Bab 4. Sakit

35 17 57
                                    

Untukmu yang terkadang menasehati, tolong lebih mengedepankan hati.

(SyaVin)

.

.

.

Bosan.

Savina sudah bosan setiap kali sakit dirinya malah mendapatkan kartu cibiran dari orang tuanya sendiri. Terlebih lagi kakaknya terlibat dalam ensiden hari ini, membantu Savina membelikan obat pereda nyeri lambung. Ya, Savina akui, dia perlu bantuan, tapi bukan berarti kakaknya juga yang harus datang dan membuat harinya semakin suram.

Saat beberapa anak seumurannya sedang bermanja-manja pada orang tua di waktu sore seperti ini, Savina malah mendapatkan nasehat pedas dari singa betina.

"Lagian kalau waktu makan, ya makan. Ngeyel terus jadi anak. Nyusahin orang! Lihat tuh kakak kamu, kelelahan ngurusin kamu seharian di sekolah. Belum lagi latihan silatnya."

Savina diam sambil mengaduk-aduk makanan miliknya, ia membiarkan perkataan yang didengarnya masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Berapapun nasehat yang masuk tetap kembali pada permukaan hatinya dan ... sirna.

"Jadi orang tuh mikir dikit supaya jangan nyusahin orang mulu. Sudah dewasa masih kelakuan bocah. Malu sama sama tetangga."

Kadang, kita sebagai orang terdekat pun perlu etika dalam menyampaikan masalah. Ada hati yang rapuh meski bertopeng baik-baik saja dengan wajah datar.

Sesekali Savina melahap makanannya tapi yang paling banyak ia lakukan hanya mengaduk-aduk tanpa mau berbicara sepatah kata pun.

"Kalau sakit nggak usah sekolah. Lihat kakak kamu, ketinggalan banyak materi karena jagain kamu."

"Malu-maluin punya anak."

"Ada apa ini?" tanya Ardhan. Laki-laki itu baru datang dari kantor langsung disambut siraman ceramah dari istrinya untuk ... Savina, ah anak itu.

Habibah mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di pinggang, posisi yang nyaman lillahi ta'ala untuk melanjutkan emosi. "Ini nih, Yah. Gara-gara Vina, kakak Dani nggak konsen belajar."

"Kamu!" bentak Ardhan.

Savina melirik dengan ekor matanya lalu bangkit membawa piring yang baru setengah dimakan isinya. Nafsu makannya sudah tak bisa dipaksa lagi, ia kenyang dengan perkataan hingga membuat hatinya berdegup cemas dengan pandangan jauh.

"Jangan coba-coba membuang makanan. Habisin! Kami belum selesai bicara."

Savina menulikan pendengarannya dan memilih memasukkan nasi bercampur kuah sup ayam itu ke dalam bak sampah.

"Beraninya kau membantah orang tua."

Savina masih diam, bunyi air bercampur dengan kemarahan orang tuanya itu bersatu padu memenuhi pendengarannya.

Setelah mencuci alat makannya, ia beranjak pergi menghiraukan suara-suara iblis berkepala manusia.

Berjalan dengan tatapan kosong dan masuk pada dimensi kesunyian pribadinya. Ia menutup pintu perlahan lalu menguncinya dua kali. Merosotkan diri ke lantai dan akhirnya pertahanan runtuh seruntuh-runtuhnya.

Menghakimi seseorang itu enak! Menuduh, menuding orang lain itu enak! Enak banget! Kenapa? Karena kekesalan diri yang menggebu-gebu sudah luruh dari hatinya. Tapi yang diceramahi? Yang dinasehati? Mereka diam dan mengenstropeksi diri sambil tersenyum ketir karena masalah mereka sudah selesai walau hati mereka terus terluka.

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang