17. Akhir

67 36 43
                                    

Aku menatap sosok di hadapanku. Apakah ini pembalasan dendam? Kalau iya, maka lakukanlah. Aku sudah letih; aku sudah capek. Terserah dia pula mau apakan aku. Tapi nanti, sesudah aku bisa pastikan kalau Anak Asem baik-baik saja, dan anjingnya berhasil dia jual.

Sosok di hadapanku menunduk. Aku sudah siap kalau dia ludahi. Kupejamkan mata menunggu dahak atau apa pun itu, tapi yang kutunggu tak datang jua. Kubuka sedikit mata ini, mengintip manusia di hadapan.

"Aku nggak sejahat kamu, Zakir." Suaranya pelan, tapi itu yang buat lututku bergetar.

Sekarang dia sudah berganti kostum. Di belakangnya, ada dua orang yang sejenis dengan yang menjaga gerbang. Bedanya yang ini dua-duanya punya rambut. Si Culun berjalan mengitariku. Dia sentuh rambutku, dan itu membuatku berjengit.

"Kasar banget, kayak jarang kena air."

Setan!

"Nah, Zakir. Mari kita cerita tentang masa lalu. Oke, dimulai dari kita pertama ketemu, ya?"

Si Culun memerintah anak buahnya. Salah satu penjaga pintu itu menghilang, kemudian muncul lagi dengan kursi lipat di tangan. Ke mana Anak Asem dia sembunyikan?

"Waktu itu upacara penerimaan siswa baru, kamu telat." Si Culun memulai sambil mendaratkan bokongnya di kursi.

"Rambutmu panjang, karena itu digunting guru."

Aku menatapnya dengan wajah datar, tangan kugesek-gesekan, berharap dengan itu tali tambang yang melilit pergelangan bisa lepas. Kampret, sakit yang ada!

"Tapi kamu ngelawan. Kamu bilang kalau ..."

Rambut enggak ganggu proses belajar!

Aku masih ingat waktu itu. Dan karena orang tuaku cukup terpandang, aku dibebaskan juga. Malangnya, rambut keparat memang ganggu. Selain gerah, bisa mencolok mata saat melirik papan tulis.

"Terus aku diam-diam kagum sama kamu."

Ingin kugilas mulut si Culun karena terlalu semena-mena. Makin jijik aku samamu, anjing!

"Kamu itu emang nakal, tapi berani. Beraninya kamu itu, nyadarin aku kalau kita enggak boleh diam terus-terusan waktu ditindas. Contohnya waktu ada kakak kelas yang malak kamu," ujar Si Culun sambil menggaruk dagu.

"Kamu biarin mereka mukul sekali, lalu kamu pukul mereka berkali-kali. Aku lihat dari jauh ngomong-ngomong, keinget waktu aku masih SD, waktu aku dipalak."

Aku tak peduli dengan urusanmu, kau yang laporin aku waktu itu sampai aku diskors.

"Aku diam aja. Aku nggak berani ngebentak. Aku nggak seberani kamu. Bahkan, di SD dulu, aku sering dikucilin guru. Walau nilaiku tinggi, aku selalu diremehin."

Hening. Aku merasakan keringat menetes ke lubang pantat.

"Waktu itu, aku mau jadiin kamu teman. Kalau lihat kamu yang kepedean dan nyaris narsis, aku ketularan pede juga."

Tunggu.

"Sampai aku ketemu Rini. Dia minjam penghapus. Ya, bener! Sebelum Rini pacaran sama kamu, aku sudah coba dekatin dia selama hampir dua tahun."

Pantas saja.

"Dan aku kalah dari kamu. Tapi aku nggak dendam, anehnya. Aku sadar kalau aku cuma kupu-kupu yang nyari bunga yang sudah diincar lebah."

Tunggu, itu narsis juga, ituh!

"Aku peduli sama kalian. Setiap kali kamu jalan sama cewek lain, aku laporan sama Rini. Setiap kali kamu nakal dan badung, aku selalu coba sadarin kamu dengan laporan ke guru. Sebut saja aku pengadu, tapi itu untuk kebaikan kamu juga, Zakir."

Aku diam.

"Aku pernah lihat kamu nangis di pinggir jalan karena ditempeleng ayahmu. Oke, masalah rumah kamu lampiasin ke aku, kamu bully aku. Sampai rasa benci tumbuh. 'Kenapa Zakir selalu salahin aku, padahal aku cuma mau bantu dia demi masa depan yang baik?' Aku tanyain itu."

Jadi?

"Rasa benci itu kupupuk, aku jadi nggak kagum lagi sama manusia ugal-ugalan kayak kamu. Aku belajar bener-bener, tapi kamu malah makin menjadi. Ingat waktu ulangan yang aku dapat nilai sempurna?"

Aku mengangguk patah-patah.

"Kamu tipu aku. Kamu bilang mau berdamai. Aku sih oke-oke saja. Malahan, aku senang karena akhirnya bisa temenan sama kamu. Tapi ..."

Hening lagi. Aku mendengar jantungku mengetuk dada dengan kencang.

"Kamu hajar aku. Keterlaluan. Perundungan paling parah di akhir semester dua kelas sebelas. Kamu siksa aku, kamu suruh temanmu lepasin celanaku, kamu rusak kacamataku. Dan terakhir, kamu ngolesin balsam ke pantatku.

"Itu buat aku hampir mati aja. Kenapa Zakir enggak langsung ngebunuh? Kenapa kamu enggak langsung bunuh aku? Aku jadi berpikir kalau kamu ngasih aku kesempatan balas dendam; aku makin marah. Aku emang mau balas dendam."

Aku terus menyimak bacot si Culun yang sejak tadi mengajak berkisah. Ketekku gatal.

"Waktu itu, aku lagi lihat kamu ngebut sendiri. Kebetulan, aku habis beli peralatan dapur, ada pisau segala macem. Tapi ternyata, kamu pulang ke rumahmu. Aku terlambat, tapi aku senang karena tau rumahmu. Aku nunggu kamu keluar sendirian lagi, menunggu kayak orang kurang kerjaan. Pas kamu keluar, aku senang bukan main, aku sudah nyiapin pisau besar."

Suara cicak menggema.

"Tapi harapanku pupus. Kamu keluar sama ibumu. Ibumu nangis-nangis. Kamu yang tadinya pulang pakai motor, sekarang nyeret koper dan jalan kaki. Untungnya, usaha belajar untuk menjadi cerdas nggak mengkhianati. Aku dapat kesimpulan kalau orang tuamu nggak akur.

"Waktu itu aku kasihan. Aku mau nolong kamu, Zak. Tapi dendamku juga sama besarnya dengan rasa kasihan itu. Dan, yah, aku biarin kalian gitu aja. Biarin takdir yang negur kamu, aku sudah capek soalnya. Biarin nasib yang balas perundungan yang pernah kamu lakuin dulu, aku nggak mau balas dengan tanganku sendiri. Biarin waktu yang bikin kamu sadar, aku sudah capek."

Helaan napas terdengar. Aku menunduk. Kenapa aku selalu menuntut keadilan, sementara aku yang tak pernah adil. Aku iri melihat apa yang tak bisa kugapai. Aku cuma mau hidup enak terus-terusan, tapi aku malah seenaknya terus-terusan.

Aku memukul anak orang lain, sementara si bangsat jahanam pukul ibuku. Aku main-main dengan perempuan, sementara si bangsat jahanam permainkan ibuku. Aku kualat? Kali aja begitu. Aku pernah merampok nenek-nenek yang duitnya banyak. Aku pernah menabrak kakek-kakek yang menyeberang jalan.

Semuanya sengaja.

Bukannya kurang kasih sayang atau apa, tapi ... ya memang kurang kerjaan.

"Jujur, aku waktu itu tetap mau balas dendam. Aku belajar habis-habisan, terus aku sukses seperti sekarang. Aku cari kamu, seenggaknya buat balas perihal balsam itu. Tapi waktu itu aku ketiban masalah.

"Dan ... kayaknya aku nggak cocok jadi orang jahat, Zak." Sekejap, si Culun berdiri.

"Aku dengar anak yang sama kamu itu lagi nyari anjingnya, dan ternyata anjingnya itu sama aku."

Kepalaku otomatis mendongak menatap orang yang sejak tadi membacot tanpa tujuan jelas.

"Sayangnya aku memang nggak cocok jadi orang jahat."

***

Satu part menuju akhir.

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang