Chapter 34

480 41 15
                                    

Angin mendesau menerpa wajahku dan Meisarah. Aku duduk di sampingnya. Kakiku yang menjuntai hampir mengenai air yang pasang. Sementara Meisarah kulihat lebih terangkat.

Sedari tadi dia masih saja diam. Tidak juga denganku. Entah apa yang sedang dia pikirkan? Aku tak akan memikirkannya lagi. Sekarang aku benar-benar pasrah. Apakah dia sudah percaya padaku atau tetap pada pendiriannya.

"Mengapa kau menginginkanku?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Meisarah. Dia bicara padaku sekarang. Kalian mau tahu apa yang kurasakan? Bahagia yang luar biasa. Setidaknya, aku bisa memecahkan teka-teki ini.

Aku terdiam. Ini kesempatanku, tak boleh sembarang menjawab. Sekian lama, setelah sekian lama, akhirnya dia bicara padaku. Benar, kata ibu, jangankan kerasnya hati manusia, batu saja hancur oleh tetesan air yang lembut secara terus menerus.

Oh, Tuhan, beri aku kelancaran bicara untuk meluluhkan hati Meisarah sebagaimana Engkau membantu Nabi Musa menghadapi kerasnya hati firaun.

Meisarah masih menunggu jawaban. Sementara aku masih terdiam. Ini sudah tiga puluh menit berlalu. Meisarah masih menunggu. Waktu hening selain deburan ombak di jauh sana dan suara burung laut yang semarak.

Kupejamkan mata. Semoga jawaban ini tak begitu salah.

"Aku tidak menginginkanmu. Aku mencintaimu, Meisarah." Aku menoleh padanya. Seketika itu dia juga menoleh padaku.

"Tolong jangan kau tanyakan mengapa? Karena cinta terlalu mahal untuk dijadikan alasan. Dan terlalu rumit untuk diartikan."

Tanganku meraih tangan kanannya. Kami saling menatap. Aku melihat diriku di dalam mata Meisarah.

Ternyata kisah novel-novel yang mula benci jadi cinta itu benar, Kawan. Lihatlah sekarang Meisarah mencintaiku.

Aku mendekatkan wajahku kepadanya. Dia masih diam. Di saat aku mulai melabuhkan rinduku padanya, tiba-tiba rasa gatal di pundakku tak tertahankan. Ah mengganggu saja.

"Meisarah, kenapa ya pundakku gatal sekali. Aduhhh!"

Meisarah menyingkap kerah baju kemejaku dan melihat area pundakku.

"Ini panu."

"Whaatt?" Aku kaget luar biasa. Meisarah hanya tersenyum geli. Oh, ini sungguh memalukan.

Meisarah beranjak dari duduknya dan mengambil beberapa lembar daun. Aku tidak tahu itu apa? Yang jelas dia menggerusnya dengan batu. Lalu mengoleskannya di pundakku.

Hanya sebentar saja, rasa gatal karena panu sialan itu langsung berhenti.

"Datanglah besok ke rumah, wahai calon imamku." Aku tercekat dan diam. Meisarah hanya tersenyum lalu pergi meninggalkanku.

Aku melonjak kegirangan. Hampir saja aku terjatuh ke sungai.

***

Son dan Waode saling menggodaku. Di depan kaca aku sudah siap dengan baju terbaikku. Hari ini aku melamar Meisarah.

"Maaf Kapt. kalau boleh tahu, wajah Meisarah ...."

"Iya, Waode. Wajahnya memang tidak seperti dulu lagi. Tapi kalau kalian berpikir perasaanku berubah, kalian salah besar. Bagaimana pun Meisarah, itu tidak masalah Waode. Bagiku, Meisarah menerimaku itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak ingin berpisah dari Meisarah. Setelah aku menikahinya, dia pasti kubawa ke Jakarta. Dan kalau dia mau, jangankan menyembuhkannya, membuat wajahnya lebih cantik dari awal, semua bisa saja. Di zaman yang serba canggih ini."

"Maksud Kapten, dia akan dioperasi plastik."

"Kalau dia mau. Kalau tidak, ya sudah begitu saja."

"Ini sulit dipercaya Kapt."

"Kenapa kalian tidak percaya denganku?"

"Bukan begitu. Kami kagum, Kapt. Ternyata cinta kapten kepada Meisarah bukan kaleng-kaleng."

"Ya, begitulah. Namanya juga cinta. Kalian juga harus begitu. Kau Son, cintailah istrimu benar-benar. Setialah. Kalau tidak kau akan menyesal nanti. Lebih baik kau sudahi saja kisahmu dengan Sania. Lagi pula kasihan juga dia kau kasih harapan terus."

"Ba-baik, Kapt."

"Dan kau Waode, kalau benar kau mencintai Inggrit. Beri dia kepastian. Tapi selesaikan juga masalahmu dengan mantan tunanganmu. Jangan sampai suatu hari karma berlaku."

"Si-siap, Kapt."

Aku menghela napas. Setelah memberi Son dan Waode nasihat, kini saatnya aku juga harus membuktikan keseriusanku. Karena wanita hanya butuh kepastian.

Son dan Waode mengantarku ke rumah Meisarah. Setiba di rumah Meisarah. Rumahnya seperti biasa, hening dan tentram.

Aku menegakkan tubuhku. Bismillah.

Kuketuk pintu rumahnya dan kuberi salam. Lama sekali. Son dan Waode sudah dengan seserahannya.

Setelah beberapa kali kuberi salam takada satu pun yang menyahut. Kulihat jam di tangan, sudah 20 menit berlalu.

"Maaf, cari siapa, ya?" Tiba-tiba seorang ibu-ibu datang.

"Saya bertamu ke rumah ini."

"Tapi rumah ini sudah kosong. Katanya mereka sudah pindah."

"Pindah ... pindah ke mana?"

"Entahlah. Katanya, mereka memang selalu pindah-pindah."

Deg, deg, deg,....

Rasanya aku sedang tidak berpijak.  Ke mana kau Meisarah? Apa yang terjadi?

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang