"Zak, woy!"
Aku membuka mata yang berat macam ditindih gajah. Kuraba rambut yang terasa becek. Apa ini? Neraka? Bukan! Aku meraba sekitar yang juga becek dan dingin. Ini bukan neraka, tak ada neraka yang menyediakan fasilitas lembek begini.
Tapi kenapa aku tak bisa membuka mata?
"Zak, woy! Kamu orang ngapain tengkurap di situ? Main buaya-buayaan?"
Hah? Kupaksa leher untuk memutar engselnya ke kanan. Semua nampak tegak lurus, dengan kirinya air dan kanannya langit senja. Aku berbalik badan, mengganti posisi menjadi telentang, menatap langsung ke arah kubah biru yang semakin menggelap.
"Zak, udahan tidurnya!"
Siapa sih yang bising minta ampun dari tadi? Setelah memaksa tubuh untuk duduk, barulah wujud Setan Asma terlihat sempurna.
Aku kira tadi itu iblis, ternyata cuma setan.
Secercah memori langsung menghantam batok kepalaku, seakan dilempar oleh juara dunia tolak peluru dari jarak dekat. Abah ... meninggal tadi pagi. Sempat sampaikan sepatah dua kalimat, tapi kesusahan sebab usahanya menahan malaikat maut.
Tabrak lari.
Seluruh gembel kawasan kami turut berduka, itu pasti. Lebih-lebih aku yang paling sering ditempelinya. Upacara penguburan pun sangat amat sederhana, berdoa alakadarnya, ditimbun dengan tanah secukupnya. Dia dikubur di kuburan khusus gembel, yang juga ada ibuku di situ. Malahan, makamnya persis di sebelah Ibu.
Setelah duka yang menghantam, ingatanku juga dihantam sesuatu. Perasaanku bercampur aduk bagai semen dan pasir dan air dan kotoran kucing. Aku sedih, mau apa? Aku marah, mau apa? Aku menyesal, karena apa?
Duduk di pemakaman, barulah bisikan setan terdengar. Bisikan yang awalnya hanya angin lalu, tapi sekarang angin itu berubah jadi badai topan. Bisikan yang membuat murkaku semakin menjadi-jadi.
"Zak, jangan-jangan ... itu anak bawa sial."
Aku mengibas tangan kecil yang berusaha menyentuh punggungku. Perlahan kulirik dia. Aku muak. Iblis kecil pembawa sial. Pembawa malapetaka. Aku muak.
Tangan kecil itu kucengkeram, kutarik hingga pemiliknya terseok-seok. Panggilan dari mulutnya tak kuhiraukan. Tak mau. Aku tak peduli dengan beberapa gembel wanita yang menghadang, tak peduli dengan kakiku yang sudah berdarah-darah saat melewati ranjau gembel, tak peduli dengan klakson mobil di jalan raya, pun tak peduli dengan ibu-ibu yang sedang kasih makan anaknya dengan nasi campur susu cair. Tak peduli.
Kusentak si anak ke pinggir jalan. Wajah kecilnya yang ingin kucabik itu menjadi basah. Mengharap belas kasihan? Tak akan kuberikan. Tak akan.
"Om, mau ngapain?" Dia tersedak napasnya sendiri.
"Aku bukan om-mu, sat! Nggak usah lagi ikut-ikut aku. Pergi cari anjingmu itu, usaha sendiri. Jangan ajak-ajak orang lain lagi. Jangan ajak orang lain ke dalam kesialan hidupmu itu!"
Aku tak peduli kalau mata para bagong yang lewat kini menatap kami. Aku tak peduli. Pembawa bencana ini harus disingkirkan, ditinggalkan, atau kalau perlu dimusnahkan. Sudah cukup aku kehilangan orang terdekatku.
"Om ...."
Aku berbalik, tak peduli dengan serentetan tatapan ibu-ibu yang jualan, bapak-bapak yang main caturan, juga anak-anak yang saling berkejaran. Kutinggalkan dia di perempatan jalan yang mulai sepi itu.
Dan berakhirlah aku di sini, tiduran dengan posisi memerkosa Bumi. Tak sengaja juga, sih, aslinya. Aku diselubungi aura kemarahan. Tak jernih, pikiranku tak jernih.
"Woy! Malah ngelamun." Aku melirik ke arah Setan Asma yang berdiri.
"Kalau kamu orang kerasukan hantu buaya, aku nggak bakal ragu mukul kepala make ini." Setan Asma mengangkat gitarnya.
Aku menghela napas. Aku sudah malas meladeni apa pun, sedang tak berselera bicara apa pun, sangat ingin mengakhiri hidup dengan cara apa pun. Mataku jatuh lagi ke arah Setan Asma.
"Eh, gembel! Anak yang kemarin di mana?" Kutanggapi pertanyaan itu dengan gelengan saja.
Aku bangun, berdiri, lalu menatap air dengan pose tak senonoh. Sesosok makhluk buruk rupa balik menatapku, bayanganku sendiri, sih. Tiba-tiba tengkorakku terasa dihantam meteorit kecil. Saat berbalik, hidungku benjol oleh hantaman lainnya.
"Setan! Aku nggak kerasukan."
Setan Asma mengucap syukur dan mengusap dada. Dia bertanya lagi soal Anak Asem, kujawab sejujur-jujurnya. Mau bagaimana lagi, aku tak tahan.
"Zak, bukannya kamu orang bilang sebelum anak itu datang, hidupmu udah sering sial?" Aku diam.
"Siapa tahu nolongin anak itu, sialmu ilang. Kenapa sih pake acara ninggalin anak orang di jalan? Inget, Zak, anak itu masih kecil."
Aku melamun. Setelah omelan Setan Asma yang berisik, kini teringat lagi kalimat Abah beberapa saat sebelum dia meregang nyawa.
"Jangan lupa berbuat baik .... Jangan pernah ragu berbuat baik. Kalau belum ... da kesempatan besar, mulai ... dari yang ke ... cil. Tolong ... in itu anak. Siapa tau ... a ... nak itu jalan ngehapus ... dosamu."
"Zak, woy, mau ke mana?"
Aku harus mencari Anak Asem.
***
Malam biasanya identik dengan gelap. Ampas. Enggak ada gelap-gelapnya kalau di kota ini. Kios-kios pinggir jalan, toko-toko yang apa saja dijadikan jualan, makanan dan minuman. Semuanya punya lampu yang tak kurang dari sepuluh. Pemborosan energi listrik. Semoga lampu-lampu itu cepat pecah dan dibuang, biar kupungut sampahnya.
Aku sudah berkeliling dari alun-alun, sungai, dan bahkan tempatku meninggalkan si Anak Asem. Namun, yang kudapatkan hanyalah kehampaan. Aku tanya sini dan sana, sebut ciri-ciri anak badung, bukannya jawaban yang memuaskan yang kudapat. Hanya gelengan belaka.
Ke mana perginya itu anak? Saat ini terpaksa aku balik ke sungai dan memeriksa jembatan. Entah karena sudah pasrah, atau ini memang usaha terakhirku, jembatan itu menjadi tujuan. Kulangkahkan kaki jelekku menyusuri aspal. Tanpa sendal. Sendalku raib entah ke mana.
Berbekal penerangan lampu jalan dan berisiknya orang pinggiran kurang kerjaan, aku terus menuju jembatan itu. Sudah tak jauh lagi, kalau aku meludah dari sini, percikannya bakalan sampai ke besi pinggiran jembatan.
Gelap. Dingin. Cahaya hanya muncul dari beberapa kendaraan yang jarang muncul. Aku menghela napas. Baiknya pasrah saja. Tapi ....
"Woy, dicariin ke mana aja. Taunya di sini," kataku seraya menghampiri sosok kecil yang meringkuk.
"O ... Om."
Anak Asem mundur selangkah. Wajar. Dia takut aku kerasukan setan babon lagi. Aku tertawa ... dan itu buatnya semakin takut.
"Tenang, Dek. Aku minta maaf soal yang tadi, soal bentak-bentak dan ngusir kamu. Ayo ikut aku. Kita besok mulai cari anjingmu, abis itu kamu pulang."
Anak Asem masih diam di tempat.
"Ikut atau kutinggal nih?"
"Ikut!"
Aku tersenyum. Syukurlah dia tak apa-apa. Aku sempat sedikit khawatir dia diculik orang, apalagi di jembatan sepi begini. Dalam perjalanan, Anak Asem lebih banyak diam. Apakah pita suaranya pecah karena syok melihatku mengamuk?
Kugelengkan kepala mengusir yang satu itu.
"Dek, emang buat apa sih kau keliaran nyari anjingmu itu?"
"Anjing itu ... dikasih Om aku dari luar negeri. Harganya mahal, katanya."
Hampir saja aku menyesal mencari si Anak Asem. Untuk apa aku menemaninya menuruti keinginan egois anak-anak? Namun, jawaban selanjutnya sangat tak terduga.
"Aku mau jual anjing aku, buat biaya operasi Ibu."
***
Ci luk ba!
Update selanjutnya lusa, ea. Sesuai jadwal, ea.
Jangan lupa jaga kesehatan dan tekan tanda bintang di pojok kiri bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Anjing![END]
HumorNamaku Zakir, belum makan dari kemarin. Biasanya kalau lapar begini, aku akan melantur gaduk soal ketidakadilan hidup. Waktu itu, kehidupan melaratku berubah jadi lebih susah lagi. Aku kesal, ingin mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan. Namun...