4. Bala Kecil

108 48 27
                                    

Jujur, judul bagian ini udah sepuluh kali ganti. Ada banyak opsi judul yang bikin mumet. Akhirnya, pilihan jatuh kepada ... yang macam kalian lihat. Dah itu aja.

Happy reading!

***

Wahai pembaca, bayangkan dirimu terdampar di sebuah gurun. Kau coba sisir gurun itu dari ujung ke ujung, tetapi yang kau dapatkan hanyalah: letih, lelah, dan penat. Tenagamu soak, bibirmu tak ubahnya barang pecah-belah, kakimu pun tidak dapat berkutik lagi.

Dan kau pun tumbang.

Namun, di tengah keletihan, kelelahan, dan kepenatan yang kau rasakan, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berambut mangkuk yang memakai baju hijau. Di bajunya terdapat corak abstrak dari adonan hingus dan air mata. Akan tetapi, dia datang dengan suara lantang dan mengaku sebagai dewa air. Percaya pulalah kau dengan matamu saat dia membawa banyak air minum gelasan.

Walau yang bawa itu kacungnya.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Di depanku ada beberapa gembel yang mengular macam ulat berjejer. Mengantri pembagian sesuatu yang ajaib, sesuatu yang bisa membuat manusia memiliki tenaga super: air mineral bersih. Tak heran, lidah kami terbiasa dengan air cokelat yang rasanya bagai lumpur disaring menggunakan pasir.

Memang lumpur yang disaring pasir pun.

Aku duduk di hamparan botol bekas yang sudah pipih. Di sebelahku, seorang lelaki tua yang punya kumis tebal sebelah ikutan duduk. Dia menjejal napas dan memuntahkannya kembali. Akhir-akhir ini, keriputnya bertambah.

"Enggak ikutan ngantri, Bah?"

"Enggak. Dulu masih muda, air begituan gak level di lidahku. Buat mandi doang," jawabnya.

Tawa kecil meluncur dari mulutku. Sejak pertama kali mengenal dunia per-gembel-an, orang tua inilah yang paling sering memberi tolong kepadaku. Dia suruh aku memanggilnya dengan sebutan "Abah", walau sampai sekarang agak ogah buat membunyikan kata itu.

Perawakannya cukup untuk membuat orang lain percaya kalau orang ini pernah ikutan pasukan keamanan negara. Otot kerasnya bersembunyi di kulit keriputnya. Namun, semakin lama otot-otot itu semakin layu. Sepuluh tahun, tidak! Lima tahun lagi otot itu akan tidur sepenuhnya. Aku kembali melirik kumis tebal sebelah itu.

"Siapa itu? Bukan gembel baru kayaknya."

"Oh, ituh. Nggak tau, orang aneh, tiba-tiba datang kasih tau aku kalau anjingnya ilang. Tiba-tiba juga maksa aku buat tolong dia."

Pak tua di sebelahku menoleh dengan tatapan yang tak dapat kumengerti. Aku membalasnya dengan pelototan, tapi itu buat dia tergelak dan menonjok bahuku. Tenaganya ... terasa masih besar. Tiba-tiba si Anak Asem menghampiri kami.

"Om, udah habis semua, tapi ada yang nggak kebagian." Si Anak Asem mengarahkan telunjuk ke beberapa gembel yang berliuran menatap saudara segembelnya minum air.

"Kenalin, Kek. Aku Faili."

Si Anak Asem menyodorkan tangan, kemudian mencuri tangan Pak Tua. Aku sedikit tertegun. Tak ada kesan jijik sama sekali. Sungguh baik hati.

"Tangan Kakek bau asem, tapi nggak papa." Ralat, sungguh tak berakhlak.

Pak Tua hanya tertawa, Anak Asem menanggapi dengan cengiran tak sopannya. Aku menepuk bahu si anak.

"Yang sopan sama orang tua."

"Faili!"

Suara serak yang melengking berbunyi. Macam terompet kemasukan air, asalnya dari bacot anak kecil yang bajunya mirip kain lap. Senyumnya terbuka dan menampilkan gigi busuk yang kalau dia ber-"hah", yang didekatnya bakalan "ngik".

"Mirip kamu, Zak."

Apa?

"Mirip kamu waktu baru pertama ke sini, tuh anak."

Aku melirik perlahan pada si Anak Asem yang berdiri panas-panasan. Dia mengamati para bocil gembel yang sedang main mainan dari sampah. Ketika dipanggil mendekat, dia akan menggeleng. Aku bergidik, ogah banget disamakan dengan entitas itu.

"Dah, aku mau jual sampahku dulu."

Abah berdiri. Dia berjalan menjauh dengan pelan. Walau badannya terlihat masih bugar, kuyakin sekali terjang pinggangnya bakal remuk. Bisa terlihat dari sini, orang itu menghampiri lima karung besar berisi sampah. Aku menggeleng, kelihatannya sepuluh terjangan menghantam pinggangnya masih tak berefek. Tengok, sekali pikul dia mampu bawa dua karung besar.

***

"Om, emang gembel di tivi-tivi juga punya rumah, ya?"

Aku mengangguk. Aslinya, walau diselimuti kemiskinan, kaum kami itu cukup kreatif dan pandai. Semua yang ada bakalan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup. Kain bekas, baju rombeng, papan butut, botol bau. Semua. Tinggal putar otak sedikit, jadilah rumah-rumahan yang sebetulnya tak layak dihuni. Asal punya atap dan tidak basah waktu malam, kami bakalan tidur nyenyak dan bermimpi menginap di hotel mahal.

"Om tidurnya gimana?" tanya si Anak Asem.

"Merem."

Sejak baru masuk pintu rumahku yang mirip liang kubur, Anak Asem tak henti-hentinya memerhatikan sekeliling. Awal-awal matanya tak lepas dari dinding yang terdiri dari berbagai material di bagian dalam, tak macam luarnya. Dinding ini memang kubuat se-alakadarnya, luarnya pun terekat se-alakadarnya. Kau tak bisa menemukan rumah dengan luar kayu dan dalamnya tumpukan sampah seperti rumahku.

Kecuali kau niat dan iseng bikin.

Mata Anak Asem melirik atas. Ada atap yang kubuat dari campuran akar serabut dan kulit kelapa yang dilapis-lapis, kurajut pakai tali bekas, kututup lagi dengan jas hujan dan bangkai payung hasil mulung. Terakhir, lantai tanah kuberi kardus. Aku tidur di atas kasur jadi-jadian dari tumpukan baju yang kebetulan rejekiku untuk memilikinya. Walaupun kotor dan lebih mirip keset kaki.

"Kalau tidur di situ, Om nyenyak nggak?"

Aku menghela napas kesekian kalinya. Beruntung kesabaranku seluas dunia. Tak kuhiraukan Anak Asem. Lebih baik aku membasuh kerongkongan saja.

Ketika aku mengambil saringan dari pasir yang dilapis kain taplak meja, Anak Asem berjengit. Kuciduk air dari dalam baskom bertambal milikku, Anak Asem terbelalak. Aku menyaring air lumpur itu, yang keluar adalah susu cokelat yang bukan rasa susu.

"Itu bisa diminum?"

Selama sudah disaring, jernih atau tidak, aku tetap berani minum air laknat itu. Walaupun lebih cocok membasahi tanaman ketimbang tenggorokan. Toh, minum yang begituan sudah membuat perutku kebal dari marabahaya.

Kentongan dari kayu berbunyi, aku menoleh. Malam akan tiba, senja memberitahukan kepada seluruh gembel untuk menyalakan pelita. Aku mengambil korek dan menghidupkan lampu tradisional yang isinya minyak jelantah. Dapat dari tukang loak.

"Om, boleh keluar nggak? Kata Ojan, malam ini ada api unggun."

"Ojan siapa?"

"Itu loh, yang rumahnya dari botol, yang tadi kita lihat waktu masuk gerbang."

Aku mengangguk, si Anak Asem pamit secepatnya. Hitung-hitung hiburan, aku berinisiatif ikut keluar selepas meletakkan pelita. Baru kaki kanan melangkah, beberapa gembel berlarian. Saat aku keluar rumah, terdengar banyak sorakan. Aku mencegat salah seorang manusia jelek yang sedang lari juga.

"Ada apaan?"

"Rumah Pak Samsul ... kebakaran!" Telunjuknya mengacung dan mengarah ke nyala api.

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang