Seharian aku hanya berleha-leha di rumah. Cara apa lagi yang bisa kulakukan untuk menarik perhatian Meisarah? Benar kata Andrea Hirata, laki-laki hanya butuh satu alasan mencintai seorang wanita, sedangkan wanita butuh beribu-ribu alasan. Itulah mengapa mereka begitu rumit dimengerti.
"Lapor Kapt, Meisarah pergi ke bukit dan belum kembali." Sontak aku melonjak dari ayunan.
"Apa? Ngapain dia ke bukit?"
"Katanya mencari ramuan untuk ayahnya."
"Hah, ramuan? Di zaman sekarang yang sudah ada dokter?"
"Itulah, Kapt. Di sini belum ada pelayanan kesehatan. Kalau ada warga ingin berobat harus pergi ke kota. Sedangkan, bagi orang-orang yang tidak mampu mana mungkin bisa pergi. Jadi, rata-rata mereka masih menggunakan herbal."
Aku terpejam. Oh, Meisarah, apa yang kau lakukan? Mengapa selalu menyulitkan diri? Terus gunanya aku ini, apa?
"Sudah berapa lama dia tak pulang?"
"Sekitar lima jam yang lalu. Kata warga, sih, Meisarah sudah biasa melakukan itu. Bahkan katanya mereka sering melihat Meisarah pergi seharian dan malam baru pulang."
"Tidak masuk akal. Bagaimana mereka bisa diam saja membiarkan wanita naik ke bukit? Tidak habis pikir."
"Terus gimana, Kapt?"
"Apanya yang gimana? Ya, siap-siap, Cunguk!"
"Si-si-siap Kapt!"
Son dan Waode mempersiapkan pakaian naik ke bukit dan beberapa perlengkapan. Kalau-kalau dalam pencarian Meisarah nanti tersesat, bisa-bisa kami bermalam dan berkemah.
Setelah persiapan selesai, kami pun berangkat.
"Kapt, fortuner-nya kepala desa kita taro di mana?" tanya Waode.
"Di mana aja terserah."
"Kok gitu, sih, Kapt. Nanti mobilnya rusak."
Aku mendecap.
"Biarin. Bodo amat."
Lagi pula gara-gara dia tak mendirikan puskesmas di sini, warga jadi susah berobat. Akhirnya, Meisarahku jadi repot ke bukit. Pokoknya kalau sampai terjadi sesuatu kepada Meisarahku, lelaki buncit itu akan mendekam di penjara. Kupastikan itu.
Beberapa saat kemudian, tibalah di tujuan. Kuperintahkan Son dan Waode untuk memarkirkan mobil di pinggir jalan saja.
Kurang lebih seratus meter, bukit di depan mataku. Aku menengadah ke atas. Oh, Meisarah, jadi kau telah berada di bukit itu? Semoga aku dapat menemukanmu.
Son kupinta membuat jalan. Dia lebih dulu berjalan. Sementara Waode berada paling belakang membuat tanda. Aku yang mengawasi area.
"Sepertinya ini akan menjadi perjalanan yang rumit, Kapt."
"Bodo amat. Pokoknya aku harus menemukan Meisarah."
"Aku? Kalau begitu kami tidak ada gunanya, dong, Kapt. Kami balik, ya?" ujar Son. Aku menatapnya dengan serius.
"Hehe, becanda, Kapt. Jangan diturunkan jabatan kami, ya, janji!" Son mengacungkan jari kelingkingnya.
"Sebaiknya simpan tenagamu, Son! Berhenti bercanda!"
"Si-si-siap, Kapt!" Lekas dia kembali menapaki jalan bukit yang semakin lereng. Dia paham kalau aku sedang malas bercanda. Lagi pula, ini perjalanan yang rumit mencapai bukit dan aku harus menyimpan banyak tenaga.
Setelah beberapa saat kemudian, kami mulai berada di bukit yang cukup tinggi. Aku berusaha memanggil-manggil Meisarah.
"Meisaraaah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Takdir dan Tabir
Romance"Setiap perempuan memiliki rahasianya sendiri. Setiap laki-laki ingin memecahkannya, bukan?" Noah seorang kapten kapal penasaran dengan Meisarah yang terus mengabaikannya. Dia tak percaya bagaimana gadis desa itu tak menyukainya. Sementara dia adala...