Bab 9. Rumah Sakit Jiwa

29 15 28
                                    

Seorang gadis yang tak tentu arah terjebak di ruangan kecil diterangi sinar bulan di langit sana. Meski bokongnya mendapat kedudukan selembut sutra, yang namanya di rumah sakit, tetaplah rumah sakit. Jiwa lagih!

Selimut, jaket, botol air mineral serta beberapa bungkus obat berserakan di hadapannya. Ia menekuk lutut dan melipat tangan di atasnya sebagai tumpuan kepala. Pandangan kosong pada pintu tertutup sudah bertahan 30 menit lamanya.

Nasi berserakan, talam makanan sudah tak berbentuk, lauk terbengkalai di lantai, sudah biasa bagi kehidupannya di sini. Bahkan kadang kalau tak petugas bersihkan, ia akan berteman dengan semut dan lalat.

Perlahan air mata tak bisa berbohong akan suara hatinya sendiri yang mengatakan kebingungan. Ia menangis, ia juga tertawa secara bersamaan seperti orang gila kebanyakan. Lalu ia diam kemudian menangis lagi disertai tawa atau ocehan miliknya.

Di sampingnya tergeletak surat kabar yang baru dikeluarkan 1 tahun lalu. Beberapa kata tidak penting bagi kehidupan Savira tertera di sana. Ya, meski tidak mengerti surat kabar itu ada hubungan apa dengannya, tapi perasaan sesak tercipta saat melihat orang di dalam sana. Dari kabar Ardhan menyantuni 3 buah panti asuhan di Kecamatan Gambut, penyelenggaraan seminar untuk beberapa sekolah serta beberapa pesan manis yang disampaikan oleh Ardhan pada publik untuk reputasi pekerjaan negaranya.

Keluarganya selama ini tak ada satupun yang menjenguk. Bahkan, hanya menanyakan kabar pun 6 bulan sekali. Kemana keluarga pejabat yang ramah serta sering membantu orang-orang miskin? Kemana kesantunan seorang ayah yang katanya menyantuni belasan anak di panti asuhan Gambut? Bukankah tempatnya sekarang juga di Gambut? Rumah Sakit Sambung Lihum, Gambut, Kabupaten Banjar. Dekat 'kan?

Gadis dengan tataan rambut terurai tak beraturan ini ternyata hanya anak yang ditumbalkan demi kemasyhuran keluarganya. Diasingkan, tak dijenguk, tak tahu dunia luar dan gila.

Di luar sana terdengar riuh senda gurau orang-orang sakit yang nyatanya mereka bebas. Bebas dari memikirkan masalah apapun. Bebas berkata apa saja dan yang paling penting, bisa menangis atau tertawa tanpa sembunyi-sembunyi.

Hanya satu orang yang membuatnya nyaman. Hanya dia yang membuat tubuhnya terasa aman. Tapi orang itu juga dilarang keras mendatangi tempatnya.

Setiap pagi Savira dipaksa melihat kertas-kertas yang dibawa oleh penjaganya. Dipaksa mencoba sesuatu yang tak tahu apa itu, hingga terkadang menggunakan kekerasan fisik. Sungguh tak ada ubahnya dirinya seperti tahanan penjara.

Kata-kata yang sering mereka ulangi saat bersama Savira adalah. "Yang gila bukan berarti bodoh."

Tapi sampai sekarang, gadis yang sedang berlutut ini tak menemukan apapun. Di samping itu, jangan lupakan orang gila tak tahu tata cara berpikir.


......

Jam dinding sudah tegak berdiri di angka 12 malam, tapi Savina masih merenung di hadapan meja belajar. Seluruh kamarnya berwarna biru gelap dan hanya diterangi oleh lampu belajar. Ia menumpu pipi kiri sembari mencari posisi nyaman.

Sesekali HP yang tergelak di hadapannya menyala, tapi kembali redup dan padam setelah 5 detik ia hiraukan.

Menjadi diri sendiri yang tak mudah mempercayai orang lain membuat pribadi Savina kian tertutup. Meski kadang ingin ia tuangkan ke dalam keluh kesah sosial medianya, ketika itu pula hatinya tergerak untuk bicara, "Untuk apa?"

Setiap ingin bercerita pada orang-orang kepercayaannya, setiap itu pula timbul spekulasi 'Jangan membebani orang', pada dirinya. Apalagi sekarang, terkadang, orang yang kita percayai menampung keluh-kesah adalah orang yang paling pandai menceritakan keluh-kesah kita tanpa diminta. Hal itu justru berbanding terbalik pada keluh-kesah yang melanda kita pada waktu itu. Alias, cukup mulut orang lain bisa menambah karangan cerita.

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang