"Tidur di sini ya?"
"Iya."
"Tapi jangan ngilang pas gue bangun ..."
"Iya ..."
Pi sibuk membersihkan wajahku dengan kapas. Satu tangannya memegang sebotol micellar water. Di sisi tempat tidur, aku duduk. Di atas kursi stool mini, Pi duduk menghadapku. Wangi parfumnya tercium. Wangi musk.
Kuteliti wajahnya lekat-lekat. Pi memiliki iris legam yang pekat. Kadangkala memancar dingin, tapi lebih sering nampak teduh. Pi hanya akan terlihat mengerikan ketika benar-benar marah. Dan kapan Pi marah? Saat kesabarannya yang seluas samudera benar-benar terkuras habis. Aku pernah melihatnya sekali. Saat aku difitnah oleh satu geng siswi kebanyakan gaya tapi aslinya hopeless. Kata mereka, aku perempuan malam, jadi sugar baby-nya om hidung belang. Pi jelas tak terima. Saat itu aku masih kelas satu SMA, murid baru pula.
Beruntungnya, Pi belum pernah marah padaku. Aku belum tahu bagaimana rasanya terkena amukan cowok ini. Tiga tahun kami berteman baik, Pi selalu sabar dan sabar. Tidak pernah sekalipun Pi membentakku. Mungkin karena dia tahu aku tidak bisa dikerasi? Iya. Kalau diingat-ingat lagi, Pi lebih sering mengalah dan bersabar menghadapi perangaiku yang menyebalkan.
Benar-benar calon suami idaman masa depan.
"Pi?"
"Hm."
"Selingkuh yuk?"
Usapan kapas di wajahku terhenti. Netranya menghunusku. "Dapet apa kalau selingkuh?"
Aku mencebik. "Dapet guelah!"
Pi lanjut membersihkan wajahku. "Gak minat."
Cih!
🍂🍂🍂
Ini minggu pagi. Sesuai janji, Pi sungguhan ada di sampingku kala membuka mata. Aku senang, tapi berubah mendumel saat Pi dengan seenak jidat berkata 'Ayo bersih-bersih!'
"Lo gak dicariin emang?" Ayolah ... bilang kalau lo dicariin, terus pulang, kita batal bersih-bersih, dan gue bisa rebahan.
"Tante udah tahu kok."
Aku lemas.
Sepuluh menit berikutnya, kami sungguhan bersih-bersih. Pi menggosok kamar mandi, aku mengepel lantai. Sebenarnya aku tidak jorok apalagi berantakan. Tidak ada istilah kapal pecah saat memasuki apartemenku. Segalanya tertata rapi. Namun malasnya aku dalam mengelap benda-benda dan menggosok kamar mandi, membuat benda-benda itu berdebu, dan kamar mandi berkarat. Pi yang selalu siaga dan rutin menjadwalkan bersih-bersih di sini, melebihi aku, pemiliknya.
"Na, tirainya buka, udah terang!" Pi berteriak dari dalam kamar mandi. Segera kujatuhkan alat pel, lalu menyibak tirai. Sinar mentari pagi menyambutku.
Terang banget .. Mataku silau.
"Pi, habis ini jajan ya?" ajakku setengah jam kemudian. Kami duduk di karpet bulu, di bawah sofa, menghadap televisi. Napas kami mulai teratur setelah bermenit-menit selonjoran merehatkan lelah. Bersih-bersih juga menguras tenaga lho! Terlebih untuk pemalas sepertiku. Haha.
"Oke. Sekalian isi kulkas. Buat stok."
Aku mengangguk senang. Pi mengacak rambutku - salah satu refleksnya yang barangkali tidak dia sadari saking terbiasanya. Kaus biru dongker Pi sedikit basah bekas keringat. Kalau dipikir-pikir, Pi sering mengenakan kaus berwarna gelap ketika bersamaku. Aku ingat pernah berceletuk, cowok itu makin ganteng kalau kausnya warna gelap, apalagi hitam. Entah Pi tersugesti oleh ucapanku, atau dia yang memang menyukai warna gelap sepertiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)
Teen FictionThana hanya ingin dianggap ada. Thana hanya ingin kelahirannya diinginkan. Namun agaknya itu berlebihan ya? Pengandaian hanya milik manusia tanpa harapan. Manusia tanpa harapan itu menyedihkan. Dan Thana tidak mau jadi menyedihkan. Karena itu ... Th...