Seorang laki-laki berbadan sedang tengah mengarahkan sorot matanya menuju aku. Mula-mula dia pasang wajah jelek, kemudian mukanya semakin jelek saat rahangnya menurun. Selanjutnya yang terjadi, wajahnya semringah bak ditemui puteri dari negeri nun jauh.
"Nek, saya udah siapin makanan buat nenek sama cucunya."
Aku mengernyit, apa yang dikeluarkan bacot si Hanan ini?
"Hanan, ini aku!"
"Iya, Nek. Tau. Nenek mah suka melantur. Mari, Nek." Hanan berbalik dan mengisyaratkan agar mengikutinya. Kutarik Anak Asem menyusuri sisi toko hewan.
"Saya 'dah nungguin seharian, sambil tanya-tanya dalam hati 'ke mana pengemis yang sama cucunya kemarin?' Eh, nenek akhirnya datang juga."
"Nan, sumpah, nggak lucu, Warik!" Aku berhenti sejenak.
"Ayo, Nek. Duh."
"Ini aku, Nan! Ini aku! Zakir!"
Si kampret menyipit. Aku tak tahu, semakin tua ternyata buat matanya rabun. Sejenak dia kucek-kucek kedua bola mata miliknya dengan ganas. Kepalanya meniti badanku dari atas sampai bawah hingga balik ke atas lagi. Kemudian, tatapannya menyasar Anak Asem di sebelahku.
"Kalian bukan pengemis kemarin?"
"Bukan, Tagam! Ini aku, Zakir!"
"Zakir?" tanya Hanan dan kuhadiahi dengan anggukan. "Eh, Zakir? Zakir yang pantatnya ada tompel mirip keong?"
"Iya, dan kau Hanan yang suka koleksi rambut Bu Indri, guru biologi!"
"Lah Zakir? Napa kau jadi jelek gini? Itu pula pake daster siapa?"
"Panjang ceritanya!"
Hanan tertawa. Aku pun sama. Kami tertawa bersama-sama. Bersama-sama kami tertawa. Tertawa kami bersama-samaㅡ
"Utangmu, Sat. Terakhir lihat kau waktu kita nongkrong sama mereka Syahril, kau ditelepon mamakmu, kau belum bayar semua minumannya dan minggat gitu aja. Padahal kau yang janji mau bayar. Jadilah aku yang bayar itu semuaㅡ"
"Woy! Aku lagi ada urusan inih, setopin dulu cerocosanmu itu."
Hanan menghela napasnya. Mata yang semula berkilat gembira kini menjadi prihatin setelah meninjau kondisiku yang sekarang. Rambut yang tak pernah dirawat dengan sungguhan, wajah yang sudah mirip siluman, badan kurus macam papan dan berbalutkan daster. Benaknya pasti berpikir kalau aku ini bencong kesasar.
"Mau apa malem-malem ke sini? Udah tutup." Hanan berbalik meninggalkanku yang melongo. "Loh, ayo bodo. Kita makan dulu," ujarnya.
Kami mengikutinya ke belakang toko, Hanan bilang sudah bekerja di toko perlengkapan hewan ini selama dua tahun. Setan. Kenapa aku tak pernah menyisir bagian sini, padahal kalau dipikir, aku bisa saja minta makan ke sini kemarin-kemarin. Tapi aku malas mikir.
Kami dikasih nasi bungkus. Ada ikan dan ayam sebagai lauknya. Aku tak mau serakah. Kuberikan ayam yang cuma paha itu kepada Anak Asem, sementara aku memakan ikan yang sebesar tapak kaki. Cukup adil, bagiku.
Anak Asem makan dengan lahap, aku pun demikian. Kami bahkan berlomba, siapa yang duluan habis boleh tambah lagi. Sementara dua orang tak tahu malu sedang makan, Hanan beberes tempat kerjanya, menutup dan mengunci bagian depan.
Kami selesai, Hanan pun kembali ke belakang. Kacamata bulat bertengger di hidung, memang rabun ternyata sobatku ini. Aku bertanya apakah benar toko ini tempat mengadopsi hewan peliharaan macam anjing. Hanan mengangguk. Dan mengalirlah ceritaku dari awal bertemu Anak Asem sampai detik ini.
"Bentar, setopin dulu. Harusnya kau ceritain kisah hidupmu pas kau kabur dari tongkrongan."
Aku menatapnya dengan tampang datar, Hanan pun tertawa. Sobatku banyak bertanya dan bercerita perihal masa SMA, di mana aku minggat dari sekolah pas tengah semester pertama. Namaku dicoret karena absen selama sebulan. Guru-guru berpesta karena murid paling badung seangkatan menghilang.
Hanan terus melantur. Dari skandal korupsi uang komite sekolah dan dana BOS, sampai pacarnya yang memutuskan hubungan karena koleksi rambut guru biologinya digeledah. Aku menoleh pada Anak Asem yang menguap.
"Jadi, gimana tadi? Nyari anjing?"
Aku mengangguk. Kusenggol Anak Asem dengan siku, si bocah menguap lagi dan merogoh sakunya. Secarik kertas mengkilap bergambarkan figur hewan dia serahkan ke Hanan. Sementara Hanan menelisik foto, aku mengambil dua buah jeruk dan memasukkannya ke dada.
"Ini, beberapa hari yang lalu ada yang adopsi." Anak Asem menunduk. Kami telat.
Beruntung aku sudah memberitahu tentang pentingnya si anjing sampai aku mau-maunya berjuang sejauh ini.
"Operasi, ya? Sakit apa yang kira-kira setara operasinya sama harga anjing?" Hanan menghela napas.
"Malem ini, kalian tidur di rumahku dulu. Sekalian ganti baju segala macem, mandi segala macem. Aku bakalan lihat data calon pengadopsi hewan, biasanya mereka ngisi begituan juga sebelum sah jadi pemilik," jelas Hanan.
Kami pun mengikutinya keluar toko. Sepelemparan batu jauhnya di belakang toko, akhirnya rumah Hanan terlihat. Rumah minimalis. Teras kecil, ada dua kursi. Kami masuk ke rumah dan sebuah meja menyambut. Ada dua kamar, yang satunya akan kupakai.
Rumah yang sempit, tapi tak sesempit rumahku. Tai.
Hanan mempersilakan aku dan Anak Asem mandi terlebih dahulu. Eh? Mandi? Wah! Walaupun tadi siang sudah diguyur Asih, tapi itu tak terasa bagiku. Sekarang aku disuruh mandi! Mandi! Ritual membersihkan diri yang biasa orang normal lakukan dua kali sehari, tiga kali kalau kau bau, empat kali kalau airmu banyak banget, atau lima kali kalau kau kurang kerjaan.
Selesai mandi dan meminjam bajuㅡjangan harap aku menceritakan kegiatan foya-foya air bersihㅡkami pun duduk lesehan di ruang tamu. Anak Asem kusuruh tidur duluan walau matanya masih dia paksa segar. Hanan pamit sebentar, kemudian balik membawa sebuah buku tebal. Dia meneliti entah-apa itu.
"Eh ... Zakir? Kayaknya ini bakalan susah." Hanan melirikku, mendorong kacamatanya ke atas.
"'Napa?"
"Ingat Deon si Culun? Yang sering kita gebukin kalau dia dapat nilai tinggi?"
Mataku menengadah menatap cicak yang sedang melahap nyamuk.
"Deon ...."
Selintas memori menerjang kepalaku.
***
Maaf telat sehari dari jadwal update :v
Ada pesan untuk saya? Silakan saja, jangan sungkan.
Oh iya, bentar lagi cerita ini masuk ke part2 akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Anjing![END]
HumorNamaku Zakir, belum makan dari kemarin. Biasanya kalau lapar begini, aku akan melantur gaduk soal ketidakadilan hidup. Waktu itu, kehidupan melaratku berubah jadi lebih susah lagi. Aku kesal, ingin mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan. Namun...