Bab 22

24 9 42
                                    

Hari ini lagi-lagi Syafiq berada di halaman Sekte Borneo, menunggu Ababil yang katanya ada sedikit urusan di dalam. Firdaus sudah melesat pergi karena ada urusan juga. Ia berkeliling-keliling mengitari beberapa pohon yang berbuah. "Pengin banget padahal makan rambutan, tapi ini buah milik siapa?" monolognya sedih.

Syafiq tersenyum, manyun, lalu tersenyum lagi hingga beberapa kali sembari memperhatikan merahnya bulu buah rambutan di depan sana. Air ludahnya sudah naik-turun menghayal buah kenyal itu masuk ke dalam mulutnya. "Milik Allah sih, tapi kalau berada di tanah orang, tetep aja milik orang. Moga-moga besok bisa makan buah rambutan pasar."

"Tugas untukmu."

Syafiq menerima uluran surat. "Dari siapa?"

"Ketua." Orang itu pergi dari sana secepat mungkin.

"Eh-eh, hai! Wajah lo bahkan belum gue liat! Waduh, berasa dunia perang kalau ginih," desah Syafiq lalu mengambil tempat duduk di bawah pohon tak berbuah yang jauh dari gedung Sekte Borneo.

Keluarga Savina Ardhan Wijaya, Komplek Citra Graha Banjarbaru.

"Gitu doang?" tanya Syafiq ngenes sendiri akan nasibnya.

"Menteri!" panggil Ababil setengah berteriak  sambil melambai.

"Ha-oh, iya-iya, gue juga balik." Syafiq menutup surat itu lalu memasukkannya ke dalam tas. Ia pun berlari kecil mendekati Ababil.

"Dapat apa lo hari ini? Gue dapat misi orang gila loh," ungkap Ababil.

"Misi pertama itu kayak gimana sih? Gue agak nggak percaya sama perkumpulan gini, berasa nyari aib orang tau nggak," beber Syafiq.

"Ya gitu. Kalau untuk ngungkap kejahatan, kenapa enggak," timpal Ababil sekenanya. "Udah yuk pulang aja. Firdaus juga mau ke rumah lo ikut makan katanya." Ababil langsung memutar badan dan melangkah ke arah parkiran motor

"Gratisan mulu tuh anak," cibir Syafiq, tangannya naik-turun seperti burung yang terbang sembari berjalan membuntuti Ababil.

"Kayak lo kagak aja," kekeh Ababil mengejek.

Syafiq refleks menggeplak dahinya. "Ah iya lupa. Tapikan dia sultan juga, beda sama gue yang emang miskin dari lahir," ucap Syafiq bangga. Miskin kok bangga, Fiq?

"Enaknya makan apa ya, Fiq?" tanya Ababil mengubah topik menjadi serius demi perut.

"Bakso."

  ......

"Assalamu'alaikum. Ibu, anak pungut dataaaaang!" Firdaus merenggangkan tangannya ke udara seolah ingin memeluk siapa saja yang terlihat.

"Wa'alaikumussalam."

"Astaghfirullah! Daus-Daus," ucap Saniyah sembari geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah teman Syafiq yang satu ini.

"Nggak punya rumah lo?" cecar Ababil yang  anteng duduk di sofa. Meski rumah Syafiq sederhana nan kecil, di perkampungan banyak sampah, udaranya juga bau air limbah, tetap saja temannya itu tak terlihat mengeluh kekurangan meskipun sangat nampak dari segi pandang Ababil dan Firdaus.

Mereka juga ikut menikmati kesederhanaan hunian Syafiq yang kalau dibandingkan dengan kamar mandi Ababil saja kalah telak. Tapi di sini mereka lalui dengan suka-cita karena tak pernah merasa kesusahan. Wajar anak sultan.

"Sakit sekali eperibadeh!" rajuk Firdaus sembari memegangi dadanya. Sebelah tangannya menenteng plastik hitam buah tangan yang ia dapatkan di depan gang.

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang