Keping 18

3.1K 359 16
                                    

Semua kekhawatiran Alinda tidak terbukti. Pertemuannya dengan keluarga besar Arya berlangsung lancar. Setiap tahun, keluarga besar Arya berkumpul bergiliran di setiap rumah salah satu keluarga Chandratama. Tahun ini, kebetulan di rumah Tantenya Arya di Bandung. Semua keluarga mulai dari yang tertua hingga termuda berkumpul di Bandung. Mereka bahkan menginap di hotel yang sama, termasuk orang tua Arya.

Arya menolak tawaran keluarganya untuk menginap karena dia dan Alinda akan menginap di tempat lain. Alinda mengatakan bahwa tidak apa-apa jika mereka membatalkan rencana dan menginap bersama keluarga lain. Namun, Arya tetap ingin mereka pergi berdua saja. Ibu mertua pun tidak repot untuk melarang, beliau terlihat senang mendengar Arya dan Alinda ingin liburan lagi.

"Kamu benar-benar serius ya soal hubungan kita," ucap Alinda ketika mereka tiba di hotel. "Aku takut ditanya macam-macam soal anak, untung ada kamu. Aku senang kamu enggak ninggalin aku sendiri tadi siang."

"Aku kan sudah janji sama kamu, Lin."

Alinda tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. "Anyway, aku sudah meeting sama teman kamu kemarin—Gilang. Mau cerita tapi kayaknya kamu capek. Ar, ada beberapa hal yang dia omongin dan aku enggak paham. Kamu bisa bantu aku?"

"Ah, Gilang bilang, kok." Arya kemudian mengatakan apa yang Gilang katakan padanya kemarin mengenai Alinda. Gilang memang mengatakan bahwa Alinda terlihat bingung dan mengatakan akan meminta saran dari Arya dulu.

Alinda mengiakan. "Aku selalu minta pendapat orang yang paham dan kupercaya. Sekarang, aku mau kamu yang jadi orang itu."

"Sebelumnya?"

"Mas Eda atau Nadi. Mereka lebih bisa berpikir pakai logika, enggak pakai perasaan kayak aku."

Arya mengangguk sekali. "Nanti kita meeting lagi sama Gilang."

Alinda tersenyum lalu tiba-tiba pindah duduk di pangkuan Arya. Dia melingkarkan tangan di leher sang suami lalu bergerak untuk mengecup bibirnya dan mengucap terima kasih.

Arya dengan tenang ikut melingkarkan tangan di pinggang Alinda. Tanpa diduga, dia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu sang istri. "Capek. Aku juga enggak pernah suka acara keluarga."

"Kenapa enggak suka? Kayaknya kamu selalu biasa aja bisa ngobrol sama keluarga."

"Ya, karena ada kamu."

Alinda terdiam sesaat karena tidak mengerti maksud Arya. Namun, dia bertanya lagi, "Sebelumnya, apa kamu pernah bawa pacar ke acara keluarga? Sayaka?"

Arya mengangkat wajah lalu tangannya bergerak untuk menyentuh wajah Alinda. "Enggak usah diomongin, ya."

"Sorry," ucap Alinda setengah menyesal, setengah penasaran. Namun, dia tak akan memaksa Arya untuk bercerita mengenai masa lalu jika pria itu tak ingin. Alinda memang berniat untuk tak pernah memikirkan orang lain selain dirinya dan Arya, tapi naluri ingin tahunya besar. Dia mencoba untuk tidak peduli, hanya saja perasaan itu tak bisa dia kontrol. Sekarang dia hanya mencoba untuk menahan diri agar tak bertanya hal tak penting yang tak mau Arya bicarakan. "Ar, temanku kasih rekomendasi dokter untuk periksa kesehatan reproduksi. Mumpung kita di Bandung, mau, ya?"

"Lagi, Lin?" Arya menghela napas panjang. Mereka berdua sudah konsultasi ke dokter dan tidak ada masalah pada keduanya. Hanya saja, Alinda tidak mau berhenti untuk mencari tahu ada apa dengan keduanya.

Alinda membalas tatapan Arya dengan setengah memohon. "Sekali lagi aja. Mau ya, Ar?"

"Lin, aku ajak kamu ke sini untuk liburan, sengaja enggak nginap bareng keluarga supaya kamu enggak stress ditanya kapan punya anak."

"Aku tahu, tapi aku enggak akan bisa tenang."

Arya menghela napas panjang lalu mengangguk setuju. "Ini yang terakhir, ya."

Alinda tersenyum.

"Let's just go to bed, I'm tired," ajak Arya sambil memeluk Alinda lalu memintanya untuk berpegangan erat. Dia kemudian mengangkat Alinda dan membawanya ke atas ranjang.

Alinda terkejut dan tertawa karena dia tak pernah diperlakukan begini oleh Arya. Dia menahan Arya ketika pria itu ingin melepasnya. Alinda tersenyum.

Arya langsung mencium Alinda tanpa basa-basi lagi. Apa pun yang dilakukannya saat ini membuat keduanya merasa di atas awan. Usaha mereka untuk mendapatkan keturunan masih belum berbuah, jadi mereka terus berusaha jika ada waktu.

Alinda belum menunjukkan tanda kehamilan, dia bahkan baru selesai menstruasi beberapa hari lalu. Ketika tahu bahwa dirinya menstruasi lagi, Alinda sempat kecewa saat memberitahu Arya. Suaminya itu berusaha menenangkan Alinda yang sudah memikirkan hal ini-itu. Alinda mulai cemas apakah dia bisa memiliki anak dengan Arya atau tidak. Alinda bahkan pernah nyaris menangis, untung saja Arya langsung mengalihkan pembicaraan mereka.

***

"Sudah tenang, kan? Enggak ada masalah sama kita berdua."

Alinda mengangguk, dia kemudian menggandeng lengan sang suami dan mereka berjalan keluar dari rumah sakit. "Aku enggak akan paksa kamu ke dokter lagi. Tapi soal makanan di rumah, aku yang atur, ya?"

"Iya, tapi jangan aneh-aneh."

Setelah mengunjungi rumah sakit, mereka sempat jalan-jalan sebentar membeli oleh-oleh sebelum kembali ke rumah. Arya menyetir sendiri tanpa supir dan Alinda menemaninya dengan bercerita. Arya hanya menanggapi jika perlu. Beberapa kali, Alinda menyadari telepon Arya terus berbunyi tapi suaminya tidak mau mengangkat dengan alasan sedang menyetir. Padahal, Alinda sudah menyodorkan earbuds.

"Angkat aja, siapa tahu penting. Dari tadi telepon terus, Ar," ucap Alinda. Dia mengambil telepon Arya, tapi tangan sang suami begitu cepat merebutnya. Alinda sedikit terkejut dibuatnya. Telepon terus berbunyi, tapi Arya tidak melakukan apa pun. "Ar, aku aja yang angkat kalau kamu enggak mau ngomong. Nanti kubilang suruh telepon lagi aja."

"Enggak usah, Lin." Arya kemudian menepikan mobilnya sebentar dan mematikan ponselnya.

Alinda sempat menyadari ekspresi Arya ketika mematikan telepon tanpa menjawab. Sang suami terlihat sedikit kesal karena dia melempar ponsel ke kursi belakang lalu kembali menyetir. Alinda makin terkejut dibuatnya. "Kamu kenapa, sih, Ar? Siapa yang telepon?"

"Bukan siapa-siapa," jawab Arya singkat.

"Kalau bukan siapa-siapa, kok kamu kelihatannya kesal banget."

"Lin, stop asking question. Kamu mendingan cerita lagi aja tentang apa pun. Gimana rencana kamu soal jualan di platform marketplace?"

Alinda tidak tahu apa penyebab kekesalan Arya dan tampaknya belum akan tahu karena sang suami tidak ada tanda untuk terbuka dengannya. Akhirnya, Alinda terus melanjutkan ceritanya mengenai rencana baru yang sempat terpikir olehnya setelah kemarin bicara dengan salah satu keluarga Arya.

Rencana Alinda belum matang, dia hanya mengeluarkan apa yang ada di kepalanya pada Arya dan meminta beberapa saran. "Aku nanti mau coba obrolin dengan Gilang, siapa tahu dia kasih insight baru. Menurut kamu gimana?"

Arya tak merespons apa pun. Dia serius menyetir dengan wajah keras menatap lurus.

Alinda memanggil nama Arya beberapa kali, tapi sang suami tetap bergeming. Dia menyentuh lengan Arya pelan. "Ar, kamu bengong atau gimana? Tadi disuruh cerita, tapi kamu malah bengong. Kalau capek, aku aja yang nyetir daripada kita malah kecelakaan di jalan."

Arya menoleh sekilas lalu meyakinkan Alinda bahwa dirinya tidak lelah dan masih sanggup menyetir sampai rumah.

Arya mungkin bisa mengaku begitu, tapi Alinda bisa menduga bahwa sesuatu mengganggu pikiran sang suami. Arya memang jarang bicara, tapi belakangan sudah berubah sedikit. Melihatnya seperti ini membuat Alinda curiga bahwa siapa pun yang menelepon Arya barusan membuat sang suami kesal.

***

Stay Close ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang