Aku-Meisarah
Sebelum bekerja ke pabrik Engkoh Ayung jam empat sore, sejam sebelumnya, aku akan mengajari anak-anak SD Periangan yang les denganku.
Rumahku yang sempit tak dapat menampung mereka belajar, sehingga halaman rumah adalah tempat yang cukup luas untuk mereka.
Bermodalkan tikar dihampar, mereka sangat senang belajar. Namun, melihat mereka kesulitan mencari posisi yang rata untuk menulis, aku jadi kepikiran.
Sebenarnya, ada satu dalam pikiranku yang belum terwujud yaitu membuat pendopo untuk dijadikan tempat les bagi anak-anak.
Orang tua mereka sudah mempercayakan anak-anak ini les denganku. Mereka juga sudah membayar setiap bulan. Berkat mereka, kebutuhan pokok terbantu, lantaran pendapatanku bekerja di pabrik Engkoh Ayung sebagai buruk kupas udang-yang dibayar perhari-tidak begitu mencukupi kebutuhan. Dulu sempat mengajar di SD Periangan tapi karena aku hanya lulusan paket, dan guru baru yang di bidangnya datang, mau tidak mau aku harus resign. Sebenarnya, kepala sekolah mau mempertahankanku asal aku sambil kuliah agar menutupi ijazah paketku. Namun, kuliah adalah impian terlalu besar.
"Lesnya cukup sampai di sini dulu, ya. Waktunya pulang. Jangan lupa malam ini kalian kembali belajar."
"Baik, Kak Mei." Anak-anak satu persatu menyalamiku.
"Kak Mei?" Tiba-tiba Rahman, anak lesku di barisan terakhir.
"Ada apa, Rahman? Ada yang mau ditanyakan?"
"Tidak ada Kak Mei. Rahman cuma mau ngasih ini." Rahman menyodorkan sebuah amplop berwarna merah muda.
"Surat untuk Kak Mei."
"Dari siapa Rahman?" Dia menggeleng lalu pergi. Kulihat takada nama pengirimnya. Mungkin ini dari si Pelaut itu lagi. Aku, kan, sudah berapa kali mengembalikan surat-suratnya, kenapa dia masih ngotot ngirim surat untukku?
"Kak jadi enggak yang kemarin? Paman Rukman sudah menunggu." Bima tiba-tiba datang.
"Oh, iya, Kakak hampir lupa. Siapkan gerobak sorongnya, ya!" Tak mau ambil pusing dengan surat si Pelaut ini, kuselipkan di dalam bukuku. Nanti kukembalikan tapi saat ini aku harus segera ke tempat Paman Rukman untuk mengangkut pasir satu kubik yang sudah kubeli darinya. Kalau tidak, dia bisa marah.
Hari ini pun aku harus libur dulu bekerja harian di pabrik Engkoh Ayung.
"Apa kakak yakin bisa membuat pendopo?" Bima membuka percakapan saat membantuku mendorong gerobak sorong.
"Bisa. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan."
"Untuk apa, sih, Kak, membuat tempat belajar? Kan, bisa seperti biasa saja, lesehan di tanah?"
"Bisa, Bima. Tapi belajar juga membutuhkan tempat yang nyaman. Kasihan anak-anak."
"Bima enggak mau Kak Mei kelelahan karena membuat pendopo ini, apalagi Kak Mei sambil bekerja. Belum lagi mengajar les anak-anak. Apa tidak kita buat serobong dari terpal saja, Kak? Yang penting tidak kepenasan dan kehujanan."
"Tidak Bima. Kakak harus membuat pendopo ini. Anak-anak layak mendapatkan tempat belajar yang nyaman."
"Modal dari mana, Kak?"
"Tenang, Bima. Nanti Pak Rukman bersedia membantu dan pembayaran bisa dicicil."
Setelah itu, aku dan Bima tak bicara lagi karena mendorong gerobak sorong berisi pasir sangat menguras tenaga. Gemuruh napas saat melewati jalan yang sulit. Kadang bebatuan, kadang lumpur. Jarak pelabuahan ke rumahku sekitar satu kilometer. Dengan terengah-engah kudorong dengan kuat. Beruntung ada Bima yang membantuku. Walau kulihat peluh di keningnya juga sudah membutir jagung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Takdir dan Tabir
Romance"Setiap perempuan memiliki rahasianya sendiri. Setiap laki-laki ingin memecahkannya, bukan?" Noah seorang kapten kapal penasaran dengan Meisarah yang terus mengabaikannya. Dia tak percaya bagaimana gadis desa itu tak menyukainya. Sementara dia adala...