Bab 17

21 12 70
                                    

Savira sedang berada di ruang terbuka hijau Sambung Lihum. Ia berjalan tanpa alas kaki di atas bebatuan yang sengaja disusun untuk terapi. Sorot mana gadis itu layu, kosong, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Perasaan takut beberapa tahun silam masih menggiringnya sampai di tempat ini. Dahulu, yang ia ingat hanya menjadi siswi SMP sangat muda karena tingkat kecerdasannya. Mengenal beberapa teman, hingga sebuah bencana perlahan datang.

"Kenapa mereka mati, tapi aku tidak, Dan?"

Di depan pandangannya seolah ada sebuah panggung yang memperlihatkan muka-muka tak berdosa sedang mengasuh sedih. Ada adik kelas yang pintar menyainginya, ada teman sebangku yang malang, ada anak ceria berakhir tragis.

Lima orang terdekat dengannya membubuhi ingatan Savira setiap harinya. Selain itu Dani dan Savina juga ikut terseret dalam pikiran Savira. Beruntung, Savina tidak dilecehkan kakak kandungnya, sedangkan Savira? Biarkan masa lalu menutupinya.

Tumbuh dengan IQ di atas rata-rata membuat Savira dan Dani menyelesaikan study SD-SMPnya hanya 5 tahun. Setiap setengah tahun, sang anak Jenderal ini berpindah kelas untuk melanjutkan pelajaran mereka. Berbanding terbalik dengan Savina yang harus sekolah dari PAUD secara normal bahkan pernah tidak naik kelas.

Meski pintar, jika tak ada pembekalan ilmu agama dan tatakrama, seseorang akan menjadi liar saat mengenali kenakalan remaja. Itulah yang terjadi pada Dani dan Savira.

Iri, dengki, hasutan dari setan selalu membuat keduanya menikmati permainan dunia hingga tak sadar sudah banyak menghilangkan kebahagiaan keluarga orang lain. Di tambah lagi perebutan harta warisan, membuat keduanya sering kalap dan bermain tangan pada yang lemah.

Membunuh.

Membully.

Menjadikan yang lemah sebagai pelampiasan.

Mengotori jiwa-jiwa tak bersalah.

"Mbak Vira, ayo kita sarapan dulu. Sudah bunyi perutnya loh," ajak suster yang sedari tadi memegang nampan makanan untuk Savira.

Savira menggeleng menolak. Kemudian ia meraung-raung dengan tangisan membuat suster tersebut panik. Orang-orang gila yang ada di sana ikut menangis atau tertawa seakan memberikan energi satu sama lain.

Suster itu merengkuh tubuh Savira untuk menenangkan. "Mbak, jangan takut. Mbak aman, Mbak aman."

"A-aku, aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh."

"Mbak bukan pembunuh! Mbak bukan pembunuh, aku percaya sama Mbak," ujar suster itu lagi.

"TAPI AKU ADA DI SANA! DANI, VINAAAA!" teriak Savira dan meronta-ronta agar terlepas dari pelukan suster itu.

Karena kekuatan Savira yang entah dari mana. Suster itu tersungkur dan Savira berlari tak tentu arah sambil memanggil-manggil kedua saudaranya. "DANI! VINAAAAA!"

"DANI! VINAAAA!"

"DANI ... JANGAN SAKITI VINA."

"Aduhhhh sakiit! Aaaarggghhh!"

Tubuh Savira limbung ke depan membuatnya tersungkur dan pingsan seketika itu juga.

"Maaf Mas, kalau boleh tau, nanti kapan dia bangun? Belum sarapan soalnya." Suster yang bertugas menjaganya menghampiri Dani.

Dani menarik suntikan cepat tidur miliknya dan menyimpan di saku depan celana. "Jam 9 dia bangun. Kalau dia bikin ulah, suntik aja pakai obat ini."

Suster itu mengangguk. Meskipun berbasis rumah sakit umum, Sambung Lihum tetap menjalankan permintaan keluarga pasien asalkan itu tidak merugikan pihak rumah sakit atau pasien.

SyaVin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang