Bab 1. Kehidupan Syafiq

95 23 61
                                    


.

.

.

Ditemani dengan secangkir kopi, Syafiq duduk di ambang pintu sambil menatap hujan yang datang lebih dulu pagi ini. Ia menghela napas berat beberapa kali. Hujan-hujan seperti ini enaknya memikirkan beberapa masalah hidup. Baik masalah rumah, masalah sekolah atau bahkan masalah sama Tuhan.

Hujan di pagi hari membuat aktivitas sekolahnya terganggu dan memilih izin saja. Enak sekali hidupnya meski tak benar-benar enak.

Tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Meski ada dan tidak adanya seseorang itu, sama saja. Yang namanya dari rahim yang sama pasti kepikiran dengan dia.

Sedang ngapain dia?
Apakah di sana dia hujan-hujanan bekerja?
Atau sedang duduk termenung memikirkan hal yang sama sepertinya? Setidak akrab sama saudara sendiri, rindu untuk bercengkrama dengan dia pasti ada.

Syafiq menyesap kopinya perlahan, kedua tangannya setia memegang gelas untuk menghangatkan tangannya yang dingin. Rumahnya mulai sunyi saat Syafi'i---kembarannya memilih merantau untuk bekerja. Sedangkan Syafiq masih berstatus anak sekolahan.

Alih-alih Syafi'i mencari sekolah baru untuk menuntaskan masa SMAnya, ia malah memilih pergi membawa setumpuk beban masalah di punggungnya. Sedangkan Syafiq ..., ia membantu Saniyah---ibunya, di rumah. Baik membawakan ayam-ayam potong ke pasar atau menyembelihkan ayam-ayam itu saat dinihari.

Mereka hidup dari hasil berjualan ayam potong di Pasar Subuh Banjarbaru, dari ayam-ayam itulah SPP Syafiq dan kebutuhan keluarga mereka bergantung. Itupun harus dibagi dengan yang mempunyai ternak ayam. Sedangkan Syafi'i dulunya mendapat beasiswa untuk sekolah di SMA Trisakti 1. tapi sayang, di tengah gratisnya uang sekolah, kembarannya itu terpaksa berhenti karena dapat masalah.

Ahmad Syafiq namanya, mempunyai perawakan tinggi berisi, pipi sedikit berisi dengan tahi lalat di bagian pipi kiri. Sedangkan kembarannya itu tinggi kurus sampai-sampai tulang rahang kelihatan di wajahnya. Mereka itu mempunyai sifat bagai kubu utara dan selatan, Syafiq orangnya mudah akrab, humble, sedangkan Syafi'i dingin tak tersentuh.

Saniyah sudah berada di pasar untuk menjajakan dagangannya. Meski terbilang kecil, ada banyak yang menjadi langganan Saniyah dari beberapa penjual makanan jadi berbahan ayam. Ayah Shofia misalnya, lelaki hampir setengah abad itu memiliki usaha nasi kuning, setiap Malik ingin berdagang, pasti memesan ayam lebih dulu pada Saniyah.

Meski dingin-dinginan di pasar, tak banyak pelanggan karena hujan, yang namanya mencari rezeki tetaplah dilakukan Saniyah. Janda dengan dua anak kembar itu harus mencari uang untuk mereka semua.

Sesungguhnya rezeki seorang hamba sudah diporsikan dengan standar kebutuhannya. Seluruh makhluk yang bernyawa, bergerak ataupun tidak, takaran rezeki tidaklah habis jika napas masih berhembus.

Syafiq bersekolah di SMA Bakti Bangsa Banjarbaru, sekolah yang bertetangga dengan SMA Trisakti 1. Meski tak setenar SMA Trisakti 1 yang terkenal karena turnamen game online antarprovinsi, SMA Bakti Bangsa juga memiliki sejumlah predikat bagus dalam bidang akademik maupun nonakedemik.

Hembusan angin menerpa kulit Syafiq pelan. "Haaah, gini-gini aja hidup gua," keluhnya hampir berbisik.

Siapa sih yang tidak melihat ke dirinya sendiri tentang hari ini dan hari kemarin? Pasti kadang hari ini dan hari kemarin dijalani dengan warna yang sama, bangun tidur, makan, mandi, sekolah, berteman, sore, malam, tidur lagi.

Kadang iri dengan orang lain, kadang membandingkan dengan kehidupan orang lain, kadang merasa diri tidak ada gunanya tapi tetap ingin hidup. Percayalah, semua orang pernah di fase itu. Semua memang gini-gini aja, kecuali mereka-mereka yang pandai memanfaatkan waktu untuk beribadah, baik ibadah dunia ataupun ibadah akhirat.

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang