5. Satu Gelas Tragedi

116 47 42
                                    

Kobaran api hanya sejenak, tapi keluarga Samsul-samsul ini bakalan susah nyenyak. Rumah yang paling bagus (paling ingin kujual), yang terbuat dari botol diisi sesuatu yang sampai sekarang aku tak tahu itu apa, separuh lebih dijilat api. Bahan dasar yang mudah tersulut membuatnya terbakar dalam kecepatan setan. Anaknya menangis di pelukan sang ibu, sementara si ayah mencari sesuatu di puing-puing rumah kecil mereka.

Oh, itu, aku cuma lihat dari jauh. Mau ke situ pun percuma. Solid-nya para gembel mengalahkan suporter tim bola, soalnya. Hampir semua gembel di sini membantu, hampir karena aku telat. Tak apa, yang penting setor muka bentar.

Tapi aku ke sini bukan buat ikutan sedih, aku nyari ....

"Om."

Nah, bocil badung, Anak Asem. Akhirnya ketemu tanpa harus kucek gerombolan di depanku. Aku menatap wajahnya yang gelap sebab penerangan minim di luar begini.

"Ayo ...."

Aku mengikuti arah perginya Anak Asem. Rumahku. Kami ke rumahku. Dan sejak kakinya masuk, mulutnya rapat. Aku tak menangkap sinyal aneh atau apa pun itu. Namun, begitu wajahnya disiram cahaya pelita, barulah nampak mata basahnya.

"Kenapa?" tanyaku. Ya, betul. Kenapa? Aslinya aku tak peduli pun, tapi kalau dia teriak, gelarku bisa berubah dari cuma gembel biasa jadi gembel tunamoral.

Isakan keluar sebagai jawaban. Mataku terbeliak, buru-buru aku membekap bibirnya, dia meludah, mengusap mulut, menangis lagi.

"Dek, mohon ampun beribu ampun, tolong  jangan nangis tiba-tiba begini. "

Si Anak Asem mengangguk, menunduk, dan mulai mencicit. Aku menajamkan telinga yang dikecoh suara jangkrik untuk mendengarnya.

"Tadi ... aku ngejar Ojan." Isakannya mati-matian dia redam.

"Tapi ... Ojan masuk rumahnya." Anak Asem mengusap kelopak mata.

"Abis itu ... aku ikut masuk." Hening sejenak.

"Aku enggak lihat pelitanya di situ. Enggak sengaja kesenggol."

Mata bocil di depanku membasah lagi. Aku mendekat.

"Betulan begitu?" tanyaku.

Anak Asem mengangguk menanggapi. Aku mengelus kepalanya. Bisa kurasakan batok kepalanya bergoyang, juga bisa kupastikan getaran itu berasal dari badannya. Pasti jantungnya sedang konser karena sangat takut.

"Bukan salahmu, enggak sengaja juga 'kan?" Anak Asem kembali mengangguk.

"Oh, hampir lupa. Berapa umurmu?"

"Delapan, Om."

Betulan seumuran dengan anak janda warkop tempatku sering ngutang. Dan karena ingat itu, aku ingat hutang-hutangku. Karena itu pula, aku harus melunasinya. Atau minimal mencicil.

Tapi aku capek mulung, kampret!

"Sekarang mending kau tidur aja."

Anak Asem mengangguk. Dia beranjak ke tumpukan baju dan membaringkan badan di situ. Bahunya masih bergetar. Sudah berapa kali aku menghela napas hari ini? Aku tak ingat.

Aku membuka pintu sepelan mungkin, keluar sepelan mungkin, dan menutupnya sepelan mungkin. Ada ikatan batin alami yang dimiliki setiap gembel yang ada di kawasan ini. Siapa pun yang kena musibah, maka kami harus ikut berunding dan membantunya.

"Besok, jangan ada gembel yang enggak ikutan mulung." Abah, selaku dedengkot para gembel memberi titah.

Sekarang, dalam gelapnya dunia, kami melingkar dan menghadap api kecil. Pak Tua menyuruh agar semua gembel memulung sampah, memilah sampah bagus, lalu akan disumbangkan untuk keluarga Samsul. Aku angguk-angguk saja, walau hati ini sekarat karena tahu harus mulung lagi.

"Zakir, besok ikut aku."

Aku angguk-angguk lagi, sekalian akan kuantar si Anak Asem ke rumahnya. Rapat pertemuan perserikatan gembel satu kawasan itu bubar. Semua pulang ke sarang masing-masing. Salah seorang malah tak punya sarang, mungkin sekarang dia mencari tong sampah besar atau pergi ke kolong jembatan.

***

Bukan suara ayam jago yang rajin, bukan pula suara kentongan butut. Yang membuatku sudah duduk pagi ini adalah ... aku tak tidur sama sekali. Tak bisa. Bocah kampret yang sedang pulas dengan air liur di pipi yang menjadi penyebab aku tak menutup mata barang semenit pun. Dia mendengkur.

Aku memutuskan keluar rumah. Kuraba saku tempat rokok kemarin bersemayam. Jikalau kemarin basah setengah, maka hari ini rokok itu patah setengah. Tak apa, yang penting bisa memaniskan bibir dan hidup walau sejenak.

"Kukuruyuk!"

"Setan bogel!"

Aku menatap bapak-bapak bersurai singa yang tertawa jahil. Remang-remang mentari yang masih mengintip membuatnya lebih mirip hantu gerandong. Salah satu tetua gembel, yang menurut mitosnya dia lebih senior dari Abah.

"Tegang banget, Zak. Anak yang kemarin mana?" tanya dia.

"Masih bobo."

Orang itu manggut-manggut. Kuembuskan asap ke langit pagi.

"Zak, jangan-jangan ... itu anak bawa sial."

Aku terlonjak kaget.

"Pak, jangan nakut-nakutin, nah."

"Kata istrinya Samsul, yang nabrak pelitanya tuh dia! Makanya sampai kebakaran," terang si bapak.

Aku menggeleng. "Enggak sengaja, pasti. Lagian anak kecil main tikus-tikusan itu wajar, Pak."

"Kemarin dia kasih air 'kan?" Aku mengangguk.

"Anak aku batuk-batuk dan demam, Zak, abis nilep itu air!"

Eee, itu mah tenggorokan anak situ yang nggak pernah dimanjain.

"Belum tentu gara-gara airnya 'kan?"

"Eh, Zak, kenapa situ malah belain dia?"

Betul. Kenapa aku malah membela si Anak Asem? Aku hanya mematung. Bapak-bapak tadi berlalu dengan wajah pahitnya, meningalkanku yang sedang menatap jidat sang surya yang muncul perlahan.

***

Aku pernah bilang kalau benci masyarakat pengotor. Meh, tak sepenuhnya. Kadang kala aku senang saat melihat tumpukan barang bobrok, botol jelek, dan seterusnya, dan sebagainya. Karung besar bakal cepat penuh kalau bertemu dengan yang begituan. Makin penuh karung dan banyak sampah, makin berat pula timbangannya.

"Om, aku sama Kakek aja, ya."

Aku mengangguk. Anak Asem pergi ke seberang jalan. Menurut wangsit dari hasil terawangan penjaga portal, ini hari Minggu. Harusnya pertigaan di belakangku sesak kendaraan, tapi sekarang hanya satu atau dua mobil iseng, juga motor usil yang membunyikan klakson saat akan berbelok.

Pletak!

Kira-kira begitulah bunyinya. Sebuah barang, entah apa itu, jatuh berserak di jalan raya. Aku menoleh. Mainan? Si Anak Asem berlari ke arah mainan itu. Dia mengangkat benda tersebut, menunjukkan kepada Abah di seberang, kemudian berbalik, memamerkan padaku.

Aku menarik sudut bibir membalas senyumnya. Baiknya kuselesaikan proses pemulungan ini agar cepat pulang.

"Awas!"

Aku menoleh ke belakang lagi dan menjatuhkan karungku yang masih setengah. Di sana, si Anak Asem terduduk di pinggir jalan dan tertegun.

Jangan bilang kalau ....

Aku menoleh ke sisi jalan yang lain, ada Pak Tua yang tergeletak bersimbah darah, juga mobil yang melaju kencang dan semakin mengecil.

Abah ....

***

Fiuh. Akhirnya dapat ending yang bagong. Spoiler buat part selanjutnya: masa lalu Zakir.

Jangan lupa tendang tanda bintang di pojok kiri situ, bagiin sama teman-teman kalian biar cerita ini banyak dibaca, biar saya semangat nulis, biar update-nya lebih sering. Ha ha ha! :v

Makasih juga buat yang nyempetin komen pas lagi baca. Hebat banget mecahin konsen sejenak.

Itu aja dulu, part selanjutnya mau kapan?

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang