Aku mengusap bagian bawah mata kiri yang terasa bengkak. Di sebelahku ada anak dengan potongan rambut mangkuk. Anak astral yang tak jelas asal-usulnya. Mengekor dengan muka tak berdosa, tanpa menghiraukan om-om miskin di sampingnya yang kesakitan.
Tadi, ada kesalahpahaman yang tak perlu soal anak di sebelahku. Sewaktu dia menangis di pinggir jembatan, ada bapak-bapak kurang kerjaan yang berbalik, turun dari motor, meninjuku, beradu bacot sedikit, hingga sampailah mufakat yang berujung pada ikutnya bocah di sampingku. Beruntung tak banyak yang hampiri kami tadi, beruntung juga perkaranya sudah kujelaskan dengan si bapak asing.
Eits, tentu saja aku tutupi fakta bahwa awalnya aku ingin terjun dari jembatan itu.
"Om, rumah Om di mana sih?"
Berapa kali pertanyaan itu terlontar? Sepuluh? Sebelas? Aku tak ingat. Yang jelas, begitu bacot anak ini terbuka dan muncul pertanyaan serupa, aku akan jawab:
"Depan situ, bentar lagi nyampe."
"Ah, dari tadi nggak nyampe-nyampe. Capek nih!"
Dasar anak manja! Aku sudah sering nguar-nguir menjelajah sudut kota, yang tentu saja hanya pelosoknya. Berkeliaran dengan tampang gembel beginiㅡyang memang diriku gembelㅡsecara sembarangan bakal mengundang petugas keamanan. Aku hanya menggeleng pelan, mengusir lalat yang entah dari kubangan lumpur atau tahi sapi. Baru jalan sepelemparan batu dia sudah ngeluh.
"Om," panggil si Anak Asem.
"Bentar lagi dibilang, budek betulan?"
"Itu!"
Nah, panjang umur petugas keamanan.
Saat ini, kami sedang menyusuri pinggiran sungai besar yang sepi karena masih pagi. Di kedua sisi sungai ada trotoar yang sering digunakan remaja kurang kerjaan duduk-dudukan membuang masa muda. Agak jauh dari tempat nongkrong, jalan besar menetap di situ, kabel malang melintang di atasnya, sampah plastik berserakan di pinggirnya. Aku benci masyarakat pengotor, tapi lebih benci lagi manusia berbaju hijau di depan sana.
Kutarik si Anak Asem menyeberang dan masuk ke gang sempit nan gelap di salah satu apitan gedung. Aku hafal jalan-jalan yang macam begini. Rute darurat untuk kabur seperti sekarang, tempat menghindar dari kebisingan kota, juga wadah untuk pelepasan hasrat durjana. Biasanya, kau bakal temukan suara mesum yang berasal dari penjahat kelamin miskin di gang sempit yang serupa. Tumben jalan tikus ini sepi sekarang.
"Om, aku takut."
"Cuma gelap dikit inih."
Si Anak Asem merapat. Nah, aku takjub.
Biasanya, kami-kami(komplotan gembel) bakalan dijauhi masyarakat modern. Bahkan mereka menghasut anak-anak mereka untuk ikutan emak-bapaknya. Kadang kala kami diserupakan dengan orang gila. Baju robek sana-sini karena terjangan cobaan hidup, rambut semrawut karena biaya mandi mahal, serta badan bau sebab bergelut dengan sampah. Yang buatku heran adalah, kenapa Anak Asem tak peduli akan hal itu.
Setelah di pertigaan gang yang mirip sarang setan, aku mengambil jalur kiri. Genangan bau busuk kami lompati, tumpukan sampah kami langkahi. Tak ada orang normal yang sudi melewati jalan sempit dan gelap dan bau dan kotor ini. Aku melirik ke tangan kanan, Anak Asem semakin merapatkan diri berhubung gelapnya sekitar sudah menyerupai gua.
"Di sana, ada pertigaan lagi. Tinggal belok kanan, lurus, nyampe deh."
"Rumah Om?"
"Bukan, tukang loak."
Aku tak memakai sendal, barang itu kutitipkan ke tukang loak. Walaupun aslinya aku sangsi. Maksudku, hei! Siapa orang berotak normal yang ngebet pengin beli sendal bekas yang dua-duanya beda jenis? Satunya sendal jepit kusam, sebelahnya lagi selop rongsok. Tapi aku sangat perlu itu alas kaki buat sampai ke tempatku.
Kami berbelok macam yang kubilang tadi, lalu lurus macam yang kubilang tadi juga. Ada jalan kecil yang kiri dan kanannya dipenuhi aneka orang berjualan. Pasar ilegal sebenarnya, sebentar lagi para pedagang kampret ini bakal kocar-kacir lari berhubung petugas keamanan nanti pasti lewat sini. Aku dan Anak Asem menghampiri bapak-bapak yang punya kumis dan perut yang sama gemuk.
"Paan?" tanya si Tua. Kumis tebalnya berjoget sejenak kala dia bicara.
"Sendalku."
Aku menadahkan tangan, si Tua menggaploknya.
"Gada-gada. Udah aku kasihin ke pemulung lain," terangnya.
Aku hanya bisa melongo.
"Bang, ini aku punya barang buat nebus nih."
Kuangkat sekeping logam terakhir milikku. Namun, kening si Tua tertekuk masam. Dia mengipasi tangannya serupa mengusir nyamuk dari nasi. Aku menggoyang duit seratus perak itu.
"Bang, nyicil dong. Masukin ke bon aku." Si Tua tetap menggeleng.
Aku berdecak, menatap jalanan, syukur-syukur ada lima ribuan yang tercecer di sana. Namun, aku sadar kalau uang jatuh tak akan berumur lama di tempat ini.
"Ini, cukup?" Sebuah suara mengagetkanku, aku lupa kalau ada Anak Asem.
Si Tua mengangkat alisnya, keliatan kaget, aslinya tidak kaget-kaget amat. Aku yakin. Dia melayangkan pandangan bertanya padaku. Aku cuma bisa angkat bahu dan menjelaskan dengan jujur.
"Nggak tau, anak nyasar." Kutolehkan kepala pada Anak Asem.
"Nggak usah, Dek. Simpan aja itu duit buat ditabung."
Si Anak Asem menarik lagi uangnya, tapi duit ungu itu langsung dirampas si Tua. Aku terperangah. Kecepatan tangannya lebih lincah daripada iblis.
"Nih," ujar si Tua seraya melempar dua buah sendal berbeda jenis.
Sendalku. Sendal kesayanganku. Sendal kesayanganku yang selalu menemani sebulan terakhir. Aku rindu. Masih larut dalam euforia, samar-samar suara sirine menggaung di telinga. Aku tersadar dan melirik beberapa pedagang yang mulai kelabakan menyusun barang.
Petugas keamanan.
Si Tua masih melamun tak menyangka, kusambar uang di tangannya, kemudian membaur dengan para pedagang yang lari lintang pukang. Tak lupa, tangan Anak Asem tergenggam di sebelah kananku.
"Cepetin larimu Anak Asem!" Aku menjerit.
"Namaku Faili!" balasnya ikutan menjerit.
***
Apa? Enggak mau vote? Aku sambar rumahmu mau?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Anjing![END]
HumorNamaku Zakir, belum makan dari kemarin. Biasanya kalau lapar begini, aku akan melantur gaduk soal ketidakadilan hidup. Waktu itu, kehidupan melaratku berubah jadi lebih susah lagi. Aku kesal, ingin mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan. Namun...