Selamat malam!!! Jam berapa kalian baca cerita ini? Semoga puas sama hasilnya ya!
Jangan lupa untuk vote, komen, dan share<333
Happy Reading
«—————————»29. Bantuan
Jeff melangkah cepat memasuki rumahnya untuk menuju dapur. Tempat biasa bi Ratih bekerja dan menghabiskan waktunya disana. Tapi yang ada hanyalah sebuah ruangan kosong dengan barang-barang yang sudah tertata rapi tanpa ada bi Ratih disana.
“BI RATIH!” panggil Jeff dengan suara yang keras. Berkali-kali menyebut dengan menatap kesana-kemari. Berharap dari penjuru mana saja ia mendapatkan sahutan.
Suara pintu dibuka dengan kasar dari lantas atas. Menampakkan diri seorang Indira yang sepertinya baru bangun tidur karena rambutnya yang sedikitpun acak-acakan.
“Bi Ratih lagi kepasar tadi katanya.”
Seringai muncul dibalik bibir Jeff. Tidak bisa bicara baik-baik dengan bi Ratih, mungkin bisa berlaku buruk pada Indira. Sepertinya menyenangkan.
Buru-buru Jeff berlari menaiki tangga untuk menghampiri Indi yang menatapnya kebingungan.
“Masuk,” titah Jeff berdiri tepat didepan Indi. Wajahnya datar tanpa ada lekukan setipis apapun.
Gugup dan takut kini menjadi satu. Jeff kini benar-benar berdiri didepannya.
“Masih ngerti bahasa manusia, kan?” tanya Jeff kesal karena Indi tidak bergerak sedikitpun. “Apa telinga lo sekarang bermasalah?”
“Oke,” jawab Indi pasrah. Ia mundur selangkah dan berbalik untuk masuk. Tapi saat hendak menutup pintu tertahan oleh telapak kaki Jeff.
Dengan kasar Jeff mendorong pintu tersebut membuat Indi yang tidak siap harus terjatuh keras.
“Rahasia yang gue tutup perlahan terbongkar. Walaupun gue berusaha untuk menutupinya. Ngebiarin lo hidup kayaknya jadi penyebab orang penasaran. Bagaimana dengan lo mati?” Jeff mengeluarkan pisau yang berada disaku celana yang tengah ia kenakan.
Bagaimana bisa ada pisau disana? Entahlah Jeff jadi menyukai pisau yang telah membuat Indi terluka. Mungkin pisau itu akan menjadi alat permainannya yang menyenangkan.
Jeff melemparkan pisau tersebut ketengah-tengah kamar luas Indi. Tidak lupa, senyuman penuh arti itu tercipta.
Indi menoleh, menatap pisau tersebut dengan perasaan tak karuan. Dimana takut yang mendominasi.
“Terlalu merepotkan kalau gue harus mengotori tangan gue sendiri. Bagaimana dengan lo menyakiti diri sendiri pakai alat gue? Terluka pun gue gak terlibat, kan?”
“Bodoh!” desis Indi kesal. Sesegera mungkin ia menutup pintunya agar tak lagi melihat tampang Jeff. Sedikit mendorong tubuh Jeff agar cowok itu menjauh dari ambang pintu.
Dimana otak Jeff berada sampai menyuruh orang waras bunuh diri?
***
Menit berganti setiap enam puluh detik sekali. Siswa yang tadinya hanya beberapa kepala, kini sudah bertambah berkali-kali lipat. Sekolah yang tadinya sepi, sekarang mendadak ramai. Sahutan teriakan siswi perempuan. Atau juga, pantulan bola yang dipermainkan cowok ditengah lapangan.
Indi melangkah cepat saat ia dengan terpaksa harus melewati gerombolan cowok anak kelas sebelas tengah berkumpul di tangga yang membawanya ke kelas.
"Cantik," panggil seseorang yang tidak Indi kenali. Dari banyaknya manusia yang berkumpul disana, Indi benar-benar tidak mengenal satu orang pun.
Cowok dengan rambut acak-acakan, bermata sipit, dan berkulit putih berdiri. Berjalan disamping Indi yang langsung mendapatkan sorakan dari temannya yang lain.