Jake tidak pulang.
Ketika ia mengatakan bahwa ia akan pergi. Ia tidak memberitahu kapan akan pulang. Aku tidak menyalahkannya. Memang salahku tak menanyakan perihal itu padanya. Setelah seharian kemarin beristirahat di kamar. Hari ini aku memutuskan untuk berjalan-jalan santai di taman istana. Aku ada hutang mengunjuingi rumah kaca di pojok taman.
Setelah sarapan ditemani sendiri, aku meminta tolong kepala pelayan untuk memanggil Ann sok. Aku ingin ke taman ditemani olehnya. Setelah 10 menit menunggu, kepala pelayan datang dengan seorang pelayan yang tidak ku kenali, tapi pernah ku lihat. Ia salah satu dari selusin pelayan waktu itu.
"Maaf Nona, perkenalkan ini Kim Ji reon" Kepala pelayan menunjuk pelayan disebelahnya, pelayan itu membungkuk padaku. Aku tersenyum singkat, "Ann sok sedang sakit, Nona. Bagaimana jika hari ini Nona ditemani oleh Ji reon?" Aku melihat Ji reon. Perempuan muda ini cantik. Kenapa menjadi pelayan kerajaan?
"Baik, tidak masalah" Ucapku, di balik punggung aku meraih pisau roti dan menyembunyikannya di balik lengan dress. Hari ini kebetulan aku mengenakan dress tangan panjang, "Aku mau ke taman, kau mau menemaniku Ji reon?"
"Tentu saja, Nona" Jawabnya.
Aku pun mulai berjalan keluar ruang makan. Entah sejak kapan aku menjadi paranoid. Mungkin sejak aku mendengar kisah tentang Lady Jeon. Tentang keberaniannya bertindak dan mengambil keputusan. Bisa saja, yeoja yang sudah sering keluar masuk istana ini memiliki mata-mata yang siap membunuhku. Astaga, pikiran macam apa itu?! Aku mengibaskan tangan. Tapi, bertindak hati-hati bukan sebuah kesalahan bukan?
Kami berjalan dalam senyap. Padahal baru kemarin aku bertemu lawan bicara yang menyenagkan. Tapi Ji reon? Entah kenapa, ada yang aneh dengan pelayan satu ini. Dia banyak memperhatikanku, mulutnya sering terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak kunjung ia katakan pula.
Lorong istana pagi itu sedikit gelap, lantaran diluar sedang mendung. Aku menoleh pada Ji reon yang jalan dibelakangku, mulutnya terbuka sedikit, lantas segera mengatup. Ini yang kesekian kalinya. Sambil menghela nafas, aku menghentikan langkah dan berbalik cepat menghadapnya, "Apa?" Tanyaku, "Apa yang mulutmu ingin katakan?"
Ji reon menatapku. Ketika dua mata violet pucat itu terarah padaku, barulah aku menyadari sesuatu. Ada sebuah tekad kuat terpancar dari kedua bola matanya. Kalau orang zaman dahulu pernah berkata, mata seseorang takkan pernah bisa berbohong, mungkin ini buktinya. Wanita muda ini, dengan muka bundarnya yang terlihat polos dan imut, kedua matanya menampilkan hal yang sangat bertolak belakang. Ia seperti sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
"Kenapa?" Suara itu pun akhirnya keluar, "Kau bukan siapa-siapa, bahkan aku bisa lihat kau tidak berasal dari keluarga bangsawan manapun, bagaimana bisa kau mengambil tempat itu seolah kau pantas?! Kau bahkan berani mengenakan sepatu kesukaannya"
Aku terdiam, berusaha memberikan wanita ini muka datar terbaikku. Ia tidak boleh tau sama sekali respon asliku terhadap kata-katanya barusan, "Ternyata" Ucapku dan berjalan mendekatinya, pelayan satu ini luar biasa sekali keberaniannya "Kau pasti pelayan pribadi Lady Jeon"
Matanya berkedip dua kali. Bingo! Aku benar. Dari kecil, mimpiku adalah sebagai seorang jurnalis dan dari 8 tahun pengalamanku mengerjakan mimpi itu, aku belajar banyak hal. Salah satunya adalah, tidak pernah merasa puas dalam berburu informasi. Walaupun kau sudah menemukan inti batangnya, tetap gali hingga kau menemukan ujung-ujung akarnya. Harus sempurna.
Atas nama dedikasi itu pun, aku melakukan hal yang sedari tadi aku tahan. Aku melepaskan kakiku dari siletto 7 senti itu dan menendangnya agak jauh kebelakang. Kalau rusak, aku bisa minta maaf nanti pada Jake, "Apa yang sedang kau lakukan, Nona?" Ji reon bergerak mundur, ia terlihat gentar.
Kakiku maju selangkah, tanganku menyingsingkan lengan dress. Pisau roti itu terlihat. Aku menggenggam hulu pisaunya dan berlari menujunya. Ji reon yang terlampau kaget, tidak sempet menghindar. Aku menyambar kerah seragamnya dan mengarahkan pisau itu ke pangkal lehernya. Sesaat sebelum mengatakan apa-apa, aku menemukan satu hal yang mungkin saja menjadi kelemahan wanita ini, "Sadarkah kau, aku bisa membunuhmu jika aku mau?"
Ji reon menggerak-gerakkan tubuhnya. Tapi kuncianku jauh lebih kuat. Paman yang dulu mengajariku berkuda, juga mengajariku cara membela diri sendiri. Ia juga mengajariku cara menggunakan benda tajam dan pistol. Aku tak menyangka pelajaran liburan musim panas yang kuhabiskan dirumah paman, akan berguna sekarang.
"Tidakkah kau tau aturan kerajaan ini, Nona?" Nada Ji reon seperti mengancamku. Hanya saja, aku satu langkah– ani, dua atau mungkin tiga langkah lebih siap daripada yang Ji reon kira. Memangnya, aku akan membuang waktuku hanya untuk beristirahat diatas kasur saja? Bahkan di Seoul, saat izin tidak masuk kantor karena serangan kanker tiba-tiba pun, aku tetap berkerja efektif, +/- 12 jam.
"Mwo? Undang-undang perlindungan tenaga kerja?" Tanyaku, "Sekarang, aku tanya balik padamu. Apakah kau tau Kabinet telah merevisi undang-undang itu 4 bulan yang lalu? 'Dan kembali pada hukum lama, bahwa dekret ini tidak lagi melindungi pekerja pihak istana, karena sebuah ancaman tetap sebuah ancaman. Akan berlaku jika pihak istana tidak pernah melakukan tindak kekerasan pada pekerja istana' "
Tubuh Ji reon memberi respon gemetar ringan. Aku sudah berhasil menguasai papan catur ini. Sekarang, saatnya melakukan permainan kecil; skakmat raja.
"Buatlah kesepakatan bersamaku" Ucapku ditelinganya, "Dan aku akan membelamu di persidangan"
"M-mwo?! A-ap-pa k-katamu? P-pers-sidangan?" Tanyanya takut.
"Ne" Ucapku, "Kau kira, Jake tidak akan memerintahkan anak buah kepercayaannya untuk mengikutiku? Dan aku yakin, ia akan melaporkan kejadian ini pada Jake, bahkan jika aku mencoba menghentikannya, dia akan tetap memberitahu Jake" Aku melepaskan kuncianku pada tubuhnya dan mendorong Ji reon kebelakang. Punggungnya menabrak sebuah meja mahoni, "Bahwa kau, menguji harga diriku"
Ji reon menatapku tak percaya. Tangannya terkulum di belakang punggungnya. Jika harus paranoid, aku berfikir ia akan melempariku sesuatu, sehingga aku harus bergerak cepat. Atau sebuah tembakan mungkin akan memecahkan kepalanya.
"Jangan kau kira aku tidak tau apa yang bergelung di benakmu" Ucapku, menyimpan kembali pisau roti itu kedalam lengan dress, "Kau mungkin akan melemparkan sesuatu, tapi kau hanya membahayakan adik kecilmu yang masih sekolah, ia tak memiliki siapapun selain dirimu"
Tuk, tuk
Sebuah pistol bergelinding dari balik tubuhnya, "Bagaimana? Bagaimana kau bisa tau?"
Aku tersenyum, "Kerah bajumu" Ucapku seraya mengambil pistol itu dengan kaki, "Baju eonni, tulisan adikmu bukan?"
Ia menutup mulut, terkejut. Sekarang, matanya sudah ditutupi kaca tipis yang siap pecah. Seketika, ia berjongkok dihadapanku, "Aku mohon, apapun. Tapi jangan adikku, aku mohon" Tangisnya pecah sudah.
Aku mengangguk, "Aku tidak tertarik dengan adikmu" lantas berjongkok dihadapannya, "Buatlah kesepakatan bersamaku. Kau beritahu aku segala hal tentang Lady Jeon, dan aku akan membelamu di persidangan? Sepakat?"
Aku mohon, ambillah kesempatan ini aku mohon. Jika Ji reon menolak, aku harus menggali informasinya dengan keluar istana, jika tertangkap. Jake pastilah akan kecewa padaku.
Aku memandang Ji reon. Ia yang dipandang hanya menundukkan kepala dan menatap lantai istana dengan tatapan kosong. Walaupun begini, aku tetap harus memberikan respon dingin. Jika tidak, rencana ini akan gagal total. Mata violet pucat itu tiba-tiba melihat ke arahku, ada pancaran harapan muncul dari sana, "Kau berjanji tidak akan mengusik adikku?"
"Janji" Aku memberikannya anggukan pasti. Ia pun membalas anggukanku, walaupun terlihat setengah terpaksa,
"Ne, sepakat"
- 🧸
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding My Way To You || Project Hypen (-) Jake Side
Fanfiction"Memangnya kamu kuat?" "Kita lihat saja nanti" Highest rank: #2 Enhypen fanfiction - 9/9/22