Chapter 14

233 37 2
                                    

Semua sudah beres. Setidaknya, beberapa hari ke depan baru tiba di Periangan.

Kali ini perjalalananku bukan karena pergi bekerja, tidak ada pelayaran bulan ini untukku. Ayah telah mengeluarkan surat cuti satu bulan ke depan. Namun, meski begitu, mereka melarangku menggunakan fasilitas apapun untuk bepergian. Tidak ada jet pribadi, tidak ada kapal pribadi, tidak ada mobil pribadi. Ibu bilang gadis seperti Meisarah tidak suka pria yang memamerkan kekayaannya.

"Tidak ada jam mahal, tidak ada sepatu mahal," tambahnya.

"Iya, Ratuku."

Aku mengemas pakaianku secukupnya. Lagi pula kalau pakaianku kurang, aku bisa membelinya atau juga keperluan yang lain di pasar malam, dan itu bisa menjadi alasanku untuk meminta tolong kepada Meisarah. Nanti dia yang memilihkan apapun keperluanku. Oh, ya ampun, aku sudah berkhayal terlalu jauh.

"Dan jangan lupa, lekas kau temui bibimu. Dia terus menangis mendapati tingkah lakumu yang bodoh kemarin."

Aku baru ingat, kalau Bibi Maimunah masih marah padaku. Tak mau menunda lagi, lekas kucari Bibi Maimunah. Kata salah ART, Bibi sedang di kamarnya.

Pintu kamar Bibi tak dikunci. Kubuka perlahan. Tampak Bibi sedang berdiri di ambang jendelanya. Terdengar sesenggukan. Dia masih bersedih rupanya. Aku menepuk jidat, kau payah Noah.

"Bibi?" Kupeluk dia dari belakang. Betapa dia terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Maafkan singamu ini. Kebodohannya tadi pagi tak terkendali. Ada apa ini, Bibi? Singamu kenapa jadi orang bodoh? Dia membuat ibunya sendiri menangis." Singa adalah gelar Maman dan Bibi Maimunah. Oyah, Bibi Maimunah adalah istri dari Maman Dion.

"Aku kehilangan anakku, hiks." Bibi kembali tersedu.

"Bibi, anakmu tidak hilang tapi dia khilaf."

"Apa yang membuatnya sebegitu khilaf?" Dia membalik badan dan menatapku.

"Ini, Bi. Ini." Aku menyentuhkan telapak tangan bibi ke dadaku.

"Di sinilah penyebabnya. Hati ini sungguh keterlaluan sampai membuat orang yang menjaga hatinya sejak kecil terluka. Aku benar-benar payah, Bi."

"Anakku?" Matanya kembali berkaca-kaca.

Bibi memang cengeng. Dia sangat perasa, mungkin itulah sebabnya dia yang menjadi pilihanku saat kedua orang tuaku mencarikan pengasuh untukku. Ibu bilang, waktu Bibi melamar bekerja-saat itu usiaku baru 5 tahun-aku langsung berjalan ke arah bibi dan memeluknya. Aku lupa-lupa ingat dengan memori itu, karena masih terlalu kecil. Kata Ibu, aku sendirilah yang memilih bibi menjadi pengasuhku.

Bibi selalu menangis jika aku sakit. Bibi sangat menyayangi dan memperhatikanku. Kalau aku dihukum, bibi akan menangis kepada Ibu dan Ayah. Dia akan protes, kalau aku sampai sakit, dia tidak akan memaafkan Ayah dan Ibu.

"Bibi, maafkan Noah." Kuceritakan padanya apa yang menimpaku. Saat mengetahui masalah sebenarnya, dia malah tertawa.

"Apa yang lucu?" tanyaku. Bibi hanya tertawa saja.

"Nak, kau tahu kesalahanmu apa?" Aku geleng-geleng.

"Gadis seperti Meisarah, dia tidak hanya sekadar melihat segala sesuatu, tapi lebih dari melihat. Dia akan memahami dengan pandangannya yang luas. Kau harusnya juga begitu."

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang