"Dasar Kapten, bisa-bisanya dia menyuruh kita minum teh garam itu." Tanpa sengaja kudengar Son dan Waode ngedumel sembari membicarakanku di haluan kapal.
"Apa yang kalian katakan!" Sontak mereka terkejut dengan kedatanganku.
"Tidak ada apa-apa, Kapt."
"Jangan bohong, kalian ngerumpi aku, kan?"
"Ah, kata siapa, Kapt," ujar mereka dengan wajah ketakutan.
"Terus kalian tadi ngomongin apa?"
"Em, kita ngomongin Meisarah," ujar Son.
"Kenapa Meisarah?"
"Anu, Kapt. Itu...."
"Anu apa, Son, kamu kok kaya orang bingung gitu?"
"Itu, Kapt, Meisarah menyukai popcorn. Bukankah sejam yang lalu Anda meminta kamu mencari tahu apa saja dilakukan Meisarah. Terutama hobi dan makanan kesukaannya."
"Itu benar. Tapi ... di mana di sini ada orang jual popcorn?"
"Siap. Ada di pasar malam, Kapt."
"Kau beli semuanya dan berikan kepada Meisarah!"
"Siap, Kapt!"
"Ada lagi?"
"Siap! Ada Kapt."
"Apa itu?"
"Siap! Meisarah suka membaca di perpustakaan desa."
"Kapan dia biasanya ke perpus?"
"Siap! Sekarang Kapt."
Mendengar itu, aku bergegas pergi ke sana. Son sudah menyiapkan sepatuku. Waode siap memayungiku. Mobil pribadi milik kepala desa kupinjam sementara waktu. Lagi pula, kami bayar pajak sandar kapal lumayan mahal padanya.
Setiba di perpus, kulihat perpustakaan itu bukanlah perpustakaan pada umumnya. Ini hanya rumah reyot.
Ketika kaki mulai menapaki tangga yang tersusun tiga tapak-karena di daerah ini bangunan rata-rata panggung- kulihat ada dua pasang sandal.
"Yang mana sandal Meisarah?" tanyaku pada Son dan Waode.
"Mungkin ini, Kapt?" ujar Son menunjuk sandal Nipon tali merah.
"Ah, tidak mungkin, Kapt. Pasti yang ini." Waode menunjuk sepatu balet warna hitam. Ya, aku setuju dengan Waode. Enak saja bintang hatiku tak mungkin pakai sandal pemulung itu. Kutendang sandal Nipon ke samping tangga. Kuletakkan sepatuku dekat sepatu Meisarah.
Aku masuk. Betapa mirisnya aku melihat suasana di dalam rumah reyot yang disebut Waode perpustakaan. Tidak ada etalase buku yang layak selain etalase dari bambu dan tersusunlah buku-buku usang di sana.
Penjaga perpustakaan yang melihat kehadiran kami langsung senyam-senyum tidak menentu.
"Kapten mau baca buku, ya?" Wanita berlipstik merah dan beralis pedang itu mengambil kesempatan mendekatiku. Tampak di pojok sana, kulihat bintang hatiku sibuk membaca dan sesekali menyalin ke bukunya. Buku apa yang membuatnya begitu konsentrasi hingga tak menyadari pangerannya ini datang?
"Buku apa yang disukai pengunjung?"
"Tidak ada pengunjung, Capt. Hanya Meisarah." Memang itu yang kumaksud. Dia pikir, aku tak tahu kalau orang-orang di sini minim baca.
"Meisarah, sih, buku apa saja dia embat. Tapi yang paling dia suka, sih, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sebuah novel karya Buya Hamka."
"Berikan padaku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Takdir dan Tabir
Romance"Setiap perempuan memiliki rahasianya sendiri. Setiap laki-laki ingin memecahkannya, bukan?" Noah seorang kapten kapal penasaran dengan Meisarah yang terus mengabaikannya. Dia tak percaya bagaimana gadis desa itu tak menyukainya. Sementara dia adala...