Chapter 6

295 39 11
                                    

"Lapor Kapt. Gawat! Meisarah." Waode terdengar ngos-ngosan laporan padaku. Aku yang tengah santai duduk di haluan sambil ngopi terlonjak seketika itu juga.

"Ada apa dengan Meisarahku?!"

"Lihatlah di sana, Kapt!" Waode menunjuk ke muara sungai yang tak jauh dari pelabuhan batang. Aku berlari ke belakang kapal karena muara itu berada di belakang kapal.

Amat terkejut melihat apa yang dilakukan Meisarah? Kulihat dia melepas tali perahu di dermaga dan mulai mengayuh ke arah muara itu. Mau ke mana dia? Di belakangnya, adik perempuannya, Nisya, juga ada di perahu itu.

"Meisarah!!!" Aku meneriakinya. Son dan Waode juga. Dia menoleh tapi tak menghiraukan kami. Terus mengayuh meninggalkan pelabuhan menuju masuk ke muara.

"Turunkan sekoci!"

"Siap, Kapt!"

Aku turun dari kapal dan menuju sekoci yang sudah berada di bawah. Tanpa menunggu lagi, kukayuh sekoci menyusul Meisarah.

Sejauh 200 meter, perahu kayu itu dikayuh Meisarah dengan cepat. Dia itu gadis terbuat dari apa, sih? Kok kekuatannya melebihi laki-laki. Aku berusaha mengejarnya.

Nisya terpingkal-pingkal melihatku di belakang.

"Kayuhnya kebalik, Kak," ujar Nisya berteriak. Ya, ampun, pantesan dari tadi tak maju-maju sekocinya.

Meisarah melihat ke belakang. Dia hanya geleng-geleng. Kenapa Meisarah? Kau meremehkanku? Tunggulah, perahuku pasti menyusulmu. Dengan sekuat tenaga kukayuh sekoci ini, namun tetap saja lebih dulu Meisarah sampai.

Aku terpana dengan kelihaian Meisarah. Dia menepikan perahunya dengan sempurna dan mengikat tali perahunya.

Dia membantu adiknya naik ke atas tangga pelabuhan.

Tetapi, sebentar! Tempat apa ini? Kukira selain desa Periangan tidak ada lagi tempat yang dihuni orang-orang. Jadi, masih ada warga yang tinggal di area, di mana terpisah dengan muara sungai yang cukup panjang masuk ke dalam.

Kutepikan sekoci dan naik menyusul Meisarah.

Setelah berada di atas, aku melihat orang-orang ramai berpakaian serba putih. Gamis dan kopiah, bagi wanita berkerudung. Apakah ini sebuah pesantren?

Kulihat Nisya masuk ke sebuah surau. Meisarah memberikan mushaf kepada Nisya. Jadi, Meisarah mengantar adiknya mengaji.

Di bawah surau, ada pohon manga dan kursi panjang. Kulihat Meisarah duduk di sana menunggu adiknya sambil membaca buku. Apakah aku perlu duduk di sampingnya? Kira-kira marah tidak ya, dia?

Ah, tidak. Kuurungkan niat mendekatinya. Biarlah, dari kejauhan saja kupantau dia. Kali ini tidak boleh lengah, aku harus memastikan kalau bintang hatiku baik-baik saja.

Kurang lebih satu jam berlalu, Nisya akhirnya keluar dari surau diiringi anak-anak yang lain. Sebagian dari mereka ada yang tinggal di wilayah itu, sebagaian seperti Nisya, kembali ke desa Periangan dengan perahu.

Nisya berlari menuju pelabuhan. Dia tersenyum ketika melewatiku. Disusul Meisarah di belakangnya.

"Meisarah?" panggilku. Dia diam. Aku membuntutinya dari belakang.

"Meisarah, tempat apa ini?"

Dia diam dan terus berjalan.

"Meisarah, apa kau setiap hari ke sini atau seminggu sekali?"

Dia diam.

"Meisarah, aku sangat khawatir padamu, makanya aku menyusulmu, kupikir kau akan pindah tinggal."

Dia diam.

"Meisarah, mengapa kau diam?"

Dia diam.

Tak ada satu pun yang dia jawab. Tak terasa, kami sudah berada di pelabuhan.

"Oh, tidak!" Aku berteriak histeris.

"Aku lupa mengikat sekociku, benda itu larut. Meisarah, bagaimana ini? Aku ikut perahumu, ya?"

Dia diam.

"Ayo, Kak, naik sini!" Nisya mempersilakanku. Oh, Nisya kau memang calon adik iparku yang baik.

Meisarah turun dengan cepat. Aku juga turun dengan cepat. Kalau tidak, bisa-bisa Meisarah meninggalkanku di sini, gawat.

Aku duduk di haluan menghadap ke belakang. Nisya yang berada di tengah, dan Meisarah duduk di buritan perahu.

"Meisarah, biar aku yang mengayuh, berikan padaku pengayuhnya!" Meisarah diam saja dan mulai mengayuh. Nisya tersenyum geli.

"Meisarah, berikan padaku kayuhnya!" Meisarah tetap diam dan mengayuh. Andai saja tidak ada Nisya yang duduk di tengah, sudah kuambil pengayuh itu di tangannya.

"Diamlah, Kak! Kalau Kakak selalu bergerak nanti kita terbalik."

"Iya, Nisya." Aku hanya bisa menggaruk kepala menahan malu. Di depan mataku, wanita yang kucintai mengayuh perahu di mana aku ada di dalamnya. Kapten macam apa aku ini?

"Kakak itu laki-laki atau perempuan?" Aku kaget dengan pertanyaan Nisya yang tiba-tiba.

"Laki-laki dong. Emangnya kakak terlihat seperti perempuan, ya?"

Nisya geleng-geleng.

"Soalnya kakak pucat sekali dan jari-jari kakaknya kecil seperti perempuan bahkan Kak Mei saja tak sekecil itu." Aku menyeringai dan menyembunyikan kedua tanganku.

Kulihat tangan Meisarah berurat memegang pengayuh itu, namun lekas dia memindah kayuhannya. Mungkin dia tidak mau aku lihat. Apakah Meisarah malu denganku? Malu tandanya suka.

"Pantas saja tidak bisa mengayuh. Payah." Aku terkesiap dengan ucapan Nisya. Anak bau kencur ini ternyata mulutnya pedas juga. Aku terdiam menahan malu.

"Iya, Nisya. Kakak ini benar-benar payah. Kakak memang tidak sehebat kakakmu yang pandai mengayuh." Nisya menoleh kepada Meisarah. Meisarah masih saja diam dan terus mengayuh.

"Tapi walau pun begini, kakak juga bisa mengayuh, kalau tidak kakak tidak akan jadi kapten kapal." Nisya mengendikkan bahunya. Meremehkanku sekali anak ini.

"Jangan-jangan kakak ini bencong, ya?"

"Nisya!" Meisarah menegur adiknya. Nisya langsung diam menunduk. Akhirnya, aku mendengar suaranya.

"Ah, iya, eike, kan, tuan putri segajad." Kubuat suaraku seperti waria. Sontak Nisya terpingkal-pingkal. Tiba-tiba kulihat senyum Meisarah sedikit mengembang di bibirnya meski dia tahan, tapi aku melihatnya.

Saat dia menyadari kuperhatikan, dia langsung kembali merengut dan buang muka.

Tak lama kemudian, kami sampai di pelabuhan batang. Aku yang di haluan langsung siap-siap menepikan perahu. Lalu, naik dan mengikatnya.

Kuulurkan tangan membantu Nisya naik. Kemudian, Meisarah. Ayolah, Meisarah, tangan ini menunggumu.

"Wusssh!" Tiba-tiba dia melemparkan sandalnya ke tebing, tepat di depanku, membuatku terkesiap.

Bukannya menerima uluran tanganku malah dia berlalu begitu saja. Ah, Meisarah.

"Meisarah, terima kasih!"

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang