Halo? Ada yang kangen Zakir? Kalau kangen aku? Eh.
Happy reading
***
"Nah! Dapat satu, nih. Ayo, cepet ikut ke kantor!"
Seseorang berbaju hijau mencengkeram lenganku. Aku menoleh ke belakangnya, ada tiga sampai lima orang yang berotot lainnya. Buset.
"Pak, saya bukan pengemis!" jeritku.
"Terus?"
"Youtuber."
Anak Asem muncul dari persembunyiannya. Dia memegang ponsel hasil pungut dan berakting seolah mengutak-atik barang itu. Petugas keamanan melirik ke arahku.
"Saya bukan pengemis. Kami lagi ambil gambar!" sungutku.
Petugas keamanan menoleh ke belakang, mendiskusikan sesuatu lewat gerakan bibir. Atau telepati, mungkin.
"Bener?" Petugas keamanan mengendurkan cengkeramannya.
"Tanya aja sama adekku." Aku menunjuk Anak Asem yang masih pura-pura mengotak-atik ponsel.
"Ayo, Bang. Lagi!"
"Oke, oke. Saya percaya. Ya sudah, kalian lanjutkan saja, kami mau menelusuri daerah ini. Jangan mengganggu ketertiban, ya." Akhirnya petugas itu melepasku.
Iya, kampret. Udah sana. Hus!
Para petugas keamanan segera minggat beserta kawanannya. Aku menghirup angin sebanyak mungkin, mengisi paru-paru agar tetap ada isinya. Lututku lemas sekali sekarang. Aku sempat kira bakal ditangkap dan berakhir jadi babu mereka.
Kulirik Anak Asem yang masih mengotak-atik ponsel itu. Tiba-tiba si bocah menoleh, mengajakku ke gang sempit nan gelap yang diapit dua toko yang sedang tutup. Kami pun menyeberang dengan santai.
"Dek, dari tadi ngapain sih?"
"Hapenya enggak dikunci, Om!"
Aku melirik barang pipih itu. Eh, makin canggih aja teknologi zaman sekarang. Aku kira diriku ini sudah cukup pintar dan modern daripada gembel-gembel lain di kompleks, ternyata aku ketinggalan jauh juga. Anak Asem membongkar ponsel tersebut, mengeluarkan kartu sim, lalu membuangnya.
"Dek, yang kau lakuin itu masuknya tindak krinimal loh!"
"Kriminal, Om," bacotnya.
"Ayo, Om. Kita nyari anjing aku lagi."
Setelah berkata demikian, Anak Asem berjalan lebih dulu. Aku menghirup bau kubangan nista. Harusnya sebelum menghela napas, aku liat tempat dulu. Kunyit. Aku bersin.
***
"Bu ... pernah liat .... HACHIM!"
"Ini, Mas."
Eh? Roti? Penjual biadab! Aku menghampiri Anak Asem yang duduk di pinggir jalan dengan dua roti di tangan.
"Penjual biadab, dia, Dek." Pelan-pelan kubuka bungkusnya.
"Aku datang baik-baik pengin nanyain perihal anjingmu itu." Aku melebarkan celah agar roti bisa keluar.
"Eh, dia malah kasih aku roti. Dikira aku pengemis? Sebenarnya, aku malas minta-minta, makanya aku lebih milih mulung daripadaㅡhm, enakㅡngemis. Ngemis itu koyok yong nggok mau usoho, Dek. Eh, stobeyi, aku huka." Aku menelan roti itu.
"Masih bagusan mulung 'kan sebab ada usaha? Nih, lihat. Dapat makanan enggak susah. Tinggal tadah. Pernah waktu itu ada pengemis yang badannya kekar, jalan tegak, lebih mirip kuli yang makmur lah. Eh, pas dia nemu target, jalannya berubah jadi bungkuk-bungkuk. Suara dibuat lemas. Apaan begitu? Cuma orang pemalas yang kerjanya minta-minta." Aku menggigit roti lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Anjing![END]
HumorNamaku Zakir, belum makan dari kemarin. Biasanya kalau lapar begini, aku akan melantur gaduk soal ketidakadilan hidup. Waktu itu, kehidupan melaratku berubah jadi lebih susah lagi. Aku kesal, ingin mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan. Namun...