Mataku menatap langit yang gelap tak ubahnya masa depan. Setitik tempat kecil di otakku menyimpan memori malam ini. Kuhirup napas dalam-dalam, menahannya sebentar, lalu melepaskan gas dari pantat. Akhirnya, kentut yang sudah kutahan selama dua hari ini keluar juga.
Selintas ingatan muncul. Ingatan yang pilu, bahkan hidupku yang menyedihkan sekarang ini kalah sedih dari itu. Ingatan tentang masa lalu.
***
Angin menerjang kompleks para gembel. Sehari setelah bangkrut habis-habisan, kami langsung pergi ke tempat yang ditunjuki Pak Tua yang kumisnya tebal sebelah. Kukira dia mau carikan rusun gratis, ternyata gratisnya doang yang ada. Bukan rusun, tapi rumah-rumah mengenaskan yang tak pantas disebut rumah sama sekali.
Dan kami lebih mengenaskan karena harus tidur di dalam dua kardus kulkas yang disangga kayu. Tak bisa duduk, apalagi berdiri. Kondisi itu terus berlangsung hingga setahun dan memakai berbagai macam kardus. Tai.
Kadang kala kami kembali ke zaman purba, menjadi manusia nomaden. Pernah suatu ketika waktu tidur di kolong jembatan, air pasang mendadak sebab hujan lebat. Beruntung kami tak mati mengenaskan di sana. Setahun berikutnya pun lewat begitu saja dengan kebiasaan yang berpindah-pindah.
Kami mulai membuat hunian. Hunian yang sangat tak pantas disebut hunian. Meski sudah dua tahun lebih begini, tetap saja aku tak terbiasa. Aku kadang masih diam-diam menjadi tukang copet yang menyamar jadi orang gila. Kadang aku juga bersandiwara menjadi pengemis. Targetku adalah para pelancong yang dari mana pun aku tak peduli.
Setahun terlewat lagi.
Aku mulai lihai mencopet, mencuri, dan berakting. Jika melihat batang hidungku yang besar, kau tak akan mengira kalau bahaya yang lebih besar sedang mengintai hartamu.
Hingga empat tahun berlalu, aku hidup begitu. Di luar, kesengsaraan terlihat sangat jelas. Di dalam pun aslinya sama, tapi aku tetap bisa hidup enak. Tentu saja Ibuku tak tahu.
Namun, terlalu menikmati sesuatu bisa membuat lupa waktu. Lupa waktu bisa membuat kita lalai. Lalai akan berujung pada suatu kelengahan. Apabila sudah begitu, bencana mengincar.
Aku salah langkah, aksiku kepergok, kejadian bertahun-tahun silam terulang lagi. Untungnya kali ini adalah ... aku tak tertangkap. Berpuluh orang yang mengejarku tak berhasil. Setidaknya aku bisa bernapas lega walau sejenak. Ya, hanya sejenak sebab wajahku dipajang di mana pun dan aku menjadi buron.
Malang menimpa, aku akhirnya tertangkap jua. Macam pepatah kampret yang kini melayangkan petaka untukku: Bau busuk akan segera tercium walau ditutup-tutupi. Kami diusir dari kompleks gembel, menjadi masyarakat nomaden lagi, dan aku mendekam di penjara.
Liciknya, orang yang menuntutku membebaskan secara tiba-tiba. Aku sudah mengira kalau ada tahi cicak di tumpukan nasi. Dan memang benar, Ibu dijadikan budak.
Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang pasti aku sudah sangat berdosa pada orang tua tunggalku itu. Dari situ, bukannya tobat, aku berniat membebaskan Ibu diam-diam. Namun, ternyata tak semulus rancangan di kepala.
Selayaknya Iblis yang menelusup masuk ke surga, aku masuk ke rumah orang yang menyandera Ibu. Tiba-tiba saja aku dituduh iblis betulan karena lolos dari penjagaan yang katanya ketat. Anjing! Bahkan saat aku masuk ke situ pun tak ada penjaganya. Anjing!
Kami diduga penyihir. Sungguh, terlihat terlalu mengada-ngada. Mana ada orang waras yang percaya sihir di zaman modern? Kalaupun ada, otaknya sudah terkontaminasi kisah khayalan, atau tidak, dia pengidap radang otak. Yang berarti dia tidak normal.
Dan si bangsat membayar orang-orang buat menghajar kami sampai hampir mampus. Ya, duit adalah segalanya. Mau seampas-jahanam apapun ceritamu, orang bakal percaya asal kau punya kertas ajaib untuk tutup bacot mereka. Aku dan wanita yang paling kusayangi dalam hidup, menjadi babak belur sebab semua omong kosong ini.
Kukira hanya fisik yang terluka, ternyata batin Ibu juga. Bahkan bagian dalam tubuhnya pun demikian. Tak kusangka dia sembunyikan penyakitnya yang sampai dikubur pun aku tak tahu penyakitnya apa. Tak kusangka pula dia yang sakit-sakitan itu memeras tulang untukku.
***
Kukira, takdir sudah membentuk kami sedemikian kuatnya. Namun, aku terlalu banyak berharap. Terlalu banyak. Tak seperti kondisiku yang mengenaskan, Ibu lebih sekarat. Di bawah jembatan yang atasnya sepi dari kendaraan, di bawah jembatan yang gelap dan lembap, di bawah jembatan yang lebih mirip markas anak badung, di bawah jembatan yang tepinya sesekali ditampar air. Ibu menahan paksa nyawanya sendiri. Menjejal paksa udara agar masuk ke paru-parunya untuk tetap berpapas. Memaksa agar mulutnya berbincang.
"Yang kuat, Nak. Kalau kamu mau cerita apa pun, cerita sama langit, Nak. Angin bakalan bawa terbang keluh-kesahmu menuju ibu. Ibu bakalan setia jadi pendengarmu."
Entahlah, Bu. Aku tak tahu. Aku tak tahu apakah dosa-dosaku masih bisa diampuni. Aku tak tahu apakah membantu bocil yang sedang tidur di dalam rumahku itu bisa menghapus dosaku. Aku tak tahu.
Di ujung kebingungan yang amat sangat, teringat kalimat Ibu yang lain.
"Lakuin kebaikan walau sedikit, lakuin kebaikan walau terpaksa. Tak apa demikian, asal jangan pernah mengharap balasan."
Sudah berapa kali aku menghela napas hari ini? Entahlah, aku lupa. Yang aku tahu, aku harus membantu Anak Asem. Semoga Tuhan berkenan mengampuni dosaku, atau minimal menguranginya.
***
Mohon maaf kalau kurang nge-feel. Aku nggak pande bikin cerita yang sedih-sedih. :)
Sudahkah kalian bersimpati dengan Zakir?
Ingat, jagalah kesehatan dan jangan lupa tekan tombol bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Anjing![END]
HumorNamaku Zakir, belum makan dari kemarin. Biasanya kalau lapar begini, aku akan melantur gaduk soal ketidakadilan hidup. Waktu itu, kehidupan melaratku berubah jadi lebih susah lagi. Aku kesal, ingin mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan. Namun...