Chapter 18

237 34 7
                                    

Baru saja berada di Periangan, pagi-pagi sudah dikejutkan dengan berita kalau Meisarah sedang menemui seorang lelaki.

"Siapkan pakaian terbaikku!"

"Siap, Kapt!"

Aku harus tahu, siapa lelaki yang sudah berani menikungku? Sampai mati pun tidak akan kubiarkan Meisarah dimiliki orang lain.

Son dan Waode membawaku ke kediaman lelaki itu. Namun, sepertinya arah menuju rumah Meisarah.

"Bukankah ini jalan menuju rumah Meisarah?" tanyaku pada Son dan Waode.

"Betul, Kapt. Rumah pemuda itu belok ke kiri setelah rumah Meisarah," ujar Son.

Apa? Jadi rumah pemuda itu berdekatan dengan Meisarah. Kukepal kedua tanganku. Awas saja kalau pemuda itu berani-berani menganggu Meisarah.

"Kalian tahu apa hubungannya pemuda itu dengan Meisarah?"

"Belum, Kapt," jawab Son,

"Memangnya Sania tidak memberitahumu?"

"Kami udah putus, Kapt. Baru saja kemarin," ujar Son.

"What? Kenapa?"

"Kemarin sewaktu pulang, istri saya membuka pesan saya dengan Sania. Tanpa sepengetahuan saya, istri saya menelpon Sania dan memarahinya. Itulah mengapa saya ke sini ingin menjelaskannya kepada Sania atas kesalahpahaman ini."

"Dasar bodoh. Kubilang juga apa, jangan main hati!"

"Tapi, kan, Kapt, kalau tidak begitu, saya tidak akan bisa mendapatkan informasi apapun tentang Meisarah."

"Heh, goblok. Aku menyuruhmu mendekati Sania bukan dengan pacaran. Dasar, sudah salah, menyalahkan orang lain lagi." Son terdiam.

"Dan kau Waode?"

"Siap, Kapt! Inggrit marah dan menuduh saya sudah punya istri. Padahal saya, kan, cuma bertunangan saja, dan itu pun demi dia saya sudah memutuskan pertunangan."

"Dasar bodoh. Kalian berdua bodoh. Dasar payah."

Tak lama kemudian, sampailah di tempat kediaman pemuda yang kucurigai sebagai seseorang yang dijodohkan dengan Meisarah.

Waode dan Son menunjuk ke arah seorang pemuda dengan celana blacu dan bertelanjang dada.

Miris! Cuma seorang pemandai besi ingin jadi suami Meisarah? Cih, jangan ngimpi!

Tampak pemuda itu sedang menempa besi. Di depannya tak jauh ada Meisarah di sana. Kulihat dia berbincang dengan pemuda itu dan sesekali tertawa bahagia.

Ah, Meisarah, kapan kau bersikap manis seperti itu juga padaku? Aku menghela napas.

Hanya beberapa saat, tiba-tiba napasku seakan berhenti dengan apa yang baru saja kulihat di sana, Meisarah pulang dan sebelum pulang pemuda itu mencium pipinya.

"Bangsat!" Kutinju headrest mobil kepala desa dengan sangat kuat sehingga Waode yang duduk di depan syok.

Tanpa menunggu lama, aku turun untuk menghajar pemuda brengsek itu.

Dengan langkah cepat dan amarah, kusambangi pemuda itu. Namun, semakin dekat, kulihat tubuhnya begitu kekar mengkilap, ototnya besar, urat-uratnya tampak saat dia mengayunkan tempaan besi itu. Perutnya, kotak-kotak seperti binaragawan. Api yang berkobar sangat panas dari jarak beberapa meter dariku, sedangkan pemuda itu, percikan-percikan api dari besi yang dia bakar, hadapinya dengan telanjang dada.

Aku tercekat. Pemuda itu menghentikan pekerjaannya saat melihatku.

"Hai, Bung. Ada yang bisa saya bantu?" Pemuda itu dengan gagahnya berjalan ke arahku.

"Apa kau mencari cangkul, bendho, parang, kapak, atau pisau?" Dia mengarahkanku ke tumpukan hasil karyanya.

"Silakan pilih. Hari ini, adikku ulang tahun, dan aku memberikan diskon 30% bagi siapa saja yang membelinya."

"Siapa kau?" tanyaku hampir terbata.

"Saya?" ujarnya sedikit terkejut.

"Saya Bagas."

"Apa hubunganmu dengan Meisarah?"

"Meisarah?" Dia sejenak membeliak.

"Memangnya Bung kenal Meisarah?"

"Tentu saja. Aku, Kapten Noah Narendra, teman Meisarah," jawabku dengan tegas.

"Bukan ... aku adalah malaikat penjaganya."

"Oh, baiklah. Lalu, Bung mau beli apa?"

"Saya datang untuk memperingatkanmu, menjauhlah dari Meisarahku!" Aku tunjuk dia dan berlalu pergi.

Cepat aku masuk ke dalam mobil. Bahaya kalau pemuda bernama Bagas itu menyebetku dengan pedang hasil tempaannya.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang