Keping 8

4.3K 468 8
                                    

"Happy birthday, Mas Eda," ucap Alinda seraya memeluk kakak pertama kesayangannya yang hari ini berusia 35 tahun. Danendra dan Arya memang lebih tua Arya. Setelah Alinda melepas pelukannya, Arya langsung maju memberikan selamat.

Danendra tidak mengadakan pesta ulang tahun atau apa, tapi Alinda memang berinisiatif untuk datang bersama Arya. Lagipula ia sudah berjanji pada Kasyara tempo hari. Ia harus sedikit memaksa Arya untuk pergi karena ini ulang tahun kakak kesayangannya.

"Kassy nggak bilang kalau mau ada tamu," kata Danendra setelah mempersilakan Alinda dan Arya duduk.

"Kejutan dong, Mas," sahut Alinda dengan senyum lebar. "Aku dikasih hadiah apa, Mas?"

"Kok Mas yang kasih hadiah? Kamu lah," sahut Danendra. Ia kemudian memanggil Kasyara dan menyuruhnya duduk saja daripada mondar-mandir. "Kas, duduk. Jangan pecicilan."

"Segitunya amat sama istri, Mas," ledek Alinda. Kasyara kemudian datang seraya membawa minum dan camilan untuk mereka. Kasyara lalu dipaksa duduk oleh Danendra di sampingnya. Alinda terkekeh-kekeh melihat keduanya malah berdebat kecil. Danendra tetap ngotot menyuruh Kasyara duduk, dan membiarkan mbaknya yang menyiapkan makan siang. "Kok protektif amat sih, Mas? Ditinggal ke dapur kayak ditinggal ke mana aja."

Danendra lalu tersenyum. "Kassy kasih hadiah yang lebih daripada jam tangan, Lin. Dia lagi hamil muda, tapi hobi banget pecicilan."

Mata Alinda langsung memelotot karena terkejut. Ia kemudian tersenyum, berdiri lalu memeluk Kasyara dan Danendra bergantian sambil mengucapkan selamat. "Aku jadi tante nih? Punya keponakan?"

Arya juga tersenyum dan turut memberikan selamat tulus.

Alinda kembali lagi duduk di samping Arya. Ia kemudian bersemangat minta diceritakan bagaimana proses memberi kejutan pada Danendra. Ia benar-benar ikut bahagia dan ia juga bisa melihat bahwa kakaknya bahagia. Danendra menginginkan anak dan akhirnya Kasyara bisa mengandung anak mereka berdua. Alinda fokus mendengarkan sampai tidak tahu kalau dirinya mengeluarkan air mata kalau saja Kasyara tidak mengatakannya. Alinda langsung menyeka air matanya dan tertawa.

"Kok kamu yang nangis, Lin?" tanya Danendra kebingungan.

Alinda menggelengkan kepala lalu tersenyum. "Nggak tahu, aku ikut senang."

Alinda menoleh ke arah Arya begitu dirinya merasakan tangan Arya menggenggam tangannya. Ia tidak mengerti apa maksudnya, tapi ia membalas. Sampai saat ini, belum ada pembicaraan soal anak antara ia dan Arya. Alinda menginginkan anak, tapi ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Arya dulu. Ia tidak mau keduanya terpaksa memiliki anak saat mereka belum siap. Dia sedikit bingung bagaimana mulai membuka pembicaraan itu dengan Arya.

***

Setelah makan siang di rumah sang kakak dan merayakan kebahagian keluarga kecil mereka, Alinda langsung pulang bersama Arya. Mereka sampai di rumah tidak terlalu sore dan langsung duduk sofa ruang tengah. Keduanya hanya diam hingga saat tiba di rumah Alinda minta dipeluk Arya. Jadilah, keduanya duduk di sofa ruang tengah sambil berpelukan. Mereka hanya berpelukan biasa, Alinda bersandar di dada Arya sementara Arya bersandar ke belakang sambil mengelus punggungnya. Tidak ada adegan 18+. Mereka hanya snuggling.

"Eh, waduh. Maaf Mbak dan Mas, ibu telepon, mau bicara sama Mas Arya," potong Olan seraya berusaha menutupi pandangannya agar tak melihat majikannya bermesraan di ruang TV. "Telepon HP katanya nggak diangkat."

Arya langsung melepaskan Alinda dari pelukannya, lalu bangkit dan menerima telepon dari ibunya.

Alinda tersenyum pada Olan lalu memperhatikan Arya yang menjauh untuk berbicara pada orang tuanya. Alinda rebahan lagi di sofa sambil merenung. Begitu Arya kembali, pria itu langsung duduk lagi dan mengangkat kaki Alinda. "Kenapa, Ar?"

"Nggak ada apa-apa," jawab Arya.

Alinda memicingkan matanya ke arah Arya dan mendesaknya untuk mengatakan apa yang mertuanya katakan pada sang anak.

"Ya biasa, ngecek kamu sudah isi atau belum." Arya akhirnya benar-benar mengatakan yang sejujurnya pada Alinda tanpa ada yang ditutupi lagi.

Alinda menelan ludahnya sendiri. "Lalu kamu bilang apa?"

"Ya belum, kamu memang belum hamil, kan?"

Alinda menghela napas, ia kemudian bangkit dan duduk menghadap Arya. "Arya, ibu pasti sudah kepingin cucu, ya? Kamu kan anak pertama, pasti sudah lama dinanti dan diharapkan anaknya. Apa kita program hamil aja?"

"Kamu siap punya anak?" Arya menatap Alinda tepat di mata sementara tangannya memijat kaki sang istri.

"Aku mau punya anak, tapi aku nggak tahu kalau aku siap atau nggak. Tuhan juga tahu kalau mungkin kita belum siap makanya sampai sekarang aku belum hamil meskipun kita rutin bikin anak," jelas Alinda.

Arya hanya diam dan terus memijat kaki Alinda.

"Aku pasti bikin kecewa ibu karena belum bisa kasih kabar baik," tambah Alinda pelan.

"Nggak usah terlalu dibikin beban, kita kan nggak tahu rejekinya kapan. Ibu juga pasti mengerti," ujar Arya mencoba menenangkan Alinda yang sudah mulai gelisah.

Alinda kemudian maju untuk memeluk Arya lagi dengan posisi sama sebelum Olan memergoki mereka di sofa. "Apa kamu pernah memikirkan soal anak, Ar? Maksudnya ... punya anak sama aku. Apa pernah?"

"Pernah."

"Terus gimana? Apa kamu mau?"

Arya mengusap punggung Alinda beberapa kali lalu dia mengangguk.

"Bukan cuma karena butuh?"

Arya berdecak. "Kalau hanya butuh, aku nggak perlu seks dengan kamu. Masih ada hal lain yang bisa aku lakukan."

Alinda terdiam lalu mengeratkan pelukannya. Ada hal lain yang ingin ia tanyakan pada Arya, tapi Alinda tidak begitu yakin bahwa ia siap mendengar jawaban Arya. Pertanyaan menyangkut hati yang sangat ingin ia ketahui jawabannya tapi juga tidak siap. Ia ingin tahu apakah ada kemungkinan bahwa Arya bisa mencintainya atau tidak. Hubungan mereka sudah jauh meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Mereka menjadi lebih lengket. Olan bahkan sudah sering memergoki mereka bermesraan di rumah ini. Belum lagi setiap weekend keduanya jarang keluar kamar kecuali untuk mengisi perut.

"Besok malam kita ke acara resepsi anaknya rekan ayah, Lin. Kamu nggak ada rencana, kan?"

Alinda menggeleng. "Ayah sama ibu datang?"

"Iya, acaranya Om Yudha, teman sekaligus rekan ayah. Beliau sering ke rumah sejak dulu, jadi kenal dengan seluruh keluarga."

"Okay. Om yang pas resepsi waktu itu bilang mau jodohin kamu sama anaknya, ya?" Alinda berusaha mengingat nama yang disebut oleh Arya. Ia sepertinya ingat saat dikenalkan dengan om berperawakan tinggi dan tegap yang lumayan lama berdiri di depan Arya lalu mengatakan bahwa anaknya patah hati karena ditolak olah Arya. Saat itu, Yudha mengatakan bahwa Arya lebih memilih wanita lain. Alinda tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Yudha karena ia juga tak tahu kapan waktu kejadian itu terjadi. Namun, Alinda bisa menduga mungkin karena Arya tidak mau berpisah dengan mantan kekasihnya dulu.

Arya mengangguk.

"Yang nikah anaknya yang mau dijodohkan dengan kamu?"

Arya mengangguk lagi.

"Kamu kenapa nggak mau sama anaknya? Pasti banyak ya yang mau jodohin kamu sama anaknya tapi kamu malah nikah sama aku. Kenapa?" Alinda bertanya karena penasaran.

"Itu sudah lama. Dea masih kuliah, lagipula ibu nggak setuju."

"Nggak masalah dong harusnya masih kuliah, kan yang penting sudah dewasa. Berarti restu ibu yang memberatkan kamu. Arya, kamu kayaknya nurut banget sama ibu."

Arya mengangguk.

"Berarti kamu terpaksa nikah sama aku? Soalnya, ibu kan yang paksa kamu nikah? Ah, aku harusnya nggak usah tanya, itu sudah jelas jawabannya." Alinda menghela napas panjang.

"Nggak terlalu terpaksa, Lin."

***

Stay Close ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang