BAB 37

38 9 18
                                    

"Rezvan?" Suara halus dan lembut itu membuat laki-laki yang sedang menatap lurus luar balkon menoleh singkat.

Wanita paruh baya itu tersenyum hangat. Membawa langkahnya mendekati sang anak yang akhir-akhir ini menunjukkan sikap yang berbeda.

Putranya yang pada dasarnya irit bicara sekarang hanya bicara lewat tatapan mata. Mengangguk terkadang menggeleng kepala saat ditanya. Jika seperti itu, Ibu mana yang tidak merasakan perubahan signifkan pada anaknya?

Masih dengan senyum hangatnya, Vita mendudukkan diri pada sofa tepat disamping Rezvan. Tak mau melewatkan kesempatan, cowok itu segera berbaring menjadikan paha bundanya sebagai bantalan.

Melihat tangan Vita yang bebas, dengan segera Rezvan meraihnya. Meletakkan diatas kepalanya sendiri. Ia menatap bundanya dalam seolah-olah mengatakan, elusin bunda.

Mengangguk singkat. Vita mengelus rambut Rezvan dengan lembut, sesekali ia mencium dahi anaknya yang saat ini terlihat begitu manja. "Belum mau cerita sama bunda?"

Rezvan tak berniat untuk menjawab. Tenggorokannya merasa tercekat. Ia hanya mampu memberikan pancaran sorot kerinduan dan khawatir dari matanya.

Menghela nafas pelan, Vita kembali berbicara dengan lembut. "Kalau ada apa-apa jangan dipendam, nanti jatuhnya malah sakit. Kalau keluh kesahnya bisa dibagi, kenapa enggak? Siapa tahu dengan begitu bunda sama kamu bisa berdiskusi. Bunda tahu kok Rezvan udah besar, bisa ngelakuin apapun sendirian. Jangan kamu kira bunda gak senang. Bunda senang banget malahan.

"Tapi sayang, biar bagaimanapun bunda adalah bunda kamu tempat kamu pulang. Bunda bisa ngerasain apa yang kamu rasain dan bunda gak maksa kamu buat cerita kalau kamu belum siap. Tapi yang namanya seorang ibu, bunda tetap pingin tahu apa yang terjadi sama anak kesayangan bunda ini."

Rezvan menatap Vita dengan sendu. Tidak ada lagi Rezvan dengan tatapan tajamnya, tidak ada lagi Rezvan dengan tatapan datarnya. Yang ada hanya tatapan seorang anak yang begitu menggemaskan dimata orangtuanya.

"B-bunda?"

Lagi-lagi lidah Rezvan merasa kelu. Ia tidah tahan dengan perasaannya ini. Perasaan yang membuat pikiran dan hatinya berantakan. Rezvan tidak suka.

"Iya, mau cerita sekarang?"

Rezvan kembali diam tak bersuara. Membiarkan pikirannya berkelana jauh tak terkira.

Lelah. Lagi dan lagi bayangan seorang gadis datang menghampirinya. Ia kembali berpikir yang tidak-tidak.

Memikirkan bahwa gadis itu benar-benar pergi dan tidak akan pernah kembali membut deru nafasnya kian memburu.

Dadanya terasa sesak dengan hati yang gelisah. Diliriknya Vita yang tengah menatapnya dengan sorot kasih sayang. Hal itu sukses menghangatkan hatinya yang begitu gundah.

"Rezvan kangen dia. Rezvan takut dia nggak akan kembali lagi."

Setelah melakukan perang batin, akhirnya kalimat itu sukses terucapkan. Membuang muka, saat dirinya tidak melihat bundanya tak bereaksi apa-apa.

"Ka-kamu serius?" tanya Vita ragu. Ia takut jika pendengarannya bermasalah.

Memutar mata malas, Rezvan sudah menebak jika bundanya akan bereaksi berlebihan seperti ini. Terbukti dari tingkah Vita yang tiba-tiba berdiri tanpa sadar bahwa kepala Rezvan masih menjadikan pahanya sebagai bantalan.

"Alhamdulillah. Ternyata anak bunda normal."

Cowok itu mendelik mendengarnya. Bagaimana bisa bundanya berpikiran sampai sejauh itu. Iya, walaupun selama ini dia tidak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta tapi bukan berarti dirinya tidak normal.

REZVANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang