Chapter 37

607 24 12
                                    

Kata ayahku, takdir tidak bisa dikendalikan. Menurut ayahku, menikah dengan Sani adalah suratan takdirku. Namun, aku bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa ia pikirkan sebelumnya.

"Mengapa kalian mengembalikan anakku?" tanya ayahku penuh keheranan.

"Dia ingin pulang, jadi kami mengantarnya."

"Saya akan bicara kepada Meisarah dan membujuknya untuk ikut kalian pulang kembali."

"Tidak. Biar saja pak Herman. Mungkin Meisarah belum terbiasa berpisah dengan kalian. Kami memberi waktu ia tiga hari di sini. Setelah itu kami akan menjemputnya kembali."

Tanpa basa-basi lagi mereka segera pergi. Aku bernapas lega.

Ayah mendobrak pintu kamarku.

"Kenapa?" tanyanya nyaring dan sorot matanya berapi-api.

Aku hanya diam.

"Kenapa kau ingin pulang? Apa kau tidak mengerti bahwa kau sudah jadi istri orang. Sekarang kau bukan tanggung jawabku lagi. Kau seharusnya mematuhi suamimu!"

Aku tetap diam.

"Kenapa Meisarah kau tak pernah mengerti kalau orang tuamu ini menginginkan yang terbaik untuk kehidupanmu? Apa kau tak tahu rasanya berbakti sedikit saja kepada kedua orang tuamu, hah!" Ayah sangat marah padaku.

"Setelah kejadian ini kau hanya akan kembali kecuali saat kau sudah benar-benar melakukan tugasmu sebagai istri."

"Aku tidak akan pernah kembali lagi ke sana, Ayah!'

"Apa katamu, tidak pernah! Apa maksudmu, hah!"

"Iya, ayah, aku tidak akan kembali. Tidak akan!"

"Dasar pembangkang!"

"Iya, ayah, katakanlah sesuka hatimu. Bahkan jika kau harus melenyapkanku di dunia ini, kakiku tidak akan melangkah sedikitpun kembali ke rumah orang kaya itu. Ini bukan kata-kataku, ayah. Ini sumpah seorang gadis yang tak berdaya." Kukatakan semua itu dengan lantang dan dada yang menggebu-gebu.

Ayah terdiam. Begitu juga ibu. Mereka keluar dari kamarku. Entah kekuatan apa yang merasukiku berkata demikina sehingga kata-kata itu bisa membuat kedua orang tuaku keluar dari kamarku.

Ini sudah cukup.

Bagaimana bisa aku menerima pernikahan ini? Menikah dengan orang kaya tapi ia seperti patung. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Bahkan makan, minum, ia disuapi. Ke kamar mandi ia dibantu. Semua keperluannya aku yang melakukannya. Jadi, aku ini seorang istri atau pengasuhnya? Sani Duryan yang malang itu. Sebenarnya ia tak bersalah dalam hal ini. Namun, ayah dan ibuku cukup tahu tentang ini saja.

Bersambung....

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang