13. Kawan Lama

71 37 57
                                    

Banyak orang yang mengira kalau gembel dan gelandangan itu sama. Sompret! Jelas sekali kalau keduanya berbeda, bagai langit dan tahi kuda. Kaum gembel biasanya lebih tinggi di atas kasta gelandangan.

Tapi dua-duanya sama-sama melarat, Zak, kalian bilang.

Setan! Ya iya lah.

Dari kompleks, kami melanglang buana menuju tengah kota. Berbaur dengan masyarakat modern. Aku sempat menyusup ke dalam rumahku sendiri untuk mengambil satu-satunya baju yang bagus. Baju mendiang ibuku.

Dengan rambut semrawut dan pakaian gembel, kau akan mudah diringkus. Jadi, aku mengajak Anak Asem menyamar. Aslinya cuma aku yang menyamar.

Gimana samaranku? Gampang. Aku pakai daster ibuku. Ada selendang bekas mulung, kugumpal menjadi dua bagian, kemudian kulilit di dada. Gunung gadungan. Aku juga sempat comot lap tanganku, kukibar-kibar agar kotornya hilang, kujadikan tudung kepala.

Tadi aku sempat mampir sejenak, berdandan di tepi sungai, sambil becermin di air. Langit sudah gelap. Namun, ingar-bingar di tengah kota sepertinya baru dimulai. Hmm ... sepertinya kebetulan sangat ada festival. Atau apapun itu aku tak peduli, sumpah.

"Hihi, Om udah mirip nenek aku."

Itulah tujuanku, dan sepertinya tercapai. Kami merangkak perlahan menuju keramaian, mencoba berbaur dengan beragam jenis manusia. Tentu saja tidak merangkak sungguhan, dodol! Itu cuma hiasan. Ingat. Hiasan.

Dan di sinilah kami.

"Nek!" Anak Asem menarik-narik tanganku. Menunjuk-nunjuk beberapa orang jualan. Aku tak peduli. Yang kupedulikan sekarang adalah Bumi.

Makin ramai orang di suatu tempat, makin besar peluang untuk berjualan berbagai macam sesuatu. Dari barang, makanan, minuman, hingga tubuh. Iya, tubuh. Makin banyak sesuatu yang dibeli, makin banyak wadah untuk melindungi sesuatu itu. Dan kau pasti tahu, tak ada orang waras yang mau makan bekas pembungkus "sesuatu" itu tadi. Dan tentu saja kau pasti tahu, akan dikemanakan pembungkus "sesuatu" itu tadi. PINTAR! Dibuang dan menjadi sampah.

Selamat! Kau mendapat hadiah. Ambil sendiri di dalam dompet orang tuamu.

Kami tak dicurigai. Aku yang jalan sambil bungkuk dan Anak Asem yang jingkrak-jingkrak. Kombinasi pas yang mirip keluarga harmonis beranggotakan seorang cucu dan jelmaan siluman badut sakit pinggang.

Kami menyisir tempat itu sebagaimana masyarakat yang hidup di era canggih berhamburan di sana. Jalanan ditutup, seluruh kota menjadi semakin terpusat pada alun-alun. Hingga kami pun ikutan ke sana terbawa arus orang-orang.

Kucegat salah seorang anak kecil jelek, menanyai gerangan dosa apa yang akan dilakukan emak-bapaknya dan orang dewasa lain di tempat ini.

"Foya-foya pasti!" sambarku.

"Enggak, Nek. Kampanye wali kota," jawab si anak jelek.

Kampanye wali kota malam begini?

"Biar wuenak-wuenak."

Cecurut di belakangku berbunyi. Dua remaja tanggung yang senda gurau berselingan dengan kawannya. Pasti bergurau hal jorok. Kulepaskan anak kecil jelek tadi dan menarik Anak Asem yang sejak tadi mengagumi sekitar.

"Kau nggak pernah nengok yang beginian?"

"Pernah, Omㅡeh, Nek. Waktu ayah aku kampanye juga," jawab si Anak Asem.

"Kampanye pastinya gak malem kayak gini 'kan?" Kusungging senyum miring. Namun, selanjutnya bisa kurasakan rahangku hendak merosot.

"Kampanye 'kan emang malam, Nek."

Di sela-sela selokan, aku terus menanyai Anak Asem.

"Bapakmu itu orang berduit 'kan? Nah, terus kerjaannya apa? Pejabat kah?"

Anak Asem mengangguk. Waduh.

"Kok bisa bangkrut?"

"Enggak tau, Nek. Yang pasti, duit ayah aku makin nipis."

Kami sempat melewati gang kecil yang mengeluarkan suara tak senonoh. Aku mengambil kaleng minuman, kuisi kerikil, lalu kulempar sembarangan ke arah gang itu. Kasak-kusuk mengisi heningnya gang, tak lama, seorang laki-laki botak keluar bersama dengan perempuan berbaju merah. Pakaian keduanya tampak berantakan.

Silakan berimajinasi seliar mungkin.

Kulanjutkan langkah kaki jelek yang tanpa alas ini menuju nenek-nenek sungguhan yang duduk di bawah pohon mangga. Aku sempat kira itu setan, tapi Anak Asem meyakinkan kalau itu manusia. Jadilah kaki ini berhenti mengamati nenek-nenek tersebut.

"Permisi, Nek. Boleh kami nanya arah jalan, Nek?"

Si Nenek mendongak dari tunduknya. Aku khawatir kalau dia menggeleng, tulang lehernya bakal lepas. Nenek itu mengangguk. Terdengar gemeletuk. Aku mendesis.

"Aku mau bawa nenek aku ngelihat tempat adopsi hewan. Nenek tau jalan yang paling cepat lewat mana?" Sementara Anak Asem bertanya-tanya, aku menepuk kepalaku sampai si nenek terlonjak.

Kunyit! Kenapa nggak sekalian tanya Setan Asma?

Anak Asem menarik langkahku, menyadarkanku dari lamunan penyesalan. Wajahnya terlihat panik menoleh ke belakang, sehingga mau tak mau aku menengok ke belakang juga.

Polisi.

Kami kabur. Catat. Aku dan Anak Asem kabur. Menghindari polisi. Catat juga, tanpa tahu alasan kenapa kami kabur.

"Dek, kok kabur? Nakutin ah. Kan polisi enggak sembarang nangkep, lagi pun kita nggak ngelakuin tindak kriminal."

"Aku mau pipis! Cepet, Om. Udah di ujung! Aku tadi sempat tanya ke Nenek tadi di mana WC umum!" Aku menggeleng.

Kami pergi ke tempat pembuangan zat bekas makan dan minum manusia, ada penjaganya, menagih uang pula. Heran, kencing pun bayar?

Kami meneruskan perjalanan hingga malam semakin larut. Aku sudah mewanti Anak Asem kalau kami bisa-bisa tidur di sembarang tempat, Anak Asem sih angguk-angguk saja.

Jam berapa sekarang? Aku tak tahu. Si Anak Asem bilang tujuh sambil menunjuk jam tangannya. Tapi ... tumben jam segini sudah sepi?

Hingga sampailah kami di tempat yang dituju. Pet shop. Sop hewan, kata jelmaan genderuwo kampret. Ada gambar anjing dan kucing. Dari luar nampak berbagai peralatan macam talenan yang ada pasirnya, juga asbak besar, juga ikat pinggang kecil.

Masih mengintai dari samping toko buah, aku melihat seseorang yang keluar dan membawa bungkus plastik besar. Dia memakai baju biru yang belakangnya ada gambar kucing dan anjing. Setelah membuang sampah dan mendongak, barulah wajahnya kelihatan jelas.

Aku bersyukur. Sangat-sangat bersyukur. Terima kasih kepada petugas yang rajin mengganti bohlam lampu jalan, sehingga sinarnya menyorot wajah orang itu.

"Hanan!"

Hanan menoleh menanggapi jeritanku.

***

Akhir-akhir ini makin susah ngebangun motivasi nulis. Untung ada kalian yang setia baca sampai detik ini, setia ngikutin keabsurdan si Zakir. Banyak2 terima kasih buat kalian semua. I lop yu al.

Jangan lupa jaga kesehatan dan tekan gambar bintang di pojok kiri bawah.

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang