Chapter 19

236 37 6
                                    

"Kapten, kapten, kapten!" Aku yang sedang menikmati teh hampir tersedak dengan teriakan dua asisten pribadiku itu.

"Kapten, gawat Kapt!" Son dan Waode tampak seperti orang dikejar setan.

"Kalian kenapa, sih? Gawat, gawat, gawat, gawat apaan?"

"Kapten, belum tahu?"

"Apanya?"

"Kapt, orang-orang ramai datang dari rumah Meisarah. Ternyata dia dilamar anak Pak Camat," kata Waode.

"Apaaa?! Jadi pemandai besi itu anak Pak Camat?"

"Benar, Capt."

"Apa Meisarah menerima lamaran itu?"

"Benar sekali, Capt. Mereka langsung bertunangan," ujar Son.

"Prangs!" Gelas di tanganku tiba-tiba jatuh. Tanganku langsung ngilu tapi hatiku lebih ngilu lagi.

"Apa Kapten akan menyerah?" tanya Waode.

"Jangan berharap! Le'ba kusuronna biseangku, kecampa'na sombalakku, tamassaile punna teai labuang. Bukankah kau pernah mengatakan itu, Waode?"

"Benar Kapt. Itu adalah prinsip kami orang Mengkasar yang artinya bila perahu kudorong, layar telah berkembang, takkan kuberpaling kalau bukan labuhan yang kutuju."

"Wah, kau memang benar-benar orang yang gigih Kapt. Lalu, apa rencana Kapt selanjutnya?"

"Aku sedang memikirkan itu, Son. Pemandai besi itu adalah ombak yang menghalangi tujuanku, ombak tidak bisa dilawan. Dia hanya bisa dikalahkan dengan strategi dan keberanian."

Aku tak akan tinggal diam. Sebelum pemandai besi itu mencapai garis finis, aku harus lebih dulu menikung.

Sore itu, aku ingin olahraga angkat besi. Kusuruh Son dan Waode mencarikanku barbell. Ingin kubentuk lenganku berotot lebih dari pemandai besi itu.

"Ini barbelnya, Kapt!" Son dan Waode telah membelinya secara online.

"Mana?" Kusuruh mereka meletakkannya di kedua tanganku. Son dan Waode lekas membuka kotaknya dan mengangkat satu-satu. Mereka akan meletakkannya di tanganku.

Ketika barbel itu sudah berada di kanan-kiri genggamanmu, tubuhku seolah-olah tersungkur menahan berat beban. Astaga, begini amat, ya, mau jadi cowok maskulin?

Son dan Waode cekikikan karena melihatku tak mampu menahan beban barbel.

"Kenapa kalian ketawa-ketawa? Pergi sana!"

Olahraga tidak berhasil. Lupakan berotot dan tubuh kekar. Lagi pula Meisarah belum tentu menyukai seseorang karena tubuhnya. Aku mulai berpikir, tiba-tiba saja kepalaku dapat ide.

Kupinta Son dan Waode mengurus rencanaku. Meisarah harus lembur malam ini. Engkoh Ayung ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. Dia menyetujui permintaanku untuk membuat Meisarah lembur.

"Haiya, boleh saja, tapi apa imbalannya?"

"Saya punya banyak kenalan penyuplai kerupuk, kalau Engkoh mau, saya bisa mengenalkan Engkoh dengan mereka."

"Haiya, boleh, boleh. Tapi bagaimana kalau Meisarah tidak mau?"

"Naikkan upah lembur dari biasanya. Tapi ingat, hanya Meisarah."

Rencana berjalan dengan lancar. Meisarah mau menerima permintaan lembur dari Engkoh Ayung. Tampak Meisarah sedang bekerja sendirian di dermaga. Waktu menunjukkan pukul 19: 15 WITA. Kasihan juga melihat Meisarah bekerja malam-malam begini. Oh, apa yang kulakukan? Maafkan aku Meisarah, tidak ada cara lain. Kau sangat sulit diajak bertemu. Aku harus mengungkapkannya malam ini.

"Aku mencintaimu, Meisarah." Dia menoleh padaku, lalu mengedarkan pandangannya di sekitar dermaga. Kulihat wajahnya sedikit syok karena tiada angin, tiada hujan, tiba-tiba aku datang mengatakan cinta.

"Meisarah, maukah kau menjadi kekasihku?"

Dia diam lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Tahukah kau jika apa yang kulakukan selama ini, karena aku mencintaimu."

Dia diam.

"Meisarah, kau dengar, aku, kan? Aku sedang bicara padamu."

Dia diam.

"Mengapa kau selalu begini? Mengapa kau selalu mengabaikanku? Aku bukan orang jahat Meisarah? Kalau pun aku jahat itu pun tak lebih karena perasaanku ini. Perasaan inilah yang membuatku begitu terlihat jahat di matamu, iya, kan?" Meisarah masih saja diam.

"Kau bisa mengatakannya, kan, Meisarah. Jawab aku! Aku mencintaimu, apa kau juga mencintaiku?"

Dia diam.

"Please, Meisarah! Kau tak dengar? Akuuuu mencintaimuuuu, Meisaraaaaahhh!" Aku berteriak di dermaga itu. Debur ombak dan jutaan bintang menjadi saksi. Entah berapa banyak nelayan yang merapat di dermaga mendengar teriakanku?

Degub jantungku yang awalnya bergetar kini mereda karena teriakan itu. Seolah aku telah berhasil melepaskan jeratan yang selama ini bersarang di hatiku. Keadaan hening sejenak.

"Jangan!" Tiba-tiba Meisarah bicara. Hanya satu kata itu. Setelahnya seperti biasa, dia diam dan pergi begitu saja. Sementara aku masih mematung di dermaga. Apa maksudnya jangan?

***

Son dan Waode terpingkal-pingkal mendengar curahatan hatiku yang baru saja ditolak Meisarah. Entah apanya yang lucu? Dasar cecunguk, bukannya turut bersedih malah senang di atas penderitaan bosnya.

"Kok kedengarannya Kapt jadi nostalgia sewaktu remaja, ya? Apa jangan-jangan puber kedua?"

"Apa maksudmu, Son?"

"Kapt, cara menyampaikan perasaan Capt itu seperti waktu dulu aku SMP. Hahaha."

"Maksud kalian aku sedang cinta monyet?"

"Bukan begitu, Kapt. Meisarah itu bukan perempuan pada umumnya yang kalau ditembak cowok tampan langsung kelepek-kelepek. Dia berbeda, Kapt. Maka jurus Kapt yang sudah basi itu, jangan dikasih lagi ke Meisarah."

"Iya, Kapt, kali ini aku setuju dengan Son, lagi pula Kapt, kan, sudah bilang akan menggunakan strategi. Lalu, kenapa begini?"

Aku menghela napas. Tiba-tiba saja aku teringat petuah Bibi. Meisarah adalah jenis wanita yang memiliki pandangan yang tidak cuma satu. Entah apa yang ada di pikirannya saat aku menembaknya kemarin? Aku terpejam membayangkan kejadian itu, betapa rendahnya aku.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang