Bab 23

18 8 36
                                    

Setelah mengatakan pamit ada urusan, Ababil langsung mengerahkan seluruh bawahannya untuk melacak keberadaan Savira---si gadis gila namun aset berharga bagi keluarga Ardhan Wijaya. Ababil juga memberitahukan orang tuanya harap-harap mereka akan menyalahkan Savina supaya kedepannya penjagaan adiknya itu semakin ketat hingga tak ada orang lain yang berani mendekat.

Selesai berusaha semampunya, Ababil meraih helm dan memakainya sembari bercermin. Ia menaikkan masker lalu menghidupkan motornya. "IBU AKU DULUAN, ASSALAMU'ALAIKUM!" teriak Ababil yang berada di atas motor.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka yang berada di dalam rumah.

"Gue pun dapat tugas nyelidikin," gumam Firdaus berada di ambang pintu rumah Syafiq sambil memperhatikan Ababil yang memunggunginya.

Ababil melesat pergi dari sana menuju Gambut, tepatnya di tempat rumah sakit jiwa berada. Tanpa sepengetahuan Ababil, Firdaus membuntuti kemanapun sahabatnya itu pergi.

"Maaf, Bil, gue dapat tugas nyelidikin latar belakang lo," gumam Firdaus.

  ......


Di rumah sakit jiwa, gadis dengan mata cokelat jernih perlahan menyusuri ruangan yang terlihat kosong. Ketukan dua tumit sepatunya bergema ke sisi-sisi ruangan. Ia menyingkap gorden mempersilakan baskara masuk memberi cahaya.

Tangannya dengan cekatan membuka engsel jendela, dengan sekali dorongan benda kaca itu terbuka seperempat untuk menyalurkan udara baru ke dalam kamar ini.

"Assalamu'alaikum, udah dapat kabar?"

"Wa'alaikumussalam. Pelaku membawa nona tua ke arah Hulu Sungai."

"Saya minta bawa kakak saya selamat."

"Siap, Non."

Savina menutup sambungan telepon lalu memasukkan benda pipih itu ke tas salempang. "Kak Vira ... lo pergi ke mana?" lirihnya sedih.

"Gimana, Dik?" tanya suster yang bertugas menjaga Savira.

"Udah dapat kabar kok, Sus." Savina melepas senyum tipis. Suster itu merangkul tubuh ringkih Savina sambil menepuk-nepuk untuk menenangkan.

"Moga-moga kabarnya bertambah," ujar suster itu.

"Amin. Eh iya, suster, suster baru?" tanya Savina basa-basi. Bingung harus membahas apa karena ia tipe orang yang tidak tahu cara berbincang dengan orang luar.

Suster itu kembali berdiri pada posisi semula. "Suster Eni cuti, saya yang dipilih Bapak Ardhan untuk jaga nona tua," jawab suster itu sejujur-jujurnya.

"Sejak kapan?"

"Baru satu bulan lebih. Nama aku Bahjah, Nona."

Savina meringis pelan karena sematan 'nona' pasti keluar dari mulut pekerja keluarga besarnya. Dapat dipastikan Suster Bahjah melalui banyak ujian baru bisa bekerja di keluarga sultan ini. "Panggil Savina aja."

"Baik, Nona——eh Savina," ralat Suster Bahjah cepat.

Beberapa saat HPnya kembali bergetar. Savina mengeluarkan benda terduga lalu menekan panel merah karena tak ingin kehidupan tenangnya diganggu.

Beberapa kali nama yang sama tertera di teleponnya hingga Suster Bahjah kepo dan memberanikan bertanya pada nona muda keluarga penghasil ribuan ton batu bara ini. "Kenapa nggak diangkat, Non? Eh Savina?"

"Orangnya ganggu," singkat Savina.

"Siapa tahu penting," ujar Suster Bahjah lagi.

"Nggak penting, Sus. Dia cuma mau minta biodata aku."

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang