Keping 13

3.4K 418 10
                                    


Alinda memeluk mertuanya dan menyambut ciuman pipi kiri-kanan dari Alifa. Alinda tersenyum lalu meletakkan buah-buahan di meja. Alifa hanya sendiri di rumah bersama ART, papa mertua dan adik ipar sedang bekerja dan sekolah. "Ibu, maaf ya kalau kesiangan datangnya."

Alifa mengibaskan tangannya lalu mengajak Alinda duduk di sofa. "Nggak apa-apa, Ibu paham kalau kamu sibuk. Makasih lho sudah sempat ke sini. Gimana kabar kamu?"

Alinda menjawab dengan sopan, lalu mereka bertukar kabar sebentar dan membicarakan kegiatan Alifa di rumah. Ibu mertua kemudian mengajak makan siang saat jam makan siang tiba. Setelah itu mereka mengobrol lagi di ruang keluarga sambil mencamil buah-buahan.

"Kamu sering-sering ke sini aja kalau kesepian tinggal di Jakarta, pasti teman kamu banyak yang di Bogor, kan?" Alifa memberikan potongan apel pada Alinda. Menantunya meneJane sambil mengucapkan terima kasih.

"Iya, tapi aku kerja jadinya nggak terlalu kesepian kalau di kantor," jawab Alinda sambil tersenyum.

"Di rumah gimana?"

Alinda tersenyum semanis mungkin. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa kadang ia memang kesepian di rumah. Tidak ada yang mengajaknya mengobrol. Ia tidak bisa membicarakan apa pun dengan Olan, apalagi dengan Arya. Teman mengobrol satu-satunya yang ia punya adalah Nadi, tapi ia bukan lagi teman Alinda. Sahabat-sahabatnya yang lain pun sudah memiliki kesibukan lain mengurus keluarga dan hal lainnya. Jadi, mereka hanya mengobrol sesekali saja.

"Lin, bagaimana hubungan kamu sama Mas Arya? Mas Arya galak nggak sama kamu? Cuek?" Alifa bertanya lagi seperti mengerti ekspresi Alinda. Tentu saja Alifa mengerti tabiat anak sulungnya itu.

Alinda lagi-lagi tersenyum dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Sejak acara di rumah Eyang, Alinda mencoba untuk bersikap biasa saja pada Arya. Namun dalam hatinya ia tahu bahwa ia menghindari Arya untuk menjaga hati agar tidak terlalu mencintai pria itu. Arya mungkin tidak pernah bisa mencintainya, dan Alinda tidak mau sakit sendiri. Ia masih melayani Arya selayaknya seorang istri, ia tidak bisa menolak saat ia benar-benar menginginkan Arya untuk dirinya meski ia tidak tahu bagaimana Arya menganggap dirinya. Arya cuek, tapi ia masih rutin bertanya di mana Alinda ketika wanita itu tidak juga pulang ke rumah setelah lewat jam 7 malam. Terkadang Arya masih menawarkan diri untuk menjemput meski akhirnya Alinda tolak dengan alasan tidak mau merepotkan sang suami.

Alifa lalu menggenggam tangan Alinda. "Kalau Alin butuh teman cerita, kamu mau cerita sama Ibu juga nggak apa-apa. Apalagi soal Mas Arya, kalau dia cuekin kamu bilang aja nanti biar Ibu tegur."

"Nggak kok, aku sama Mas Arya baik-baik aja." Alinda tetap gigih dengan jawabannya. Ia kemudian inisiatif bertanya, "Makanan kesukaannya Mas Arya apa ya, Bu? Mas Arya kayak apa aja doyan, tapi kalau dikasih ikan, aku suka lihat dia ngambek gitu."

Alifa tertawa kecil. "Mas Arya nggak terlalu suka ikan meskipun masih mau makan ikan. Cuma kalau ada makanan selain ikan, dia akan lebih suka yang lain. Dia memang apa aja doyan sih, Lin. Tapi ada yang dia suka banget memang, sate kambing."

"Oh, pantas aja. Mbak Olan kayaknya lupa atau nggak tahu Mas Arya nggak suka ikan. Mas Arya nggak pernah protes dan tetap makan, tapi aku merhatiin agak aneh gitu. Kan jadinya bingung kalau Mas Arya nggak pernah ngomong."

Alifa tertawa lagi. "Ya gitulah. Dikiranya kita bisa baca pikirannya Mas Arya. Susah ngomong memang dia tuh kalau nggak dipancing. Maklum aja, ya, Lin. Anaknya dari dulu memang agak pendiam. Sudah tua juga nggak terlalu berubah. Sudah diomongin juga tetap aja tuh gitu."

Alinda ikut tertawa bersama Ibu. Mereka kemudian malah mengobrol soal kebiasaan Arya sewaktu masih tinggal di rumah orang tuanya. Arya mulai tinggal sendiri ketika lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan pertamanya. Arya baru mulai bekerja di perusahaan keluarga sekitar tiga tahun lalu.

"Lin, Ibu nggak minta kamu untuk selalu mengerti Mas Arya. Kalau dia ada salah sama kamu, atau ada yang kamu nggak suka dari dia, kasih tahu dia. Ibu akan minta dia supaya memperlakukan kamu dengan baik. Kamu istrinya Mas Arya, sekarang jadi anak Ibu juga. Kalau Mas Arya macam-macam sama kamu, pokoknya bilang ke Ibu." Alifa menggenggam erat tangan Alinda dan mengusap punggung tangannya.

Alinda tersenyum. Ia melirik jam tangannya dan mendesah. "Bu, aku ada meeting sore ini. Aku kayaknya harus pamit dulu."

"Kamu nggak makan malam di sini? Nanti biar Mas Arya pulang ke sini juga."

"Lain kali ya, Bu. Aku soalnya sudah janji, nggak enak kalau dibatalkan. Tadinya memang aku kosong hari ini, tapi ada yang reschedule padahal aku sudah bilang nggak bisa. Ya tapi gimana ya kalau ditolak kayaknya nggak enak."

Alifa menepuk punggung tangan Alinda. "Ya sudah, nggak apa-apa. Lain kali ya kamu sama Mas Arya ke sini lagi. Ibu tunggu."

Alinda mengangguk setuju lalu ia pamit pada Ibu dan pergi kembali ke kantor. Ia memang memiliki janji mendadak dengan salah satu artis yang sedang hitz di layar lebar. Ia tidak bisa melewatkan ini untuk promosi butiknya. Lil exposure won't hurt.

Alinda bekerja lagi selama beberapa jam di kantor dan melamun sampai waktu menunjukkan pukul 20.00 dan Jane mengetuk ruangannya.

"Mbak, anak-anak sudah pada pulang. Lo mau pulang apa nggak?" Jane bertanya seraya berdiri di ambang pintu.

Alinda mengangkat wajah lalu melirik jam dinding. Ia mengembuskan napas panjang dan mengatakan bahwa ia juga akan pulang sebentar lagi. Namun ia menyuruh Jane pulang lebih dulu. Asistennya itu kemudian pamit dan meninggalkan Alinda sendiri di ruko. Rukonya memang buka pukul 09.00 dan tutup jam 17.00. Namun, kadang beberapa orang stay untuk membereskan pekerjaan mereka. Biasanya hanya Alinda dan 2 orang tim manajemen yang bertugas hingga malam. Penjahit dan penjaga butik akan pulang tepat waktu.

Alinda memijat keningnya setelah Jane pamit. Ketika hendak pulang, ponselnya berbunyi. Pesan masuk dari Sara—sahabatnya mengenai rencana ulang tahun Alinda minggu depan. Dulu, ia sering pergi liburan bersama teman-temannya ketika salah satu dari mereka ulang tahun. Kebiasaan itu tetap berlanjut sampai sekarang meskipun beberapa temannya sudah menikah. Dulu, Alinda akan datang bersama Nadi. Tahun ini, ia tidak mungkin mengajak Nadi. Setelah selesai menelpon, Alida bersiap untuk pulang. Setelah itu ia keluar dan pamit pada OB yang masih bersih-bersih.

Alinda pulang ke rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan ia menemukan Arya menunggunya di ruang TV. Alinda tanpa pikir panjang langsung duduk di samping Arya dan bersandar padanya. "Kok nggak tidur? Kan sudah bilang akunya nggak usah ditunggu."

"Nggak apa-apa. Pulang sendiri?" Arya bertanya seraya merangkul Alinda.

Alinda mengangguk sekali, ia kemudian mencium rahang Arya lama lalu kembali bersandar padanya. Perasaan Alinda memang sering bertentangan. Kadang ingin menjauh, kadang ingin sekali bersandar pada sang suami tanpa perlu memikirkan bagaimana kondisi hatinya nanti. Ia sempat ingin berpikir bahwa yang terpenting baginya adalah saat ini, tapi perasaan untuk melindungi diri dari patah hati di masa depan selalu ada. "Kangen."

Arya melirik Alinda sekilas. Ia lalu mengangkat dagu Alinda dan mendaratkan ciuman di bibir sang istri. Alinda membiarkan Arya menciumnya beberapa kali.

Alinda diam sesaat lalu bicara lagi, "Arya, aku ulang tahun minggu depan dan aku mau pergi sama teman-temanku yang lain. Lembang. Two days, is that okay?"

"Sama Nadi?"

"Nggak. Aku mau ajak kamu, kalau kamu nggak ada acara dan mau. Nggak banyak orang, hanya beberapa teman dekat. Kemungkinan mereka akan bawa pasangan dan aku nggak mungkin ajak siapa pun selain kamu. Tapi kalau kamu nggak bisa, nggak apa-apa."

"Aku bisa ikut, Lin."

Alinda mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.

"Kamu mau hadiah apa?"

Alinda menggeleng. "Aku nggak mau apa-apa."

"Kamu mau ganti mobil?"

Alinda menggeleng lagi. "Nggak, aku nggak mau apa-apa. Kamu jangan kayak ayah aku. Aku nggak perlu mobil baru. Aku cuma mau nggak sendirian pas ulang tahun. Itu aja."

***

Stay Close ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang