"Gue denger kelas sebelas ada siswi pindahan baru!'
"Putrinya Yumna bukan sih?"
"Iya katanya-"
Hafalan biologiku tersendat. Manusia-manusia ini berisik sejak pagi. Memang apa anehnya sih kalau putri seorang aktris sekolah di sini? Lagipula gadis itu kenapa juga harus pindah ke mari? Bukankah sekolahnya adalah sekolah favorit?
Awalnya aku heran, tapi kemudian paham.
Pi.
Kak Enggar kesayangannya sekolah di sini. Jelas untuk bucin sekelas dirinya akan mengikuti sampai ke mari.
Bisik-bisik mulai berisik saat jam istirahat tiba. Ramainya kantin tidak membuat perhatian para kepoers teralih. Enggar dan si murid baru, Ruby putri Yumna, makan bersama, satu meja.
"Enggar udah kenal itu anak apa gimana sih? Kok langsung akrab gitu?" Mou bertanya di hadapanku.
"Pacaran," sahutku tak acuh, lalu menyuap sebulat bakso.
"Serius lo??"
Tidak kujawab lagi. Netra Mou membulat seraya menelisik gestur tidak biasa antara Enggar dan Ruby. Entah dapat atau tidak.
"Sejak kapan? Kok gue gak tahu?!"
"Gimana mau tahu, lo sibuk godain Nohan gitu."
Mou nyengir. Biasanya, nama Nohan akan serta merta membuatnya celingukan di kantin, mencari si pemilik nama tersebut. Namun kali ini tidak. Mou malah menatap lekat padaku.
"Lo gak masalah?"
Alisku meninggi, bertanya. Mou berdecak. "Si Enggar, pacarnya baru hari pertama sekolah aja udah nempel gitu, gimana ke depannya?? Biasanya kan di mana ada Enggar, di situ ada lo."
Aku mengerti. Memang. Tapi sebenarnya, aku yang mengusir Pi dari meja ini jika keukeuh ingin mengajak Ruby makan bersama. Meski Pi tidak tahu hubungan antara aku dan Ruby, Pi tahu betul aku tidak menyukai pacarnya itu. Dan aku tidak berusaha menutupinya sama sekali.
🍂🍂🍂
"Pulang bareng Ruby ya?" Pi meminta dengan nada yang amat lembut. Kumasukkan beberapa buku ke dalam tas sementara satu per satu murid keluar dari kelas.
"Gue gak enak sama tante Una, Na. Beliau udah nitipin Ruby sama gue." Bukannya tanpa dititipi pun lo akan pulang bareng dia? Tapi protektif juga wanita itu, sampai menitipkan putrinya pada Pi-ku. Hm, positif thinking sajalah, barangkali Ruby baru bisa berjalan, harus dituntun.
Bukuku telah masuk sepenuhnya. Tas telah tersampir di bahuku. Selintas kuteliti raut wajah Pi yang cemas aku marah. Aku tersenyum. "Ok."
Binar di netra Pi tidak jadi redup. Pi tersenyum lega, bangkit, lalu merangkul bahuku menuju parkiran. Ini adalah salah satu momen yang kusukai. Mendapatkan setiap perhatian kecil dan perlakuan lembut Pi, kemudian disaksikan Ruby yang hanya bisa diam sambil menahan cemburu. Menyenangkan.
"Nunggu lama?" Pi bertanya saat tiba di parkiran. Netra bulat Ruby lebih dulu mendapati jemari Pi yang bertengger di bahuku, barulah tersenyum. Menurut Pi pasti manis, tapi menurutku nampak terpaksa.
"Belum lama kok, Kak."
Pi membuka pintu di samping kemudi. Segera aku memblokade Ruby yang hendak naik. "Gue gak biasa duduk di belakang, suka enek," ucapku, lalu tanpa menunggu persetujuan, masuk dan duduk.
Pi pun berusaha menjelaskan pada Ruby, meminta pacarnya mengerti - untuk yang ke sekian kali. Dan berhasil. Ruby selalu mengalah. Pi tersenyum. Binar matanya seolah mengagumi sosok sang pacar yang sabar dan penuh pengertian. Namun entahlah. Di mataku, kebaikan dan kelembutan Ruby tidak pernah nampak tulus. Entah aku yang terlalu benci, atau Ruby yang memang pandai menyamarkan diri - persis wanita itu.
🍂🍂🍂
"Kak, nanti malam jadi kan belajar bareng di rumah?" Ruby bertanya disela keheningan.
"Jadi kok." Pi melirik Ruby lewat spion dasbor sambil menyetir, lalu tersenyum.
Tak kuhiraukan sepasang kekasih yang mengobrol terhalang punggung kursi di sampingku. Jalanan siang yang ramai lancar lebih menarik. Ada penjual es cendol yang sedang mangkal di trotoar. Tetiba kerongkonganku kering. "Stop!"
Pi refleks mengerem, tak sampai berdecit karena refleksnya bagus, tetapi lumayan membuat kaget. "Kenapa, Na?"
"Mau es cendol."
Pi melongok ke arah pandangku. Tanpa banyak tanya, dia lajukan pelan mobilnya hingga menepi di dekat gerobak penjual. "Males turun, Pi ..." rengekku tak tahu malu.
Pi menghirup napas agak dalam. Satu kebiasaannya sebelum menuruti mauku. Pi meninggalkan kemudi. Sebelumnya bertanya dulu apakah Ruby juga ingin atau tidak, dan dijawab gelengan oleh gadis itu.
Pi sepenuhnya turun dan membelikan yang kumau. Menyisakan aku dan Ruby di mobil. Sebenarnya momen ini sangat menguntungkan. Aku bisa membullynya sesukaku, tapi aku bukan tipe yang suka terhadap hal-hal berbau perundungan, sok berkuasa, dan lain-lain. Pernah dengar tidak, kalau mendiamkan seseorang juga senjata mematikan?
Tapi diamku bukan karena aku ingin menyiksa Ruby sih. Tapi lebih ke rasa malas dan tidak berminat untuk sekadar mengobrol satu dua kata. Sayangnya, gadis itu yang malah memulai pembicaraan.
"Kak Thana gak mau main ke rumah? Mama sekarang lebih sering di rumah," tuturnya agak pelan.
Aku menyungging masam. Memangnya kenapa kalau wanita itu lebih sering di rumah? Apa beliau akan menyambutku? Menangis haru usai bertahun-tahun tidak bertemu? "Kenapa gue harus main ke sana?"
"Kak Thana kan udah lama gak ketemu Mama."
"Oh. Kirain nyokap lo kangen gue," sinisku.
Ruby seketika bungkam. Sedikit menyedihkan sebenarnya. Karena dari sana aku tahu bahwa memang wanita itu tidak pernah sekalipun merindukan aku. Tapi yah, sudahlah. Tidak penting. Yang penting sekarang adalah es cendol! Pi kembali membawa dua bungkus plastik berisi bulir-bulir hijau bercampur air gula merah plus es batu itu. Satu dibungkus, satu lagi tidak, ditambahi sedotan untuk diseruput langsung olehku.
"Arigatou ...," ujarku senang. Pi terkekeh. Aku pun menghabiskan sisa perjalanan dengan menyeruput es cendol, mengabaikan Pi dan Ruby yang sesekali tertawa di tengah obrolan mereka.
Hhhh ....
🍂🍂🍂🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)
Teen FictionThana hanya ingin dianggap ada. Thana hanya ingin kelahirannya diinginkan. Namun agaknya itu berlebihan ya? Pengandaian hanya milik manusia tanpa harapan. Manusia tanpa harapan itu menyedihkan. Dan Thana tidak mau jadi menyedihkan. Karena itu ... Th...