18. Roda Dunia

97 36 83
                                    

Tak ada kenikmatan yang lebih baik daripada mengupil dengan perut kenyang, di bawah pohon yang rindang, dan ditemani jus jeruk yang menyegarkan. Aku menatap buah mangga yang terjuntai, kemudian beralih pada tupai yang memprutuli buah itu. Tupai tersebut memenuhi mulutnya dan lari ke sisi lain pohon, dia hampiri seekor tupai lain.

"Nah, Zakir. Kamu bisa ikut aku, Zak. Sudah waktunya nebus dosa-dosamu sama aku. Aku mau jadiin kamu babu aja. Kalau jadi satpam atau pengawal, orang nggak takut. Badanmu kelihatannya cuma sekali pukul."

Aku tersenyum. Deon bilang kalau dia tak kuasa membalas dendam. Kukira hari itu dia mabuk minuman apalah karena mudah saja baginya untuk beli minuman haram. Aku tersenyum. Kukira, aku sudah dapat inti dari hidupku. Membaiki pantat yang pegal, aku berdiri.

"Lebih baik jadi gembel begini. Biarin aja aku tebus dosa-dosaku dengan caraku sendiri."

Deon berdiri dan melangkah, si Culun menatap ke hadapan.

"Aku bisa bantu kamuㅡ"

"Enggak usah!" Kupotong dia cepat-cepat. "Aku malu. Aku dulu jahatin kau, kau balas dengan kebaikan. Malu. Banget."

Deon tertawa, kacamatanya merosot ke hidung. Namun, perlahan tawanya meredup.

"Ya sudah. Itu dia Faili." Kulirik arah telunjuk Deon. Anak Asem sedang berjalan ke sini bersama istrinya. "Dia ngingatin aku sama almarhum anakku. Itu juga yang bikin istriku kesepian, makanya kami berniat mengadopsi anjing."

Aku mengangguk menanggapinya. Deon bebaskan aku dan buatku belajar kemarin, aku harus hargai sesuatu di sisa hidupku, bukan buang-buang nyawa. Walau dosaku menumpuk, akan lebih menumpuk lagi kalau aku bundir. Ada buku siksa kubur dan pedihnya azab di neraka. Mengingat itu ... aku takut jua.

"Om!"

Senyum Anak Asem kubalas. Kami sudah menjual anjingnya. Walaupun ada sedikit drama seperti menangis dan perayaan perpisahan. Aku terbelalak kala mendengar harga itu anjing. Satu binatang macam itu, gila!

Kami berangkat ke tempat asal si Anak Asem. Di perjalanan, Deon banyak kasih aku nasihat. Bukan berarti aku pelit sehingga tak membaginya pada kalian. Aku cuma ... lupa. Entah memang otakku kecil, atau karena aku melamun dan niat memperbaiki hidup selepas ini.

Beberapa waktu di perjalanan sudah memantapkan pilihan. Aku ingin tetap menggembel. Namun, menjadi gembel yang baik; menjadi gembel yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Kami sampai dan langsung ke rumah sakit.

Begitu mobil berhenti sempurna, Anak Asem segera turun. Matanya panik dan celingukan. Aku menggiring kepergiannya dengan tatapan. Dari belakang pun kekhawatirannya terlihat. Mataku beralih pada Deon dan istrinya.

"Makasih, Bro." Deon mengangguk.

"Faili! Kamu ke mana aja? Papa nyariin kamu."

Dan ketika mataku memandang wajah itu, dunia seakan terhenti. Dia. Orang yang meninggalkanku di rumah dengan Ibu. Dia. Orang yang selalu berlaku kasar kepada kami. Dia. Orang yang paling kubenci.

Matanya tiba-tiba mengarah padaku. Awalnya semringah, kemudian berganti heran, kemudian berganti terbelalak, kemudian berganti ... entahlah. Aku tak paham ekspresi terakhir. Yang jelas, aku memasang kuda-kuda hendak menonjoknya.

"Maafin ayah ... Zakir," sambarnya begitu dekat.

Dia menarikku ke rangkulan. Tangis pecah. Aku, yang sudah bersiap untuk menonjok keparat ini, mengendurkan kepalan tangan. Anak Asem terpaku di tempatnya.

"Maafin ayah. Maafin."

Kalau aku adalah Zakir si-anak-badung-yang-punya-kuasa, aku tak akan memaafkan Pak-tua-nafsuan-yang-mengusir-keluarganya ini. Berhubung aku Zakir si Gembel, aku memaafkannya. Ditambah soal Deon yang memaafkanku yang sudah jahat di masa lalu, itu buatku yakin untuk memaafkannya. Walaupun aku kesal bukan main dan bertanya: Kenapa aku tak siksa Anak Asem macam ayahnya siksa aku dan ibuku dulu? Jawabannya simpel: Karena aku tak tahu.

"Maafin ayah, Zak."

Aku melepas pelukannya.

"Aku 'dah maafin situ. Tapi situ harus ganti rugi soal aku yang 'dah jadi begini gara-garamu."

Aku memang tak memakai pakaian gembel, tapi tampang gembel sudah mendarah daging. Si Tua Bangka mengangguk. Matanya kini beralih pada Anak Asem, aku pun sama.

"Jadi ... Om ini abang aku?"

Aku mengangguk. Agak anu sekali. Anehnya, Anak Asem senang bukan kepalang. Dia meloncat dan meraih tanganku. Peh, pantasan familiar. Hidungnya mirip ayahnya.

"Ayo, kita bisa bayar operasi ibu!" teriak Anak Asem.

Hais, Dek. Dari sorot ayahmu yang berubah itu, aku yakin dia sembunyikan sesuatu. Apa itu? Baiknya kusimpan dalam benak saja. Aku mengelus pundak Ayah. Bagaimana cara mengatakan pada si gadis kecil perihal ibunya?

Aku menjejal napas dan memuntahkannya.

"Apa yang datang bakalan pergi; apa yang ada bakalan ilang. Enggak ada yang abadi di dunia ini. Dek, sekarang ... kau harus terima aku sebagai saudaramu."

Anak Asem mengangguk walau wajahnya bingung.

"Kau juga harus terima keadaan."

Hening.

"Ibumu ... meninggal," ucap Ayah.

***

Hidup itu aneh. Kemarin kau sarapan dengan roti, hari ini kau hanya minum air kotor, besoknya kau makan mie instant. Kau tak tahu kapan kesusahan yang amat sangat bangsat bakal hampirimu. Pun kau tak tahu kegembiraan yang amat sangat mantap yang bakal hampirimu.

Anak Asem bersedih. Ibunya meninggal karena penyakit jantung koroner. Ayah coba menghentikan itu dengan cara usul pemasangan ring jantung, tapi tak sempat. Aku bengong. Ya, aku cuma bengong. Tak paham dengan medis-medisan. Dan setelah selesai pemakaman, aku disuruh ikut Ayah untuk pindah.

Ayah bangkrut. Walau begitu, si tua kampret senyum-senyum gembira. Lebit tepatnya, memaksa senyum-senyum gembira. Kami memulai hidup baru. Hidup yang bakal enak, katanya. Aku sih oke-oke saja, yang penting aku sudah tak mau mengeluh lagi.

Aku akan menjalani hidup sebagaimana semut yang tak pernah mencari madu di sarang lebah. Aku akan menjalani hidup sebagaimana kura-kura yang tak pernah mencoba terbang. Aku akan menjalani hidup sebagaimana hiu yang tak pernah memangsa cicak. Aku akan menjalani hidup sebagaimana singa yang tak pernah menggigit langit.

TAMAT

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang