9. Arena Kehidupan

88 40 58
                                    

Aku memulai hari dengan menggaruk pantat. Bagian itu selalu gatal akhir-akhir ini. Bukan nyamuk, tapi kuyakin jamur. Sudah tak mandi hampir sebulan mungkin, aku lupa. Soalnya setiap mau nyebur ke sungai, selalu saja ada pengawas di sana.

Pernah sekali aku mandi tengah malam, esoknya bukan segar yang kudapat. Aku demam sampai-sampai terasa mengajak malaikat maut bermain catur. Sungguh pengalaman yang bangke. Jadilah aku yang sekarang, bagai seonggok tahi kuda basi yang bisa berjalan.

Hidungku? Mati rasa mungkin. Entah dengan hidung orang lain kala aku lewat. Bau badanku kuakui tak sedap, tapi tak cukup untuk buat hidungmu mengerisut sampai kecil dan mampus. Setidaknya.

Anak Asem bangun dan menggeliat. Nah, anak ini sudah punya sedikit rupa gembel. Walaupun masih setia dengan jam mahal, pakaian masih bagus biarpun bau, sepatu yang lumayan oke. Akan tetapi, mukanya makin jelek saja. Entah kenapa ada rasa familiar menengok si Anak Asem.

Setelah menyegarkan mata dan mengumpulkan nyawa, kami mulai berbincang. Pagi itu, lanturan dari mulutku beradu dengan ayam-ayam. Aku bertanya perihal semalam. Mengapa anak ini nekat berkeliaran tak jelas arah mencari hewannya.

"Ibu aku sakit. Aku nguping omongan dokternya, dia bilang harus dioperasi, Om."

"Bapakmu? Ngelihat pakaianmu begini, aku yakin kalo orang tuamu tajir, Dek. Apa bapakmu kawin lagi? Kabur?"

Anak Asem menunduk.

"Om, uang bisa habis juga, ya?" tanya Anak Asem setelah hening sejenak.

"Ya iya lah, Dek. Dulu, uangku banyak. Kupake buat beli yang enggak penting. Lama-lama abislah!"

"Aku kira uang ayah masih banyak. Tapi ...." Hening lagi. Kurasa aku bisa mendengar bisikan semut di dinding.

"Pas dengar dokter bilang harga operasinya, ayah aku langsung sedih. Aku juga udah berapa hari enggak jajan. Dia suruh aku nabung. Aku emang mau nabung, Om. Buat bantu ibu."

"Dek, coba nah, tunjukin foto anjingmu itu. Gimana sih rupa itu binatang sampe-sampe harganya mahal dan setara biaya operasi?"

Anak Asem mengeluarkan dua lembar kertas dari kantong celananya. Terlihat ada dua figur di satu foto dan cuma hewan di foto lainnya. Aku membidik lamat-lamat. Kepalaku pusing melihat gambar yang mengabus.

"Ini?" Aku menunjuk dua figur yang buram itu. Samar tapi kuyakin kalau rambut Anak Asem di foto ini terlihat panjang.

Anak Asem mengangguk. "Itu aku. Waktu aku masih kecil."

"Eh, kau cewek kah?

"Ya, iyalah, Om," jawabnya dengan nada jangkung.

Aku manggut-manggut saja biar lekas. Mataku kini beralih ke foto yang lebih jelas. Ada anjing yang cukup besar, berwarna hitam, dengan kalung biru yang bertengger di leher. Sudah besar hilang-hilangan? Aku menggeleng pelan.

"Hmm ... kayaknya mudah nyari itu anjing. Soalnya peliharaan di kota ini lebih macam anjing yang asli, telinga anjingmu itu bengkok. Yang asli biasanya tegak. Aku curiga itu siluman, makanya mahal. Bisa aja dia berubah jadi genderuwo."

"Om, ayo beli roti."

Aku tertegun. Ada badai apa yang mengguncang Bumi bagian sebelah?

"Om, ngawur terus. Pasti gara-gara jarang makan." Anak Asem menyengir.

Asem! Hampir saja aku belajar mengendalikan sesuatu dengan pikiran, mengundang meteor, membuatnya menabrak Bumi dan menghantam sosok bocah di depanku ini. Hampir, sebab sedetik kemudian, perutku bergemuruh.

"Kayaknya nanti hujan, Om," celetuk Anak Asem.

"'Napa?"

"Ada guntur." Tawa kecil pecah dari mulutnya.

***

Aku berharap, negara ini sudah produksi sepatu melayang, atau minimal sendal anti-panas. Tapi ... somplak, biarpun ada begituan di kota ini, aku tetap tak bisa beli. Aku tak bisa mengamankan kakiku yang sudah merengek kepanasan sebab bersinggungan dengan aspal.

Cuaca terik, tak tahu kapan terakhir makan, meraba-raba arah dan tujuan selanjutnya, dan sangat sepi sekali sebab jam kerja. Mantap. Beruntung hidupku bukan cerita bergenre horor. Kalau demikian, bisa-bisa pengarang bakalan iseng menambahkan sekumpulan mayat hidup untuk mengejar kami dan membuat cerita seolah menegangkan bagi pembaca.

Kami menyusuri sungai, menuju ke sisi lain kota. Ada ibu-ibu yang lagi menghajar kasurnya. Ada bapak tua yang mengayuh sepeda sambil menyanyikan lagu nasional. Ada bencong yang sedang mengamen dengan kaleng dan suara sengau.

Yang terakhir itu perlu dimusnahkan sebetulnya.

Jalanan sedang sepi sekarang, hanya kiri dan kanan yang agak ramai. Agaknya, sebab takaran sepi juga banyak di sini. Sebuah motor melaju kencang dari arah belakang, pengemudinya tampak membaiki kantong. Namun, detik berikutnya ada hal yang mengagetkanku, suara benda jatuh.

Di sana, di tengah jalan yang amat sangat panas banget sekali, ada benda pipih berwarna ungu tergeletak. Aku menoel bahu Anak Asem, menyuruhnya mengecek rongsokan itu. Anak Asem kembali dengan wajah heran sambil meneliti benda di tangan.

"Hape?" tanyanya sendiri sambil menggaruk-garuk poni.

"Simpen aja dulu, entar kita balikin kalo ada yang nyari." Kalo enggak ada, kita jual.

"Oke, Om!" Anak Asem kemudian menyelipkan barang itu ke kantong.

Kami melanjutkan jalan. Agak jauh dari situ, ada bapak-bapak penjual semangka yang sedang mengipas dirinya menggunakan talenan. Kami menghampirinya dan bertanya perihal hewan di dalam foto di tanganku.

"Enggak pernah lihat, Mas."

Kami menyeberang, menunjukkan foto itu pada ibu-ibu yang badannya macam menelan gentong.

"Sorry, Masnya. Saya enggak suka kalau ada pengemis di sini."

"Saya bukan pengemis, Mbak."

"Terus?"

"Youtuber."

Aku menoleh pada Anak Asem yang menyahut. Si Ibu terlihat tak percaya. Masa bodo, lah. Mending ke lain tempat aja. Baru sekitar lima puluh langkah dari situ, aku berpapasan dengan seorang waria yang mengangkat roknya tinggi-tinggi. Bulu kaki dan paha kekarnya terekspos.

"Lari!" jeritnya dengan nada yang hampir sama dengan aba-aba pengibar bendera.

Aku menoleh ke arah lain. Ada gerombolan manusia berbaju hijau. Ampas. Petugas keamanan? Jam segini?

Entah ada angin apa, Anak Asem malah kabur. Bukannya ikutan, aku hanya melongo di tempat. Aku tak menyangka kalau si kecil tengil itu berkhianat. Kampret!

***

Kasihan Zakir. :(
Kira2 dia bakalan ketangkep nggak, ya? Mari berdoa dan menekan tombol bintang, lalu share cerita ini. Biar banyak yang doain Zakir agar tidak tertangkap. :v

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang