Tiga hari berlalu tanpa aktifitas berarti. Bungkus kuaci serta kaleng milo berserakan di meja. Papa masih belum menemuiku lantaran berita kami belum reda. Tapi beliau nyaris setiap hari menelponku.
"Belum."
"..."
"Iya."
Telpon kami masih berlangsung beberapa menit berikutnya, hingga ditutup saat aku berkata ingin tidur.
Meski sebenarnya ... bohong.
Aku kesulitan tidur tiga hari ini. Hitam di bawah mataku mungkin kentara sekali saat ini. Dan tahu brengseknya apa? Berita baru kembali mencuat, masih seputar internal keluargaku.
Yumna keluar dari rumah sakit, tetapi Ruby tumbang, tidak sadarkan diri.
Dan aku tahu, kanker hati itu mulai menggerogoti daya hidupnya. Media belum mendapat kejelasan perihal kondisi putri kesayangan Yumna tersebut, tetapi aku jelas tahu. Aku kan bukan orang lain? Iya, kan? Kan?
Dan entah apa yang mendasari tindakanku kali ini, sepasang kakiku melangkah ringan menuju ruang khusus tempat tuan putri itu berbaring tidak sadarkan diri.
Selang pernapasan menutup hidung dan mulut gadis itu. Dua matanya sungguh terpejam, tenang, seolah sedang bermimpi indah.
Pi sedang duduk di samping brankar ketika aku masuk. Sesaat aku bersyukur, tidak ada wanita itu di sini. Pi menoleh segera, lumayan terkejut, tetapi kuabaikan. Fokusku Ruby. Aku bahkan berharap cowok itu tidak menyapaku.
Tapi aku lupa. Bukankah takdir tidak pernah sekali pun berpihak padaku?
"Kamu sehat?"
Pertanyaan pertama. Pi yang bertanya, usai bangkit dan berdiri di hadapanku. Kesannya kok kayak gak ketemu ribuan tahun ya? Kepalaku meneleng menatapnya. "Kamu?" Agak mengejutkan mendengarnya memanggilku semanis itu.
Pi menatapku lekat. Jika aku tidak salah mengartikan, dalam sorot matanya nampak banyak sekali hal yang ingin dikatakan. Namun herannya, kenapa cowok itu tetap diam? Lalu sekonyong-konyong, lengannya terulur. Hendak meraihku, huh? Apa dia pikir aku masih segampangan itu? Tubuhku refleks mundur sebagai respon.
"Bisa keluar sebentar?" pintaku dingin. "Gue mau jengukin adik kecil gue tanpa gangguan."
Pi mengerjap lemah, menatapku sendu, lalu menunduk sejenak.
"Tenang, gak akan gue apa-apain kok-"
"Gue bahkan gak mikir ke sana, Thana." Pi memotong.
"Baguslah."
Pi keluar usai diam beberapa saat. Wajahnya keruh. Nampak sekali seperti cowok yang sedang kalut. Sesedih itu?
Menit berikutnya, tinggallah aku dan sang putri di dalam ruangan. Seraya menduduki kursi yang semula diduduki Pi, kupandangi wajah pucat itu. Yeah kalau dipikir-pikir, Pi juga melakukan hal yang sama tadi.
Detik demi detik kulalui dengan pikiran kosong. Benar-benar kosong. Tidak ada kenangan manis yang bisa kuingat sepanjang aku mengenalnya. Tidak ada rencana-rencana masa depan yang bisa kujanjikan padanya. Semisal ; Gimana kalau kita liburan saat lo udah sembuh? Gue denger bandung punya destinasi wisata baru.
Tidak ada juga pengharapan dan do'a yang dilangitkan seperti teman-temannya yang barangkali telah menjenguk lebih dulu.
Semenyedihkan itu persaudaraan kami.
Hati. Kanker hati.
Aku tertawa getir. "Gimana ini? Gue juga bukan Rachel yang dengan sukarela mendonorkan hatinya pada Luna."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)
Teen FictionThana hanya ingin dianggap ada. Thana hanya ingin kelahirannya diinginkan. Namun agaknya itu berlebihan ya? Pengandaian hanya milik manusia tanpa harapan. Manusia tanpa harapan itu menyedihkan. Dan Thana tidak mau jadi menyedihkan. Karena itu ... Th...