2

80 13 0
                                    

"Winter-ah, bangunlah" Sebuah guncangan pelan dan suara lembut Ja soo membangunkanku dari utopia tidur diatas sofa kantor. Mataku mengerjap-erjap, cahaya matahari sudah masuk ke lantai 23 itu. Berarti ini sudah lewat jam 7. "Apakah kau ingin pulang?" Ja soo bertanya.

Aku mengangguk malas dan mengikat rambutku yang berantakan akibat tidur tadi, "Mampir di unitku saja, nanti jam 10 kita harus kembali lagi" Ucapku seraya mengenakan sendal selop dan menenteng heels semalam.

"Ide yang bagus" Ja soo menjawab.
Sambil menunggu Ja soo membereskan barangnya yang masih berceceran diatas meja, aku mengambil ponsel dan memeriksa beberapa pesan yang masuk. Mataku menangkap notif email dari divisi liputan, itu pasti revisi laporan kemarin malam.

"Winter-ah, aku ingin ke toilet sebentar" Ucap Ja soo, tanpa menunggu jawabanku pun dia telah berlari menuju toilet. Aku terkekeh ringan dan tanpa sengaja aku menoleh ke arah meja Gam do. Lelaki dengan kemeja hitam itu sedang tidur dengan kepalanya yang menempel diatas meja. Terlihat sangat tidak nyaman, dia pasti tertidur semalam.

Karena kasihan, aku pun mengguncang bahunya pelan, "Gam do oppa, bangunlah dan pindah ke sofa" Ucapku. Gam do bergeming, dia tidak bergerak sama sekali, "Astaga, Gam do oppa bangunlah!" Aku mengguncangnya lebih kencang kali ini. Perlahan pun matanya mulai terbuka.

"Winter-ah?" Suaranya parau, khas bangun tidur, "Ada apa?" Tanyanya
"Berpindahlah ke sofa" Ucapku, "Nanti oppa bisa sakit badan jika tidur di meja seperti tadi"

Ia melihat sofa dengan tatapan kosong, kemudian matanya menatapku sendu, "Aku tau ini terdengar aneh, tapi aku sangat ingin tidur diatas kasur dan sepertinya kau akan pulang?" Ia merunut kalimatnya perlahan, bisa dipastikan ia sangat berhati-hati agar aku tidak salah paham. Masalahnya, benakku sudah memikirkan keadaan terburuk.

"Mmm, oppa menurutku-"

"Kau bisa ikut kami Gam do oppa" Ja soo tiba-tiba menjawab, dia sudah kembali dari toilet, "Kau bisa menggunakan kamar tamu di unit Winter-ah, iya kan?" Ja soo menyenggol tanganku pelan.

Baru saja aku ingin menolaknya dengan halus, ini malah diberi harapan oleh Ja soo. Sial! Umpatku dalam hati, Ini yang punya unit aku, kenapa malah Ja soo yang berusul?

Nasi sudah menjadi bubur, kalimat ajakan itu sudah diucapkan oleh Ja soo, aku tidak enak bila membalik ucapannya, "Iya, kau bisa ikut dengan kami"

Gam do mengangguk, "Baguslah" Ia tersenyum dan meraih ponsel dan powerbanknya, "Kajja"

Selama perjalanan di subway, aku memprotes kalimat kiamat yang tadi Ja soo ucapkan, "Ya! Ja soo-ah, kau tau aku tidak pernah mengundang lelaki ke apartemenku!" Aku berbisik padanya
Ja soo terkekeh ringan, "Ia hanya akan tidur 2 setengah jam di kamar tamu Winter-ah, tidak lebih, kau bersantailah sedikit"

"Kau gila?!" Aku mulai panik, "Kalau orang kantor mengetahui, ini bisa menjadi rumor hebat-"

Ja soo menggeleng, "Sejak kapan kau peduli dengan omongan orang kantor?" Ucapan Ja soo tepat kena sasaran, ia tau aku hanya mencari-cari alasan, "Aku mengenalmu bertahun-tahun Winter-ah, aku tau saat kau tertarik dengan seseorang" Ia mengibaskan tangannya, "Sudahlah, nanti juga kau akan berterimakasih padaku"
Aku menghela nafas kasar, Ja soo sialan!

Sesampainya di unit apartemen itu, aku menuntun Gam do ke sebuah kamar dekat pintu masuk. Kamar dengan cat broken white itulah yang disebut kamar tamu, "Ini kamarnya, toilet ada di sebelah dan jika nanti kau sudah bangun datanglah ke pantry, dia ada dibalik tembok itu, aku akan membuatkanmu sarapan" aku menunjuk tembok didepan kamar itu, "Oh ya, jika butuh sesuatu jangan sungkan mengechatku"

"Jeongmal gomawo, Winter-ah" Ucapnya dan masuk kamar itu, "Aku tutup pintunya?"

"Ah iya, silakan" Aku mundur satu langkah dan pintu kamar itu tertutup. Kemudian aku melangkah menuju pantry dan menemukan Ja soo sedang meminum sebuah soda kalengan, "Ya! Ja soo-ah! Tidak ada soda pagi-pagi di unitku!" Tanganku menyambar sodanya dan membuang isinya di wastafel, "Hiduplah sehat mulai dari sekarang!"

Ja soo memutar mata malas, "Kau ada masalah hidup apa? Aku sudah biasa melakukan itu!"

Aku menggeram kesal, mengambil sebuah karton susu coklat dari kulkas dan menuangkan isinya ke sebuah gelas, "Minum ini saja, lebih baik" Aku menyodorkan gelas itu.

Sambil menghembuskan nafas malas, Ja soo menerima gelas susu itu, "Gomawo" Ucapnya singkat, "Apakah kau akan memasak sarapan?"

"Ne, kau ingin memakan sesuatu?" Aku menjawabnya dan mengenakan celemek.

"French toast?" Usulnya, aku mengangguk.

Selang 30 menit berikutnya, sepiring french toast dan 2 piring omelette tersaji diatas meja pantry. Mata Ja soo terlihat berbinar melihat sarapan itu, semangatnya memumbung tingg, "Gomawo Winter-ah!"

Aku mengangguk dan melepas celemek, "Aku akan mandi sebentar, kau juga, mandilah setelah selesai sarapan" Ucapku dan berjalan meninggalkan Ja soo sendiri di pantry. Wangi british rose memasuki indra penciumanku saat mendorong kamar utama unit itu. Ternyata menasang aroma therapy seperti usul dokter memang pilihan yang tepat.

Aku membanting diri ke kasur dan menoleh ke arah jendela. Seketika aku terduduk, astaga. Jendela kamarku terbuka lebar, gordennya tertiup-tiup angin. Jika terbuka sebesar ini, bisa saja ada yang masuk diam-diam. Tanpa pikir panjang, aku pun memeriksa seluruh kamar. Karena tadi kamarku terkunci, siapa pun yang masuk tidak bisa menjelajahi unit, jika dia memang ada dia pasti bersembunyi di dalam kamar ini.

Dengan sebuah stik golf, aku mulai membuka-buka lemari, memeriksa kamar mandi, melihat kolong kasur, dan segala celah kamar tidurku.
Kosong. Tidak ada tanda-tanda di masuki orang.

"Huh" Aku menghela nafas dan terduduk diatas meja rias, menatap wajahku sendiri di pantulan cermin. Aku terlihat lelah, sayu, dan menyedihkan. Tanganku meraba leher, urat-urat biru itu tampak lebih nyata. Jika ada yang jeli, sudah terlihat pasti aku sedang sakit. Kepalaku menunduk, menghindari cermin.

Tanpa sadar, tanganku sudah membuka laci meja rias, tersenyum saat melihat foto terakhirku bersama ibu. Foto itu dikirimkan oleh kakakku bersamaan dengan kotak biru muda berisi peninggalan mendiang ibu. Tanganku meraih kotak biru itu dari tempat persembunyiannya diujung laci.
Aku membuka tutupnya perlahan, sebuah kalung dengan liontin bunga mawar merekah memantulkan lampu kamar. Kalung itu indah. Kemudian mataku menangkap sebuah kertas kecil yang diselipkan dalam kotak itu.

"Saat kau siap, temuilah takdirmu"

Tulisan ibu. Aku tersenyum miris. Kalimat itu pastilah dari puitis favoritnya dulu. Aku merindukan ibu. Setelah puas memandang kertas itu, aku mengambil kalung itu dan mencoba memakainya, kalung rose gold itu terlihat cocok dengan kulit kuning langsatku.

Tunggu, sepertinya aku ada blouse merah di lemari.

- 🧸

Finding My Way To You || Project Hypen (-) Jake SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang