Prolog

1.5K 83 16
                                    

"Lapor, Kapt. Meisarah tidak pernah pacaran."

"Bagus. Itu artinya dia hanya butuh kepastian. Nanti kulamar saja dia."

"Tapi Kapt, sudah ratusan orang melamarnya, dia tolak." Mataku membeliak mendengar itu.

"Bagus. Itu artinya dia benar-benar selektif mencari pendamping. Akan kubuktikan padanya, kalau aku adalah calon suami idaman."

"Tapi Kapt, ini surat yang dikirim Kapten kemarin dia kembalikan," ujar Son seraya menyerahkan surat itu padaku. Aku tercekat.

Tempo hari, kutulis surat perkenalan untuk Meisarah. Demi apa di zaman orang sudah menggunakan gawai, terpaksa kutulis surat demi Meisarah mau bicara denganku. Setidaknya, dia bisa mengatakan apapun lewat tulisan kalau dia pemalu.

"Sepertinya dia benar-benar enggak tertarik sama Kapten," ujar Waode. Lelaki rambut keribo itu mulai berspekulasi dengan pikirannya.

"Jangankan jadi suaminya, jadi temannya saja belum bisa," timpal Son. Lelaki gempal itu juga tak kalah mengejekku dengan pendapatnya.

Pun begitu, Son dan Waode benar. Ini sudah hari yang ke-102 pendekatan, namun takada satu pun yang berhasil, bahkan hanya untuk membuatnya bicara.

"Hai, Meisarah, bolehkah aku berteman denganmu?" Kuulurkan tangan padanya. Dia hanya diam, lalu pergi.

"Hai, Meisarah, mau kerja, ya? Mari kuantar!" Kubukakan pintu mobil, dia malah pergi.

Sungguh tak habis pikir, mengapa Meisarah sulit sekali ditaklukan? Terbuat dari apa hatinya? Batu? Patung? Atau jangan-jangan dia?

Kupandangi purnama di atas sana sembari memikirkan Meisarah. Duduk di haluan kapal seorang diri. Semua anak buahku telah tidur. Tetapi, aku tak bisa. Terus saja kepikiran Meisarah, gadis di kampung Periangan yang kusinggahi ini.

Kami telah menunda keberangkatan selama seminggu–setelah tiga bulan berada di Periangan–hanya demi Kapten ini bisa dekat dengannya. Namun, apa yang kudapatkan? Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran gadis itu? Apa kurangnya diri ini? Telah kulakukan apapun untuk menarik perhatiannya. Bahkan sudah berpenampilan sekeren mungkin.

Wajahku tak perlu diragukan. Sori mayori kalau aku terdengar sombong, asal kalian tahu saja, semua gadis di desa ini mengejarku. Mereka sering memanggilku, "Babang Tamvan." Tapi menurut Meisarah, entahlah? Yang jelas, dia selalu mengabaikanku.

Seperti malam ini, ketika Son dan Waode membawaku ke pasar malam untuk menemui Meisarah tapi dia seperti biasa, diam.

Kalian bayangkan saja, ada pangeran tampan di depannya? Datang menemuinya? Dia cuma diam, tak sepatah pun kata-kata terucap dari mulutnya.

"Hai, Meisarah. Apa kabar?"

Dia diam.

"Emmm, mau beli apa ke pasar?"

Dia diam.

"Sudah makan?"

Dia diam.

Seolah aku sedang bicara dengan patung. Seumur hidup, baru kali ini diabaikan seorang gadis. Demi Tuhan, ini tidak bisa percaya. Apakah benar dia sulit ditaklukan? Mustahil.

Tunggulah, Meisarah, kau tidak akan kulepaskan. Suatu hari kau pasti balik mengejarku. Fiuuhhh!

***

Awal cerita yang singkat tapi ini menjadi cerita yang akan seru selanjutnya. Sebelum baca, follow dulu, ya. Jangan lupa vote, komen, dan reading list cerita ini. Thank you.

Regards

Philaurika

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang