Chapter 2

633 63 19
                                    

Lomba cerdas cermat diadakan di lapangan terbuka yang tak jauh dari area perkantoran pemerintahan desa.

Setiba di sana, tampak sebuah panggung berdiri dengan pencahayaan yang cukup terang. Orang-orang kampung sudah ramai berkumpul di bawahnya. Riuh rendah dari kejauhan. Sementara aku, Son, dan Waode datang sedikit terlambat.

Kami pun berjalan melewati keramaian itu menuju tempat duduk yang disediakan. Son dan Waode mengapitku agar para gadis tidak terlalu menyentuhku.

Mereka meminta jalan kepada orang-orang yang berjejal. Sontak saja para gadis bersorak riang melihat kehadiranku. Ada yang berteriak, "Cogan, cogan, cogan!" berisik sekali. Dan yang menyebalkan, ada yang memotoku tanpa izin. Entah apa yang mereka lakukan dengan foto paparazzi-ku itu.

Ketika hampir sampai ke tempat duduk, ada saja yang sempat mencolek pipiku. Wah, kurang ajar. Sepertinya aku perlu paspampres.

Bapak Camat, Bapala Kepala Desa, dan tokoh-tokoh kampung bergantian menyalamiku. Lalu, mereka mempersilakan duduk di kursi yang tersedia. Barisan terdepan. Di samping barisan para tamu.

Di atas panggung juga sudah berjejer tiga podium. Setiap podium ada tiga orang. Mereka adalah perwakilan dari masing-masing desa yang telah berhasil masuk di tiga besar. Di samping kanannya ada meja juri berjejer tiga. Di samping kiri, ada dua MC yang siap memandu acara.

Tiga kelompok yang akan ditanding melewati dua sesi. Sesi pertama menyisihkan nilai paling rendah untuk menjadi juara tiga. Dan dua kelompok yang tersisa akan ditanding kembali mencari juara satu.

Meisarah dengan dua temannya, Sania dan Inggrit berada di podium pertama. Mereka mendapatkan nilai tertinggi pada babak penyisihan sebelumnya. Ah, aku bangga mendengar itu.

Tampak Sania dan Inggrit, tersipu malu melihat kehadiran Son dan Waode. Sementara Meisarah, wajahnya datar, tak tersenyum sedikit pun padaku, malah matanya tertuju ke pojok panggung. Siapa di pojok panggung itu? Siapa dia yang sudah membuat Meisarah memberikan senyum manisnya?

Sepasang MC di acara lomba itu mulai membacakan sususan acara. Mulai dari sambutan orang-orang penting dan tata aturan perlombaan.

Peraturannya, setiap peserta yang lebih dulu menekan bel itulah yang berhak menjawab. Jika menekan bel secara bersamaan, maka yang menetukan siapa yang menjawab lebih dulu adalah para juri.

Jika jawaban salah, dilempar kepada kelompok yang bersedia menjawabnya. Kalau salah, dilempar lagi kepada kelompok terakhir. Setiap peserta yang benar menjawab mendapatkan sepuluh poin. Jika salah, dikurangi sepuluh poin.

"Baik. Sambutan terakhir kita persilakan kepada tamu spesial kita, yaitu Kapten Noah." Sontak para gadis di belakangku bersorak.

Semua orang bersorak senang, kecuali Meisarah. Wajahnya selalu begitu, mana pernah tersenyum padaku. Kalau saja bisa kubeli senyumnya, seluruh kekayaanku akan kuserahkan padanya. Namun, lihatlah, dia justru selalu melihat ke arah pojok panggung. Siapa orang yang menarik perhatian Meisarahku itu? Ganteng? Mapan? Berpangkat? Kalau dia lebih dariku, boleh-boleh saja. Kalau cuma kuli, jangan coba-coba!

Aku berdiri dan mengancing kembali jasku. Kusambut mikrofon dari Bapak Kepala Desa Periangan. Tentu saja, jam tangan edisi terbaru merk nomor satu di dunia terpampang manis di pergelangan tangan kananku.

Siapa pun orang di pojok panggung itu? Siapa pun yang membuat Meisarah tersenyum? Kalau dia laki-laki, maka dia harus tahu sedang bersaing dengan siapa? Lihatlah, betapa kerennya aku, kan?

"Terima kasih. Saya merasa terhormat menjadi tamu acara lomba cerdas cermat dalam rangka memperingati hari kartini. Semoga emansipasi wanita semakin tumbuh di mana pun. Dan tentu saja kalau boleh memilih, saya mendukung perwakilan dari desa Periangan."

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang