Bab 16

23 11 87
                                    

Ababil si ketua kelas 12 Bahasa berdiri di depan pintu sembari mengabsen anak kelas mereka yang masuk ke dalam. Di samping laki-laki itu berdiri Daufa---wakil kelas, Wafa, Majta---sekretaris kelas dan Nadzfa---bendahara kelas bertugas menyerahkan atribut lengkap pada teman sekelas mereka.

Muslimah berjalan santai sembari memainkan kunci motor yang berada di jari telunjuknya.

"Mus, dasi pake?" tanya Ababil pada Muslimah.

"Naaaaaaa!" Muslimah mengangkat sedikit kerudungnya untuk memperlihatkan benda kain yang menempel di atas seragam sekolahnya.

"Cakeeep," timpal Wafa seraya memberikan dua jempolnya ke arah Muslimah.

"Ngegas mulu idup lo, Mus," celutuk Nazdfa.

"Kebiasaan emang! Dari pada kayak Majat, sama Topan, kulkas 100 pintu!" hardik Muslimah membawa-bawa 2 nama cowok yang diam sembari memasukkan benda-benda diperlukan pada plastik bening.

Majta dan Daufa hanya memandangi sekilas karena nama mereka diperdebatkan. Kemudian 2 cowok itu kembali melakukan tugasnya tanpa bicara.

"Tuhkan, kulkas!" sindir Muslimah.

"Majta, Daufa, Mus," ucap Wafa setengah sabar.

"Ya-yayaya. Kalau nggak ada apa-apa gue masuk dulu." Muslimah pun mengakhiri percakapan dan masuk ke kelas yang masih sepi, hening, dingin dan berbanding terbalik dengan koridor yang seperti pasar.

Muslimah mengedarkan pandangan hingga pandangannya menabrak iris cokelat terang Savina. Ia melebarkan mata, pantas saja udara di sekitar sini terasa lembab, disebabkan oleh roh dingin kayaknya. Detik selanjutnya gadis yang suka senggol bacok, bacot, inipun nyengir, "Ahehehe. Pagi, Vin."

Savina menganggukkan kepala dan tersenyum tipis pada Muslimah. Tapi sayangnya senyuman dari penghuni pertama yang duduk di kelas ini terkesan berdamage buronan geng. Membuat bulu kuduk Muslimah berdiri seketika.

"Duluan, Vin, gue ke luar dulu," pamit Muslimah berlari dan masih membawa ransel di punggungnya.

Savina yang melihat kejadian itu hanya mendengus sebal. "Oke, sampai mana tadi kita ngebaca?" monolognya sendiri pada HP menyala menampilkan ribuan kosa-kata. Apalagi kalau bukan membaca cerita di platform kesayangan, Wattpad.

Di koridor sekolah, dua orang cowok berjalan ke arah kelas 12 Bahasa. Sontak saja Wafa dan teman-teman pengurus kelas itu mencegatnya dan menyerahkan barang yang sama pada anak-anak tak disiplin seperti Firdaus.

"Kenapa harus make ini lagi si?" tanya Firdaus seraya menerima bungkusan besar berisi topi, kaos kaki panjang, dasi dan rompi seragam.

"Osis ngadain razia," jawab Ababil. Jika bertugas, cowok yang satu ini akan serius dengan tugasnya supaya anak-anak lain segan dengannya. Ya meskipun masih saja terpapar virus bacot jika bergabung dengan 2 personil bobrok and the gengs.

"Ooo, pantesan si menteri hari ini rapi dari rumah," ujar Firdaus sembari merangkul Syafiq yang disebutnya sebagai menteri, menteri dangdut. Padahal kalau dipikir-pikir Syafiq tidak terlalu suka pada lagu lokal itu.

"Beda kayak lo yang langganan dikasih atribut," ejek Ababil.

Firdaus menatap tampilannya sekilas dari bawah ke atas. Tidak memakai sepatu, pakai kaos kaki warna-warni, celana dilipat kayak orang kebanjiran, seragam dikeluarkan, rambut sudah kembali pada jambul ayam. "Gue mah sultan, bebas," ucap Firdaus menyangkal.

"Sultan mah bebas, gue ke kelas dulu. Berat bawa beban di pundak," tutur Syafiq, ia berlalu begitu saja dari sana.

"Beban mulu idup lo, Fiq, sekali-sekali bawa dosa biar bisa liat neraka!" ketus Wafa.

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang