BAB 33

45 11 0
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Masih dengan keadaan dan perasaan yang kacau, seorang Rezvan tak beranjak sedikitpun dari balkon kamarnya. Menatap indahnya lampu kota, serta kerlap-kerlip bintang yang bertaburan di langit malam. Ditemani dengan satu gelas hot coklat, menghangatkan badan yang terasa begitu dingin.

Tak ada keinginan untuk beranjak. Kakinya masih begitu betah berdiri disana, membiarkan tangan bertumpu pada pagar balkon kamar. Dari sini, ia dapat mendengar dengan jelas suara motor yang saling sahut-menyahut. Malamnya kota Jakarta memang tidak pernah jauh dari kata ramai.

Laki-laki itu menatap ponselnya dengan raut wajah gelisah. Disana memperlihatkan room chatnya dengan Keylin. 10 pesan sudah dia kirimkan, 5 panggilan sudah ia lakukan. Namun, hanya tanda centang satu abu yang terlihat. Tidak ada tanda-tanda keaktifan dari WA gadis itu.

Cukup. Dirinya sudah tidak tahan dengan perasaan khawatirnya ini, ia harus menetralkan segala pikirannya yang mulai mengacau.

Beranjak dari balkon kamar, ia mulai menutup jendela. Merampas jaket kebanggannya, yang bertuliskan 'leader' dengan gambar api ditengah-tengah pisau.

Keputusannya sudah bulat. Malam ini ia akan pergi ke markas Lava untuk menenangkan pikirannya. Ia yakin, mendengar ocehan receh anak-anak Lava pasti bisa mengalihkan perhatiannya dari kegelisahan yang menyelimuti dirinya saat ini.

Cklek

Rezvan membuka pintu kamar. Kaki jenjangnya mulai melangkah menuruni anak tangga. Tepat di ruang tamu, ia dapat melihat dengan jelas kedua orangtuanya tengah duduk bersama. Tak lupa kepala mamanya yang bersandar manis di bahu papanya. Rezvan juga ingin. Tapi bersama siapa?

Laki-laki itu hanya ingin berduaan seperti itu setelah menikah. Menggenggam tangan istrinya nanti, juga menyenderkan kepala istrinya di bahu kekar miliknya itu.

"Ekhem,"

Kedua paruh baya tersebut menoleh ke samping. Dimana, terdapat Rezvan yang sudah rapi dengan pakaian serba gelapnya.

"Mau kemana, sayang?" tanya Vita lembut.

Rezvan mengulurkan tangannya kepada Vita guna mencium tangan mamanya. "Markas ma. Rezvan izin pergi dulu, ya?"

Vita tersenyum lalu menoleh ke arah Reno. "Kalau papa ngasih izin. Rezvan boleh pergi."

Rezvan menaikkan alisnya sebelah guna meminta persetujuan papanya itu.

"Papa izinin. Tapi hati-hati."

Rezvan mengangguk siap. "Kalau gitu Rezvan berangkat dulu. Assalamualaikum."

Ditengah perjalanan, Rezvan dapat melihat dari kaca spion bahwa ada tiga buah motor yang mengikutinya. Mata laki-laki itu memicing, dari jaket yang orang-orang itu kenakan bukanlah jaket dari para musuhnya.

Remangnya malam membuat dirinya tak bisa memastikan dengan jelas lambang apa yang orang-orang itu gunakan.

Cittt

Fokus Rezvan teralihkan kala melihat seorang gadis yang ia kenali menangis dipinggir jalan.

Tit-Tit

Rezvan meng-klakson. Membuat gadis yang sedari tadi menunduk itu mendongakkan kepalanya.

"Rezvan," gumamnya.

"Ngapain?"

Gadis itu menghapus air matanya. Membiarkan sudut bibirnya tertari ke atas. "Harusnya gue yang nanya. Lo ngapain disini?"

REZVANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang