12. Sop Hewan

96 36 41
                                    

"Apa?"

Aku melirik laki-laki pucat yang jangkung di belakang orang tua yang sedang berhadapan denganku. Laki-laki pengidap penyakit kutukan, bilangnya pada anaknya sendiri. Mataku kini beralih pada wajah di depanku yang keriput, badan kurus, juga rambut semrawut yang sungguh, aku berani bersumpah itu mirip genderuwo. Walau aku tak pernah nengok genderuwo asli.

"Ngapain bawa-bawa itu anak pembawa sial ke sini lagi?"

Laki-laki pucat semakin merapat pada bapaknya. Sudah besar, mungkin seumuranku, atau paling tidak di bawahku sedikit. Yang buat dia aneh adalah ... entahlah, bodat! Aku tak tahu nama penyakitnya apaan, yang jelas kulitnya pucat, matanya liar, panik waktu di tempat umum, manja, agak susah berjalan dengan benar, serta tak bisa membedakan uang seribuan dan sepuluh ribuan.

Mata laki-laki itu melirik pada Anak Asem, wajahnya bagai wanita yang sedang melihat ular kobra berdiri di dalam mesin cuci. Anak Asem juga merapat padaku. Tak heran si Pucat takut, takut dikasih air bersih lagi.

"Wahai Pak Gerandong, Anda lebih tua dari almarhum Abah, 'kan?"

Matanya menusuk tajam ke arah mataku. Aku sempat sangka dia bakalan tendang aku seperti dalam film-film eksyen yang sering kukoleksi semasa SMA dulu. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah, tatapan yang melunak. Dia mengangguk pelan.

"Terkonfirmasi." Setan Asma menjentik tangannya. Dia pun melanjutkan, "Apa kubilang?"

"Ter-kon-fir-ma-si."

"Bukan itu, kunyit! Lebih tua dari bapak-bapak yang sering sama kamu orang."

Aku mengangguk.

"Ada apa? Minta bantuan. Meh, kebaca udahan. Aku nggak mau nolong kalian."

Baik aku, Setan Asma, serta Anak Asem serempak melorotkan bahu. Sudah kuduga. Pelan-pelan kutarik napas panjang, mengembuskannya lewat mulut, dan secepat kilat menangkap tangan anaknya. Pak tua jelmaan singa kaget bukan kepalang, dia coba sleding aku, tapi tak kena dan berakhir kakinya menabrak batako.

Aku memiting tangan si Pucat. Mataku memberi isyarat pada Setan Asma agar mengamankan Anak Asem. Pak Tua gerandong angkat tangan, bilang kalau dia bakalan mendengarkan ocehanku. Kukendurkan pegangan dari si Pucat, tapi yang terjadi selanjutnya adalah leherku yang ditempeleng ibu-ibu. Istrinya.

"Diapain anakku tadi?" sembur si emak.

"Kit, Mak."

Si Pucat merengek, berlari mendatangi sang emak yang ada di belakangku. Aku celingukan sambil berbalik. Si emak mengambil ancang-ancang, hendak menamparku. Enteng. Aku menunduk, berharap lolos dari tamparan itu. Namun, yang selanjutnya terjadi adalah, sebuah panci menghantam tepat di ubun-ubunku.

Aku pingsan.

***

Yang pertama menyapa mataku adalah pantat ayam. Aku mengenyahkan hewan tak senonoh itu. Kuraba sekeliling yang agak gelap. Sudah malam kah?

"Nah, Zakir." Aku melirik ke sana ke mari, mencari asal suara iseng itu.

Seorang bapak-bapak bersurai singa keluar dari sebuah ruangan tak berpintu. Dia menyekapku?

"Santai. Temenmu sama anak sialan itu udah kuusir dari sini," terangnya.

"Eh, Pak. Jangan semena-mena. Emang kau siapa?"

"Aku yang gantiin si Asnan jadi kepala di sini."

Aku diam. Menimang sejenak, bagaimana caranya menyelesaikan semua ini dengan cepat. Sambil berpikir, kuamati rumah tetua gembel satu ini dengan ... yah, sangat membosankan. Bayangkan saja rumah yang habis dilanda angin topan. Mirip-mirip begitulah.

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang