6. Yang Lampau

101 51 65
                                    

"Nggak. Kamu jelek banget."

Aku tertawa. Di hadapanku ada gadis dengan kacamata dan kepang dua. Meliriknya saja sudah bikin mual, apalagi harus menjadi pasangan masa mudanya. Namun, harus ada yang mengapresiasi keberaniannya. Siapa saja, asal jangan aku.

Dia berbalik, samar-samar terdengar isakan. Labil. Anak cewek. Kebiasaan buruk menangis saat ada hal sepele. Kelas menjadi kosong melompong saat dia keluar. Namun, itu cuma sebentar sebab sobatku muncul beberapa saat kemudian.

"Nih, capek aku ngadepin mereka semua."

Sepucuk surat beramplopkan warna biru muda dibantingnya ke meja. Sekilas pandang sudah dapat ditebak kalau itu surat cinta. Apalagi kalau menengok tulisan "Untuk Zakir" lengkap dengan tanda hati di belakangnya. Aku muak dengan semua itu.

"Buang aja, kayak biasanya."

Hanan, sobatku, menoleh padaku. Kening berlipat macam baju jualan. Dia menegakan tulang belakang, menghadapku sepenuhnya.

"Tapi yang ini badannya bagus, eh! Lumayan."

Alis naik turun ditambah seringai usil. Yah, sudah bisa ditebak pikirannya tanpa bertapa untuk bisa membaca pikiran. Aku menghela napas pelan.

"Okelah, aku telepon Rini dulu."

"Mau ngapain?"

Tak kuhiraukan Hanan yang mencerocos di samping. Aku mengetik sebuah nama di kolom pencarian kontak telepon, kemudian mengetuk panggil, dan nada sambung yang tak nyambung terdengar.

"Halo, Rin. Kita putus, ya, aku 'dah bosen soalnya."

Kuketuk tanda merah, menyudahkan panggilan, tak mau memedulikan apa respons orang di seberang sana. Tak mau.

"Yuk, kek biasanya."

"Bolos?" tanya Hanan.

Aku mengangguk. Ah, ada satu ide laknat di kepalaku.

"Bawa yang baru ini, yang mau jadi cewekku ini, ikutan juga. Kita seneng-seneng bentar."

Kami beranjak dari kelas kosong itu. Namun, sesuatu membuat langkahku terhenti.

"Bu Andin! Dipanggil kepsek tadi!"

Wanita paruh baya itu menoleh padaku dan sobatku. Guru fisika itu perlu dijahili sedikit, suka bikin pusing aku, soalnya. Dia menatap dengan tatapan sangsi, lalu mengangguk lamat-lamat saat aku memasang tampang serius.

Jauh dari situ, kami tertawa.

"Kualat nanti." Hanan menelan tawanya.

***

"Sayang, kamu 'kan berduit nih ... pelembab bibirku abis."

Aku paham. Rara, pacar baruku, pasti minta dibelikan sesuatu. Aku mengangguk dan memberinya sejumlah uang, yang tentu saja uang jajanku. Tiba-tiba di tengah kesenanganku, Ibu menelepon.

"Apa, Bu? Gangguin orang lagi main aja." Aku sambar saja.

"Pulang, Nak."

Ada nada aneh yang tak terlalu ditangkap telingaku. Aku mengiyakan biar cepat. Pamitan kepada teman-teman dengan ogah-ogahan, aku melesat dengan motor merahku.

Sampai di rumah, aku sempat berpapasan dengan Ayah. Matanya menatapku dengan sorot marah. Namun, tak kuhiraukan dia dan beranjak ke kamar Ibu. Kulihat Ibu sedang menangis sambil menyusun bajunya. Jangan bilang kalau ....

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang