Bab 14. Friendly Syafiq

32 11 39
                                    

Langit yang tadinya cerah perlahan meredup diganti dengan cahaya menguning keemasan. Para pedagang kaki lima mulai meninggalkan tempat duduknya. Ada yang kembali ke rumah untuk beristirahat, ada pula yang baru ingin bekerja di malam hari.

Semuanya kian meredup kala mega tebal menyelimuti ufuk barat. Rintik-rintik air mulai menyentuh genteng perumahan.

Sore jum'at kali ini, Banjarbaru dilanda hujan cukup deras disertai angin kencang. Jalanan licin, genangan air di mana-mana membuat sejumlah pengendara menepikan diri untuk tidak kena hujan dan percikan air dari mobil-mobil yang melintas.

Gemersik daun menari seirama dengan derasnya hujan. Halilintar berganti muncul di setiap awan kelabu. Seluruh aktivitas manusia di luar ruangan terhenti begitu saja.

Sudah 30 menit ribuan tentara dari atas itu berjatuhan. Langit kelabu masih setia menyelimuti mereka semua. Bibir yang terkatup perlahan berdesis bersahut-sahutan. Ada yang menatap kosong, merasa hujan penghalang aktivitas mereka. Ada pula yang tersenyum tenang mengikuti instruksi dari alam bahwa semua kadang perlu berhenti sejenak.

Ada pula yang tak sabaran hingga bersedia menerobos jutaan air hujan itu. Seperti halnya seorang gadis dengan hoodie cokelat muda yang satu ini. Ia melajukan motornya seperti tak ada acara pentas sang hujan. Gadis tanpa jas hujan ini kadang melambat saat beriringan dengan beberapa truk, kadang juga ia melajukan motornya di atas kecepatan normal untuk menyalipinya.

Sekujur tubuhnya basah kuyup. Tangannya bergetar tapi tetap berusaha mengendalikan stang motor. Bibir kecil memucat dan mengeluarkan desisan tanpa dikomando. Ia kedinginan tapi sangat suka dengan hujan.

Dengan kata lain, gadis ini penikmat hujan yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Apabila hujan turun, moodnya akan senang dan tenang. Jika tidak main hujan-hujanan, gadis ini akan menengadahkan tangan menyambut rintik-rintik hujan dengan hati gembira.

Ia menepikan diri pada sarangnya selama 18 tahun. Rumah besar yang memiliki keluarga harmonis, manis dan selalu dielu-elukan masyakat. Tapi mereka seakan lupa, di dalam sana ada sepasang gadis yang dilupakan publik. Memikirkan itu Savina mendapat tamparan keras, apa betul dirinya dan kakaknya anak keluarga ini?

"Bagus, udah cewek, hujan, mau dijual lekuk tubuh lo?" ejek cowok yang datang membawa handuk putih tebal.

Savina menatap sekujur tubuhnya yang basah. Tidak, ia tidak sedang memakai pakaian ketat dan air hujan tidak mampu memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya, syukurlah.

Dani melempar handuk tepat di wajah Savina. "Cepat masuk."

Savina memeras ujung hoodie, jilbab dan mengelap roknya dengan handuk. Suasana sekitar masih dilanda hujan deras hingga merembes ke teras.

"Besok-besok lo nggak usah naik motor. Beban."

"Apa-apa gue selalu salah," lontar Savina kesal.

"Lo hidup pun salah. Pilihan lo selalu salah," jawabnya remeh.

"Bilang salah gue di mana?" tantang Savina.

"Naik motor, dibuntutin musuh. Hujan-hujan dikejar mobil musuh dan berakhir masuk rumah, musuh makin yakin mau lenyapin lo."

"Urusan mereka mah," tukas Savina lalu melangkah masuk menjauhi kakaknya. "Nyawa gue melayang, sedangkan lo khawatir warisan nggak kebagian."

"Sudah sampai titik ini, kenapa gue nggak harus khawatir?"

"Karena lo nggak tahu rasanya sendirian." Savina mengeratkan pegangan pada handuknya yang berada di pinggang. Ia melirik sebentar pada Dani yang tegap berdiri di depan pintu sana. "Dasar serigala. Di sekolah aja kayak kucing. Ardhani."

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang