Mungkin, langit sudah memasuki fase datang bulan. Selayaknya kaum hawa, ada fase di mana seseorang mengalami perubahan suasana hati secara cepat. Mulai marah-marah tak jelas macam kelinci yang ekornya kejepit, sampai ketawa-ketiwi macam pengidap penyakit otak-tertawa-rusak.
Lihat saja langit di atas. Tadi panas bagai bara api yang diolesi balsam, sekarang menjadi sejuk seperti senyum Asih.
Ngomong-ngomong soal janda itu, dia kasih tahu aku satu hal ampas yang bikin hati mengganjal.
***
"Mobil penangkar hewan liar?"
Asih mengangguk. Penangkaran hewan liar? Bukannya lebih bagusan kebun binatang? Memang di kebun binatang ada anjing?
"Dek, sini!"
Aku memanggil Anak Asem yang sedang bermain masak-masakan dengan Anak Asih. Si bocil menoleh kepadaku, berbisikan sejenak pada kawan barunya, kemudian ngibrit padaku. Anak Asih menyusul membawa mainannya.
"Pernah ke kebun binatang?" Anak Asem mengangguk.
"Di kebun binatang ada hewan apa aja?"
"Banyak lah, Om. Ada buaya, gajah, harimau, burung merak, ularㅡ"
"Stop! Ada anjing nggak?"
Si Anak Asem menggeleng. Aku melirik pada Asih, sementara janda itu malah mengangkat alis. Buntu eh?
"Diinget-inget, kali aja kau lupa nengok kandang anjing di kebun binatang." Aku mendesak sekali lagi.
"Enggak lah, Om! Ngapain orang di kebun binatang nyimpan anjing?"
Betul juga. Ngapain pula orang di kebun binatang nyimpan anjing? Aku menggaruk kepalaku.
"Mobil penangkaran hewan ...."
Asih menyodorkan kopi yang sisa setengah gelas. Aku mengangguk dan menenggaknya. Pahitnya semakin terasa karena minuman itu sudah dingin.
"Nambah lagi 'kan? Utangmu."
Spontan kusembur cairan pencegah tidur itu. Tak sengaja, kopi muncrat ke wajah Anak Asih. Anak Asih berteriak, melempar mainan berisi tanah. Tanah menghambur ke mana-mana, sedikit menelusup masuk ke mata si Anak Asem. Anak Asem kocar-kacir dan menjerit , "Air, air" sambil menggosok matanya. Dia lari ke dalam warung, memorak-porandakan jualan Asih.
Dan jadilah kami diusir dengan kondisi basah kuyup. Anak Asem mendapatkan apa yang dia mau.
***
"Kebun binatang? Kita ke tempat hewan-hewan?"
Aku bergumam sendiri. Meh, padahal sudah menyumpal mulut dengan satu roti, sedikit bakwan, dan segelas kopi. Apakah hobi melanturku bergeser dari pengisi kekosongan perut menjadi pengisi kekosongan hidup? Hmm ... macam yang iya-iya aja.
"Om, kayaknya mau hujan benaran."
Aku mendongak. Betul. Kubah biru yang tadinya cerah kini berselaput warna abu-abu. Ampas. Tujuan selanjutnya belum jelas, sekarang harus mencari persiapan buat meneduh. Kulangkahkan kaki ke arah jalan kecil yang kira-kira lebarnya setara dengan dua orang jangkung yang rebahan.
"Kita mandi hujan, Om?"
Aku menggeleng. Hujan pertama di bulan kemarau memang menggoda, tapi coba saja kalau berani mandi dengan air dari langit di saat itu. Kalau tak demam, kau keturunan dewa air.
"Kita 'dah basah, Om. Sekalian mandi hujan." Anak Asem menyengir.
Aku tetap menggeleng. Kufokuskan pandang mencari warung yang tutup agar bisa leluasa berteduh tanpa khawatir diusir. Kami menemukan satu di ujung simpang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Anjing![END]
HumorNamaku Zakir, belum makan dari kemarin. Biasanya kalau lapar begini, aku akan melantur gaduk soal ketidakadilan hidup. Waktu itu, kehidupan melaratku berubah jadi lebih susah lagi. Aku kesal, ingin mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan. Namun...