15. Awal

78 35 38
                                    

Hayoo kaget karena double up?

Buat yang sempet ngidolain Zakir, aku kasih tunjuk dia pas SMA waktu masih jadi badboy.

Happy reading!

***

"Nah, kenapa kau ndak pernah belajar dari pengalaman? Percuma mah itu otak encer, tapi kalo yang beginian enggak ada paham-pahamnya."

Di bawahku, ada seorang kutu buku berkacamata yang culun, sedang meringkuk minta ampun. Aku merampas alat bantu lihat dari matanya yang rabun itu, kutaruh di lantai, dan dengan gerakan yang didramatisasi, aku menginjak kacamatanya. Si pemilik menjerit. Karena berisik, kulayangkan kaki menuju perutnya.

"Ini, nih. Inih. Lihat ini kertas?"

Si culun mendongak sambil takut. Entah engsel lehernya rusak karena kupukul, ataukah gemetaran menghadapi monster macam aku. Dia layangkan tatapan bertanya. Heh, masih berani juga. Aku melirik Hanan dan teman-temanku yang lain.

"Ini yang jadi sebab kau ada di sini!" teriakku. "Andai aja kau nggak buat ulah dan nurut, atau kau bantu aku ngerjain ulangan ini ... kau nggak bakal sakit."

Si culun menatapku. Aku bentak dia, dan dia berjengit. Kuambil korek dari saku dan kubakar kertas hasil ulangannya. Dia cuma meratap, menangis mengisi keheningan di kelas kosong ini. Walaupun menangis, itu akan percuma. Letak kelas ini ada di lantai tiga, di pojok pula. Ditambah para murid sudah pulang sejak sore.

Kecuali satpam dan orang kurang kerjaan, tak ada yang mampir ke sini saat malam begini.

"Woy!"

Si culun menoleh. Aku meludah matanya.

"Mukamu buatku muak."

Dia mengusap wajah dengan bajunya yang kotor. Keringat, debu, darah dari bibirnya yang pecah menjadi penghias seragamnya. Celana si culun pun sudah dilepas kawan-kawanku, kusuruh mereka membakarnya. Jadilah dia: pecundang yang hanya bisa menangis dengan badan bonyok, baju kotor, dan cuma pakai kolor bergambar bebek.

"Salahku apa, Zak?" Dengan suara terbata dan bergetar, dia masih punya nyali untuk tanya-tanya.

"Banyak, Bro."

Si culun mendongak dari tunduknya. Lagi, kuludah wajah itu, kali ini dengan dahak. Dadanya naik turun karena takut (atau emosi?) Aku tak peduli. Badan lemah macam itu tak bisa melawan balik.

"Kau sering lapor kalau kami bolos. Kau sering usulin razia tas dan itu buat rokokku kesita. Kau sering laporan sama pacar-pacarku kalau aku jalan sama cewek lain. Kau sering ganggu kesenangan aku. Dan yang paling kubenci dari orang lemah yang pengadu macam kau ...."

Kutarik kerah lehernya, memaksa si Culun berdiri walau lututnya lemas macam mi.

"Kau nggak sadar diri, Bro. Harusnya culun lemah macam dikau itu sadar diri. Tahu muka. Jaga etika dan sopan santun samaku. Ngerti?"

Si Culun hanya diam. Aku menusuk lubang hidungnya dengan telunjuk, kukorek, lalu kujejalkan jariku itu ke mulutnya. Saat dia hampir meludah, kusentil bibirnya.

"Ngerti? Mau kubuat kau nggak bisa ngangguk kalau kau nggak mau ngangguk?"

Si Culun mengangguk. Aku tersenyum puas.

"Hanan? Ambilin balsemku di dalam tas. Erik, Syahril, Hancet, Koret. Pegangin si kampret ini."

***

Kalau dipikir-pikir, ngeri juga aku waktu SMA dulu. Aku merinding. Andai ada cara buat kembali ke masa lalu dan diberi kesempatan untuk memberi wejangan pada aku yang masih remaja, aku tak mau ke sono walau dibayar sekalipun. Aku yang dulu sudah mirip raja Iblis. Berbincang hal yang tak kusukai bakal melayangkan malapetaka. Bisa-bisa gembel kurus macam aku yang sekarang dia ikat, masukin karung, lalu dilempar dari jembatan.

"Zak, melamun?" Kulirik si Hanan yang sudah tak ada tampang anak badungnya lagi.

"Anu, napa sama si Culun itu?" Firasatku tak enak.

"Coba liat nama ini?"

Hanan menunjuk sebuah baris, berisikan data singkat tentang pengadopsi. Nama perempuan, aku tak tahu hubungannya apa. Namun, saat melirik lagi, barulah aku tersadar.

Ny. Alya Tretetet.

"Nama lengkap si Deon itu 'kan Gideon Tretetet."

Aku tertegun. Betulan susah nampaknya. Hanan pun menjelaskan kalau si Deon-Deon ini ikutan saat menemani istrinya mencari hewan untuk dipelihara. Aku bertanya apa dia tak kenal Hanan, dan sobatku menjawab, "Waktu itu aku boker, Zak. Pas udah selesai, mereka dah pulang. Aku nggak tau mereka milih hewan yang mana. Tapi kalau enggak salah ingat, yang nyupir emang si Deon."

"Yang bener?"

"Hooh. Penampilannya beda banget. Bukan orang culun lagi. Orang yang ... yang macam yang berduit lah! Andai aku nggak lihat ini," Hanan menunjuk buku. "Aku nggak bakal tau."

Ya ampun. Pastinya si kampret itu menaruh dendam padaku. Pastinya si kampret itu akan membalaskan dendamnya padaku. Pastinya si kampret itu bakal siksa aku macam aku nyiksa dia dulu. Aku ... takut? Heh! Zakir takut? Tidak.

Zakir tidak pernah takut.

"Gimana?" tanya Hanan.

Aku menjejal napas, lalu memuntahkannya.

"Bisa kau antar kami ... besok?"

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang