Deru mesin motor yang dipanaskan terdengar di garasi rumah tingkat dua milik keluarga Dewa. Motor besar berwarna merah kesayangan si ganteng Jeff itu hari ini akan dibawa membelah kota Jakarta menuju sekolah, SMA Adiwarna.
Dengan celana jeans hitam ketat yang dipadukan kaos oblong berwarna hitam juga, Jeff berdiri disamping si merah. Menyugar rambutnya yang masih basah sehabis keramas.
Tangan kanannya terangkat, memainkan handphone yang menampilkan sebuah room chat bersama gadis yang saat ini tengah bermain dihatinya.
Suara pintu terbuka membuat Jeff mengalihkan fokusnya. Menatap gadis dengan balutan baju tidur itu dengan hangat.
“Udah bangun?” tanya Jeff pertama kali.
Merasa besok adalah hari libur, Indi memutuskan malamnya untuk bergadang menonton satu drama Korea yang sudah ingin ia tonton sejak lama. Sekitar pukul satu malam gadis itu baru menemukan ending. Akibatnya ia bangun kesiangan.
Indi mengangguk. “Abang mau kemana?”
“Latihan basket.”
“Hari libur gini?” Jeff mengangguk menjawab. “Yaudah hati-hati di jalan. Jangan ngebut.”
“Lo gak mau ikut ke sekolah nemenin Nathan? Jessica juga ikut kalau lo mau,” ujar Jeff menawarkan diri.
“Kak Nathan bisa latihan tanpa aku.”
“Maksud lo gue gak bisa latihan kalau gak ada Jessica?”
Indi gelagapan. Bingung harus merespons bagaimana ketika ia sadar mungkin salah bicara. “Gak gitu maksud aku...” jawab Indi takut.
Kini giliran Jeff yang berekspresi. Cowok itu tertawa sembari geleng-geleng kepala. Apa dulu ia begitu menakutkan dimata Indi sampai gadis itu tidak bisa diajak becanda?
“Gue becanda. Serius amat,” kata Jeff setelah mengakhiri tawa meledeknya.
“Nadanya nyeremin,” cicit Indi pelan. Masih dengan tatapan takut untuk menatap Jeff kembali.
Tatapan kebencian itu semakin lama semakin memudarkan dengan Jeff yang mencoba untuk ikhlas. Jeff justru sekarang merasa gemas dengan adiknya.
Ia sudah melewatkan banyak hal bersama Indira sejak dulu. Sejak gadis itu masih kecil yang tampak menggemaskan. Jika boleh meminta, Jeff ingin mengulang. Menebus salahnya dan berperan sebagaimana mestinya.
“Gue lagi baik, nih. Adek pulang mau dibawain apa?”
Dua sudut bibir Indira terangkat menampilkan sebuah senyuman. Sulit dipercaya bahwa kalimat manis barusan keluar dari mulut orang yang dulu sering melontarkan kalimat menyakitkan.
“Ice cream!” jawab Indi dengan semangat. “Dua es krim rasa coklat yang di cup gitu. Boleh, kan?” Kedua bola mata itu meminta dengan penuh harap.
“Kayak anak kecil aja mintanya es krim.”
“Karena pas kecil aku gak bisa lakuin ini, Bang,” jawab Indi dalam hati. Ingin mengatakan itu tapi sudah pasti tidak boleh. Karena nantinya akan merusak suasana. “Aku kan masih kecil. Belum punya KTP kayak Abang.” Indi menjulurkan lidahnya meledek.
“Oke, oke, dua es krim coklat akan lo terima nanti siang,” ucap Jeff mengalah. “Tapi kalau inget.”
***