Bab 5. Kembalinya Syafi'i

36 16 76
                                    

Sebuah jarak akan lebih indah karena ada beberapa hal yang bisa dilakukan saat bertemu untuk melepas rindu.

(SyaVin)

.

.

.

Gemulai angin mengayunkan ranting, klakson saling bersahutan, decitan ban berhenti dan melaju bersatu padu memenuhi riuhnya kota pada siang ini. Embusan angin kadang kencang membuat gemersik daun kian berbunyi. Riuh tawa, rengekan anak-anak memenuhi hawa taman kota.

Pemuda dan pemudi duduk di bawah pohon untuk bernaung dari teriknya sang baskara. Meski panasnya kian membuncah, mereka tetap merasa nyaman karena sejuknya angin menari-nari mengitari pohon.

Taman Van Der Pijl Banjarbaru, di sini Savina sekarang. Tengah duduk santai sendirian sambil membaca cerita di HP. Banyak pasang mata memperhatikannya tapi sang empu hanya diam bodo amat dengan suasana sekitar. Angin masih bertiup manis menerbangkan sebagian ujung kerudungnya. Ia kadang berkedut menahan senyum karena menemukan adegan humor dari cerita yang ia baca.

Bak-bak jualan pedagang kaki lima tersebar, baik itu mainan anak atau pedagang asongan. Meskipun tetap HP yang ia pegang, kadang perhatiannya juga teralih pada suasana sekitar yang tampak bahagia.

Kincir angin, balon, ketukan gelas dan mangkuk membuat Savina lebih tenang. Niatnya ingin membaca pada Taman Baca Masyarakat, tapi sayangnya, bangunan berwarna jingga-hijau ini tutup di hari Ahad. Alhasil, dirinya duduk di dekat tiang dan memainkan HP sekadar teman peralih.

Di hadapannya ada kompor mainan yang menyala, banyak keluarga yang melihat anak-anaknya bermain masak-masakan sembari melempar gelak tawa. Sang anak dengan telaten memasukkan beberapa barang plastik ke dalam wajan plastik. Sekilas, Savina mengamati kompor yang menyala tapi tak mengeluarkan asap di atas penggorengannya, aneh, manusia sekarang hebat-hebat, batinnya.

Meski riuh, Savina tetap merasa nyaman. Malahan berdiam dalam keramaian membuatnya sedikit tenang dari beberapa masalah hidup.

Bosan membaca karena tidak fokus, ia berjalan mengelilingi Taman Van Der Pijl sebentar. Pohon-pohon besar nan rindang menaungi pengunjungnya dari paparan sinar matahari langsung. Ada pemuda yang lama menatapnya karena Savina datang sendirian. Ada juga yang berspekulasi sedang menunggu pacar atau teman.

Bau oli, bensin yang merembes dari angkutan kota kesana-kemari menyeruak penciuman. Mesin pembangkit listrik berderu membangkitkan tenaga listrik untuk beberapa objek mainan anak yang memerlukan energi kilat itu.

Puas berkeliling, Savina melangkah ke seberang jalan parkiran untuk mendatangi satu rombong makanan. "Mang, bakso."

Savina mendaratkan bokong di pojok. Menurutnya pojok adalah tempat ternyaman, paling strategis untuk melihat dan paling sunyi.

Semangkuk bakso tersaji di depannya, ia pun langsung membayar. Membayar sebelum memakan sesuatu adalah kebiasaannya, apalagi hal itu sudah pasti milik kita seratus persen. Coba belum bayar dan kita sudah memakan habis baksonya, tapi ada gempa bumi, kita akan lari dan lupa bayar. 'Kan rugi kitanya di akhirat nanti.

"Jodoh kali yah, kita ketemu mulu?"

Savina mengekor mata ke arah orang itu. "Ck!" decaknya.

"Gue ke sini mau jemput abang."

Syafiq duduk di hadapan Savina, ia juga membawa sebuah benda panjang dengan kepala bulat, benda itu sering digunakan untuk pedagang pentol keliling.

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang