik ke arahku yang baru saja hendak bersembunyi di balik pohon. Perasaanku tak enak. Dan makin tambah-tambah tak enak kala si penjaga menoleh kiri dan kanan, lalu menyeberang jalan. Si bocil itu, akan kumakan dia nanti.
"Woy!" sergahnya.
Aku menciut. Kulirik mobil Hanan yang jaraknya ... kambing guling pakai daster! Hanan kabur!
Bagaimana ini? Si penjaga semakin mendekat. Rupa Anak Asem dan Hanan kuukir keras di otakku. Awas saja mereka. Namun, waktu kutilik ke belakang sana, Anak Asem mengacungkan jempolnya, kemudian si bocah masuk ke pekarangan. Aku paham.
"Apa? Mau gelut? Sini!"
Kuambil kerikil dari tempatku berdiri. Aku membidik dan melempar kerikil itu. Meleset anjing! Buru-buru kuambil ancang-ancang untuk kabur. Dan seperti yang kuharapkan, penjaga tolol itu mengejarku.
Aku berbelok ke salah satu gang. Tempat asing begini. Entah ke mana Hanan melajukan mobilnya tadi, aku tak tahu karena sibuk membayangkan kemungkinan yang akan terjadi saat sampai. Salah satunya adalah ini.
Di belakangku, dengan jarak yang cuma ... dua depa! Anjing! Kencang sekali dia! Sekencang urat-urat di sekujur tubuhnya karena kesal kuledek tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Anjing![END]
HumorNamaku Zakir, belum makan dari kemarin. Biasanya kalau lapar begini, aku akan melantur gaduk soal ketidakadilan hidup. Waktu itu, kehidupan melaratku berubah jadi lebih susah lagi. Aku kesal, ingin mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan. Namun...