Chapter 8

291 42 18
                                    

Aku, Meisarah.


Aku bersyukur, pelaut itu akhirnya berlayar. Semoga saja dia tak balik lagi.

Selama tiga bulan lebih dia terus mengangguku. Sania dan Inggrit terus-terusan menjomblangkanku dengan Jack Sparrow itu.

Mereka berdusta mengajakku ke pasar malam katanya ada bazar buku, namun kenyataanya mereka mempertemukanku dengan si Pelaut.

"Hai, Meisarah!" Itu namaku. Dia selalu memanggil namaku.

"Meisarah?"

Setiap bertemu denganku, entah berapa kali dia akan menyebut namaku.

Kapan aku berkenalan dengannya? Di mana dia tahu namaku? Sok kenal, sok dekat. Dasar pelaut, playboy.

Apa kalian tak setuju, kalau kutakan pelaut itu playboy? Ya, mungkin terdengar menghakimi, karena aku memang belum tahu siapa dia, bagaimana karakternya, tapi yang namanya pelaut, jarang, kan, ada yang setia? Bahkan hampir semua.

Lihat saja dari pakaiannya! Apa dia pikir aku tak tahu kalau yang dikenakannya itu serba mahal? Fix, dia orang kaya, berpangkat, dan gila wanita.

Dia pikir, aku cewek matre. Dengan dibelikan ini dan itu, aku akan terkesima? Bahkan jika dia memberikanku pesawat pribadi, lebih mulia jalan kaki daripada bersama laki-laki sombong.

Lihatlah, sikapnya yang sok cool di depanku! Mungkin dia pikir, dia tampan? Hanya karena pakaiannya serba mahal atua karena pangkat kaptennya? Mungkin tampan bagi perempuan mata duitan.

Berurusan dengan laki-laki seperti itu hanya akan buang waktu. Mereka hanyalah pengentuk pintu rumah orang karena mereka penasaran. Setelah dipersilakan masuk dan menemui ketidaknyamanan berada di dalamnya, mereka akan pergi juga.

Seperti Sania dan Inggrit, mereka memang sahabatku tapi cara berpikir kami berbeda. Sania dan Inggrit terlalu percaya dengan rayuan gombal anak buah Jack Sparrow itu tanpa mereka sadari sedang dimanfaatkan.

Lihat saja nanti, apakah Son dan Waode akan ingat mereka berdua setelah berangkat? Pelaut adalah burung bebas yang tak bisa dipegang hatinya.

Kapal mereka berlabuh di mana pun. Di mana pun juga akan menemui wanita dalam rupa dan suku apapun. Wajah dan aura yang berbeda-beda. Akankah gadis desa terpencil seperti kami ini akan menjadi pelabuhan terakhirnya? Mustahil.

Itulah mengapa, tak sedikit pun kugubris pelaut itu.

***

"Coba lihat, siapa itu?" Teman-temanku semua histeris saat melihat pelaut itu duduk di haluan kapalnya. Tampak ia berdiri di sisi kapal memandang ke arah kami. Kenapa, sih, kapal itu harus sandar di pelabuhan batang?

"Duh, bikin malu, ya, kita, ini. Kita sedang mengupas udang malah dipandangi cowok ganteng begitu," ujar Siti tersipu malu. Gadis berkaca mata ini tak pernah berhenti menyanjung-nyanjung pelaut sialan itu.

"Kalau ada cowok ganteng saja, matanya langsung sembuh dari min. Kamu mau?" tanya Parida.

"Siapa yang enggak mau dapat cowok tampan begitu, apalagi kapten. Uwwuuu!" sahut Siti.

"Kalian salah nanya ke Siti, asal kalian tahu, si Captain tampan itu suka dengan Meisarah," Sania tanpa bersalah mencecar perihal yang tak perlu disampaikan.

"Masa, sih?" tanya Siti dan yang lain.

"Iya, aku dan Sania saksinya." Kini Inggrit juga berujar. Astaga, mereka sahabat yang lemes sekali.

"Sekarang kita tanyai dulu Meisarah, dia suka juga tidak. Meisarah ...? Sania memanggilku dengan gaya bicara yang lembut. Aku meliriknya sembari mendelik.

"Will you?" Sania menatap dan menggodaku. Sesaat terdiam. Tiba-tiba Inggrit bersuara.

"Yes, I do. Oh, pangeranku, datanglah kemari. Lihatlah, tuan putrimu, Meisarah, sudah menunggu."

"Huhuiii ..." tanpa merasa bersalah mereka menggoda dan menertawakanku.

I don't will. Never!

Aku menghela napas. Sepanjang hari, semua teman-temanku selalu membicarakan pelaut itu. Ada yang berdoa jadi pacarnya, jadi istrinya, bahkan ada yang mau jadi pembantunya.

Mereka terlalu berkhayal. Masa iya, cowok berduit begitu, dia seorang kapten, besar dan tinggalnya di ibu kota, kurang apa perempuan di sana? Lalu, dia akan mencari pendamping di desa kecil seperti ini? Itu mustahil.

"Kalian kok masih bekerja, bukannya kalian akan lomba malam ini?"

"Salah kau tanya aku, noh, yang ikut." Sania menunjukku.

"Aku, sih, sama Inggrit cuma nememin dia," ujar Sania kepada Siti.

"Kalau Meisarah enggak usah belajar, tiap hari dia bawa buku ke mana-mana?"

Aku diam.

Tiga hari yang lalu aku mencoba mengikuti tes seleksi cerdas cermat se-kecamatan. Alhadmulillah, aku lulus ke babak selanjutnya yaitu pencarian juara 1, 2, dan 3.

Tahap pertama kemarin, aku menjawab soal pilihan ganda 100 dan 5 essai dalam tempo 90 menit. Aku tak menyangka menjawab soal-soal itu seperti kembali membawaku ke masa sekolah dulu.

Meski sudah lima tahun berlalu, setelah lulus sekolah. Semua pelajaran yang pernah kupelajari dari SD hingga SMA. Masih kubaca hingga kini. Aku tidak mau lulusnya sekolah membuatku berhenti belajar. Bagiku, belajar adalah hal yang sangat menyenangkan.

Tak menyangka, jika tahapan pertama aku lulus. Dari dua puluh desa, terisa sepuluh desa yang lulus masuk tahapan dua.

Tahapan ke dua, kami memasuki laboratorium dan mulai menjelaskan mengapa terjadinya hujan? Ini persis seperti pelajaran IPA sewaktu SD dulu. Kami diberi waktu satu menit. Sembari mengingat kembali, aku mencoba melukiskan penjelasan seadanya.

Setelah tes kedua, aku tak berharap apa-apa lagi. Karena jawabanku pasti salah.

"Dan yang berhak menduduki podium pertama sebagai kelompok dengan nilai tertinggi jatuh kepada perwakilan dari desa ...." Habislah harapanku. Karena mustahil kelompokku lulus. Apalagi, sepanjang tes, Sania dan Inggrit hanya sebagai pelengkap saja. Mereka tidak mengerti apapun.

"Periangan." Sontak orang-orang bergemuruh di lapangan terbuka. Sania dan Inggrit melonjak-lonjak kegirangan. Aku terpaku.

"Malam ini adalah penentuan. Jangan lupa untuk seluruh warga diharapkan datang dalam acara lomba cerdas cermat babak akhir. Mari kita memeriahkan hari Kartini. Hidup emansipasi wanita!"

"Hiduuup!"

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang